PENINGKATAN kesejahteraan buruh dapat ditempuh dengan beragam cara, salah satunya adalah menolak kerja lembur. Sekilas kelihatan tidak masuk akal, namun bagaimanakah logikanya ?
Perusahaan akan terus meningkatkan kapasitas produksinya dan menekan biaya produksinya serendah mungkin untuk bisa tetap dapat berkompetisi di dunia bisnis. Salah satu cara meningkatkan kapasitas dengan biaya murah adalah dengan meminta (memaksa) buruh bekerja lembur, langkah yang lebih murah jika dibandingkan dengan harus melakukan penambahan tenaga kerja dan alat produksi baru.
Beberapa kawan buruh di berbagai daerah sering kali bersatu menolak lembur, dan ketika hal ini dilakukan, maka dampak yang diterima perusahaan adalah ketidaksanggupan untuk meningkatkan kapasitas produksinya dengan biaya murah. Maka opsi yang dimunculkan perusahaan untuk bernegosiasi dengan (membujuk) buruh adalah peningkatan upah, bisa melalui beragam tunjangan, sehingga opsi untuk menambah jumlah tenaga kerja dan alat produksi (yang berbiaya tinggi) masih dapat dihindarkan.
Dari sinilah maka muncul ruang bagi buruh (melalui serikat pekerja/buruh) untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan diri dan keluarganya, kesempatan mengajukan perundingan untuk peningkatan upah pun dapat dilakukan dengan baik, misalnya penambahan tunjangan perumahan, seperti yang kita rasakan bersama, bahwa biaya perumahan di Batam lebih tinggi dari patokan survey KHL yang ditentukan pemerintah.
Selain daripada peningkatan kesejahteraan, penolakan terhadap lembur, seperti telah diuraikan diatas juga dapat membuat perusahaan mengambil opsi penambahan jumlah tenaga kerja dan penambahan alat produksi. Bagaimanakah opsi ini dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang telah ada sebelumnya di perusahaan tersebut? Sering kali buruh/pekerja mengkhawatirkan dengan penambahan jumlah tenaga kerja, maka kesejahteraan yang selama ini didapatkan melalui lembur akan berkurang. Namun sesungguhnya dengan ditempuhnya opsi penambahan jumlah tenaga kerja, juga akan membuka ruang peningkatan kesejahteraan bagi buruh/pekerja yang sudah ada sebelumnya.
Seperti diketahui bersama bahwa upah di Batam, jika dibandingkan dengan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) masih tertinggal dari daerah lain semisal DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Sementara tujuan investasi masih tertumpu di daerah-daerah Jawa, maka sasaran utama pencari kerja adalah masih di daerah Jawa, dan hal ini yang membuat daerah seperti Batam kesulitan dalam mendatangkan tenaga kerja.
Tentunya hal ini akan membuat perusahaan-perusahaan yang ada di daerah Batam berupaya untuk menarik minat pencari kerja, seperti misalnya penyediaan dormitory (perumahan pekerja), peningkatan upah dan lain sebagainya. Di sisi lain pemerintah sebagai penyelenggara negara tentu akan memperhatikan kesulitan-kesulitan pengembangan industri di Batam, seperti dalam hal kesulitan pencarian tenaga kerja. Maka langkah logis yang dapat ditempuh oleh pemerintah, salah satunya adalah peningkatan standar upah minimun di Kota Batam, seperti yang telah terjadi di tahun 2013 ini dengan angka kenaikan yang cukup signifikan, dari Rp. 1.402.000,- menjadi Rp.2.040.000,-.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar