PROMOSI bertajuk Invest in Remarkable Indonesia, kini sudah tidak ada lagi di situs Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sejak Chatib Basri menduduki Kepala BKPM Juni lalu, promosi yang menggambarkan upah buruh di Indonesia sangat murah itu, tiba-tiba saja raib.
Entahlah, siapa yang menghapus promosi upah buruh murah itu. Kabar yang beredar di kalangan terbatas di BKPM menyebutkan, itu atas permintaan Chatib. “Pak Chatib tak suka dengan bunyi promosi tersebut,” kata sumber di BKPM.
Sejak beberapa lama, promosi itu memang menjadi jualan BKPM untuk menarik investor menanamkan modalnya di Indonesia. Bayangkan, di sana disebutkan upah buruh Indonesia hanya US$ 0,6 per jam.
Coba bandingkan dengan upah buruh di negara-negara Asia. Di India, misalnya, upah buruhnya sudah mencapai US$ 1,03 per jam, Filipina US$ 1,04, Thailand US$ 1,63, China US$ 2,11, atau Malaysia US$ 2,88 per jam.
Toh, sejak jualan upah buruh murah tersebut dihapus, nyatanya investasi terus saja mengalir ke Indonesia. BKPM mencatat, hingga September 2012, nilai investasi dalam negeri dan asing yang masuk mencapai US$ 25,54 miliar. Ini merupakan peningkatan 27% dibandingkan periode sebelumnya, atau 81,1% dari target 2012 sebesar US$ 31,5 miliar. "Saya optimistis hingga kuartal I-2013, investasi yang masuk ke Indonesia masih kuat," ujar Chatib.
Memang, upah murah kini bukan zamannya lagi. Soalnya, dalam kompetisi global, investor kini menuntut ketepatan waktu dan mutu kerja yang tinggi serta pelayanan birokrasi yang efisien. Bukan upah buruh yang murah.
Selama ini, kata ekonom LIPI Latif Adam, kecenderungan pengusaha mengeksploitasi tenaga kerja terus meningkat. “Share biaya tenaga kerja yang pada 2010 sebesar 20% dari komponen biaya produksi, pada tahun lalu menurun menjadi 18%,” katanya beberapa waktu lalu.
Bahkan, ahli DemografiUniversitas Indonesia Padang Wicaksono mengatakan, upah buruh kerap ditekan karena pemerintah tidak bisa mengatasi masalah infrastruktur, uang keamanan dan biaya birokrasi. "Setiap tahun, pengusaha dan pekerja saling ngotot menentukan UMP (Upah Minimum Provinsi) yang didasarkan dari KHL (Kebutuhan Hidup Layak), padahal penyebab perusahaan tidak bisa memberikan upah yang layak lebih banyak karena biaya produksi tersedot untuk birokrasi, infrastruktur dan uang keamanan," katanya.
Yang jelas, hingga kini belum ada satu pun perusahaan multinasional yang terpengaruh dengan kenaikan upah. “Mereka lebih mencemaskan aksi para buruh yang men-sweeping pabrik-pabrik dan memaksa pekerja untuk mogok kerja,” ujar Chatib.
Seperti halnya Chatib, ekonom Standard Chartered Bank, Eric Sugandi, mengatakan, pengusaha tidak akan hengkang dari Indonesia meski UMP buruh sudah dinaikkan. Dia melihat nilai tukar rupiah yang masih rendah, pengusaha yang sudah mengusai jalur distribusi produk barang, dan pertimbangan risiko pengusaha atas pangsa pasarnya, itulah yang membuat pengusaha masih tetap bertahan di Indonesia.
"Apalagi bila harus didukung oleh sektor konsumsi domestik Indonesia yang masih tinggi ke depan, pengusaha tentu tidak ragu bila harus tetap bertahan di sini meski harus mengeluarkan investasi untuk kenaikan upah," ujar Eric.
Jadi, kenaikan UMP 2013 tak masalah.
Source: majalah InilahREVIEW edisi ke-15 Tahun II, terbit Senin 10 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar