Pungli, Korupsi dan Upah Buruh
“Biaya siluman dan korupsi di daerah bisa mencapai 10-12 persen dari biaya produksi … Jadi kita bukannya tidak mau naikkan upah,” ujar Sofjan Wanandi. Dengan kalimat ringkas ini, pengusaha dalam sekejap menjadi pejuang anti-korupsi, menjadi korban praktek KKN yang mengikat kaki-tangannya untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Pungli yang mencekik para pengusaha memaksa mereka untuk mencekik buruh juga. Namun dengan begitu banyaknya omong-kosong yang dilontarkan Sofjan belakangan ini, sebagai respon panik terhadap gelombang aksi buruh, kita perlu memeriksa kebenaran logika dari pernyataannya.
Dengan semakin maraknya aksi buruh, semua orang berlomba-lomba mencari solusi untuk mencapai perdamaian buruh-kapital, yakni: bagaimana agar buruh bisa mendapatkan upah layak sementara pengusaha tepat meraih laba yang tinggi? Semenjak lahirnya sistem ekonomi kapitalisme beberapa abad yang lalu, ini adalah pertanyaan yang terus mengusik semua pihak, bukan hanya pengusaha dan buruh, tetapi semua orang pandai. Masyarakat kapitalisme lahir dan menggusur sistem feodalisme dan monarki (kerajaan/penguasa tanah) – yang sewenang-wenang dan membawa kesengsaraan. Sistem kapitalisme datang dengan pekik “keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Dalam masyarakat ini, semua orang – baik pengusaha maupun buruh – akan hidup sejahtera dan berdampingan dengan damai. Namun realitas terus membangunkan kita dari mimpi ini, karena ada segelintir orang yang hidup nyaman di atas kerja keras mayoritas buruh yang hidup miskin. Inilah yang terus menyebabkan benturan antara kapital dan buruh.
Berbagai cara oleh karenanya dicari untuk mencapai perdamaian antara buruh dan pengusaha, untuk mencapai surga dimana buruh bergaji tinggi sementara laba pengusaha juga tinggi. Dengan maraknya isu korupsi belakangan ini, tidak heran kalau pungli lalu jadi sasaran. Ini diringkas dengan baik oleh Muhaimin: “Upah buruh akan naik apabila biaya produksi menurun. Biaya produksi meningkat gara-gara pungli.” Formulanya begitu sederhana. Kalau pungli makan 10% biaya produksi, maka dihapuskannya pungli akan memberikan pengusaha ruang 10% biaya produksi untuk meningkatkan gaji buruh. Katakanlah 10% ini dibagi dua, maka tercapailah sebuah win-win solution untuk buruh dan kapital.
Ekonom dari Universitas Indonesia, Didik Rachbini, baru-baru ini juga menegaskan hal yang sama: “Upah buruh itu tidak besar porsinya dari ongkos produksi, yang besar itu biaya birokrasi, bayar ini itu yang siluman, nyogok sana nyogok sini. Itu yang membuat pengusaha tidak bisa menaikkan upah buruh.” Biaya siluman katanya memakai sepertiga dari total biaya produksi dan kalau dihilangkan maka upah buruh bisa naik dua kali lipat. Hari ini buruh hanya menuntut kenaikan 30%. Jadi kalau pungli dihapus maka pengusaha pun akan diuntungkan.
Tampaknya sebuah solusi perburuhan yang mujarab sudah kita temukan, yang disetujui oleh pengusaha, pemerintah, dan pakar ekonomi. Hapus Korupsi, Buruh dan Pengusaha Sejahtera! Namun pihak-pihak yang setuju ini tampak kewalahan – kalau bukan impoten – dalam memerangi korupsi. Mana Sofjan Wanandi dan kawan-kawannya ketika KPK diserbu? Dengan kekuatan ekonomi mereka, dengan mudah para pengusaha bisa menekan pemerintah untuk serius menangani korupsi. Ancaman mogok produksi ternyata hanya digunakan untuk mendorong pemerintah untuk menindak aksi-aksi buruh dan bukannya menindak para koruptor. Sementara, pemerintah yang berkuasa justru adalah sarang korupsi dan menjadi penghambat pemberantasan korupsi. Hanya penipu tak tahu malu atau orang dungu yang percaya kalau Muhaimin ingin memerangi korupsi. Lalu bagaimana dengan pakar-pakar ekonomi dan kaum intelektual? Mereka hanyalah teknokrat yang pintar bergelut dengan buku dan angka, yang secara politik impoten dan tidak mandiri. Tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka.
Kalau kita periksa hukum ekonomi, dalam pencarian laba para pengusaha akan selalu memotong biaya-biaya yang tidak mereka butuhkan, dalam kata lain mereka selalu mencari efisiensi produksi. Dalam kompetisi bebas antar perusahaan, kalau ada satu perusahaan yang menggunakan teknik produksi baru yang lebih efisien, yang memotong biaya produksi, maka perusahaan tersebut akan lebih maju dan membesar dibandingkan yang lain. Cepat atau lambat perusahaan lain akan meniru teknik tersebut hingga teknik baru tersebut menjadi universal dan seluruh industri menjadi lebih efisien. Kompetisi bebas ini terus terjadi dalam semua aspek produksi sehingga industri dan ekonomi terus meningkat. Begitu juga dengan pungli. Perusahaan yang tidak bayar pungli adalah perusahaan yang lebih efisien, akan maju dan membesar karena laba mereka tidak tergerus pungli. Kalau pungli secara fundamental adalah biaya yang sebenarnya tidak dibutuhkan, maka gerak hukum ekonomi akan dengan sendirinya menghilangkan praktek pungli di seluruh industri. Namun tidak demikian. Pungli seperti kanker yang terus melekat dan menolak pergi. Kita hanya bisa mencapai kesimpulan bahwa pungli sebenarnya adalah biaya yang dibutuhkan dalam produksi. Pungli bukanlah aksi seorang penodong di jalan yang merampok nenek-nenek yang tak berdaya. Pengusaha membayar pungli karena ia membeli sesuatu, seperti halnya ia membeli bahan-bahan mentah untuk produksi. Apa yang disebut biaya siluman ini masuk ke dalam biaya produksi pengusaha yang penting, dan inilah mengapa biaya siluman ini terus ada dan tidak ada satupun dari kedua pihak – pengusaha ataupun pemerintah – yang serius menanggapinya.
Apa yang dibeli pengusaha ketika ia membayar pungli? Ketika pengusaha menyuap petugas disnaker, ini dilakukan agar petugas disnaker menutup mata mereka terhadap pelanggaran hak-hak buruh. Dalam perhitungan pengusaha, biaya menyuap oknum-oknum disnaker atau PHI adalah lebih murah daripada memenuhi berbagai hak-hak buruh: tempat kerja yang aman, bersih, dan sehat; gaji sesuai dengan upah minimum yang sudah ditetapkan, hak cuti, dan lain sebagainya. 350 juta rupiah yang dipungli oleh Hakim Imas dari PT Onamba adalah lebih murah ketimbang memenuhi tuntuntan 175 buruh yang mereka PHK. Tidak hanya ketentuan perburuhan saja, tetapi juga ketentuan-ketentuan lainnya seperti masalah limbah pabrik, polusi udara, amdal, perizinan, keamanan dan kelayakan produk, hak-hak konsumen, dll. Semua ini bisa diabaikan dengan menyuap berbagai birokrat yang bertanggungjawab. Semua dengan perhitungan bahwa lebih murah menyuap daripada memenuhi semua ketentuan yang ada – yang bahkan dari awalnya sudah sangat minim dan tidak memadai bila dibandingkan dengan standar negara-negara yang lebih maju. Inilah transaksi jual-beli antara pengusaha dan birokrat negara, sebuah transaksi yang menguntungkan kedua belah pihak. Kalau hari ini mereka – para Sofjan dan para Muhaimin – mengeluh mengenai pungli, ini hanya karena mereka sudah kehabisan alasan untuk menolak kenaikan upah buruh. Di bawah iklim skandal korupsi hari ini, mudah dan nyaman sekali menuding korupsi sebagai sumber dari segala permasalahan.
Kalau lantas ada pungli-pungli lain yang tampaknya sewenang-wenang dan tidak beralasan — yang merugikan rakyat jelata dan pedagang-pedagang kecil –, ini hanyalah turunan dari transaksi suap-menyuap pengusaha dan birokrat. Birokrat-birokrat kecil tahu kalau ada suap menyuap antara pengusaha dan atasan-atasan mereka, dan mereka juga menginginkan bagian mereka. Untuk menjaga keberlangsungan transaksi suap-menyuap ini ini, maka para atasan membiarkan bawahan-bawahan mereka memungut pungli-pungli kecil sehingga terbentuk kultur tahu-sama-tahu di dalam seluruh institusi. Kalau semua terlibat dalam korupsi, maka semua akan saling melindungi.
Korupsi adalah kejahatan yang harus dihapus di bumi Indonesia ini. Kaum buruh harus memerangi korupsi dan praktek suap-menyuap antara pengusaha dan birokrat yang sebenarnya menguntungkan mereka dan merugikan buruh. Ketika para Sofjan dan para Wanandi mengeluh mengenai korupsi, ini hanya untuk mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan mereka untuk mensejahterakan rakyat, ketidakmampuan mereka untuk menjalankan ekonomi yang bisa memberikan upah layak bagi buruh. Sesungguhnya merekalah pihak yang paling menentang pemberantasan korupsi. Bagi pengusaha, pemberantasan korupsi berarti mereka harus memperhatikan dan memenuhi berbagai ketentuan hukum, yang akan memotong laba mereka. Sementara bagi birokrat pemerintah, tanpa korupsi maka akan hilang privilese dan kekayaan yang mereka nikmati.
Sesungguhnya, Indonesia hari ini adalah surga bagi para pengusaha lokal dan asing karena tidak ada kepastian hukum. Biaya produksi di Indonesia sangat murah karena, tidak seperti Amerika atau negara-negara Barat lainnya, para pengusaha di sini tidak perlu memperhatikan berbagai undang-undang, yang kalau dipenuhi semuanya akan memakan biaya yang besar. Pengabaian ini dapat dibeli dengan suap, dengan apa yang disebut biaya siluman. Bagi buruh, oleh karenanya, memerangi korupsi berarti memerangi pengabaian hukum dan penginjak-injakan hak buruh. Jadi ada benarnya kata Sofjan dan Muhaimin kalau kesejahteraan buruh akan meningkat kalau korupsi dihapus. Akan tetapi mereka adalah orang yang paling terakhir yang akan menghapus korupsi karena merekalah pihak yang diuntungkan olehnya.
Source: http://spai-fspmi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar