Film berjudul Workers Dreams adalah film pertama yang diputar di festival film dokumenter,Screen Below The Wind Festival, yang diadakan di Ubud, Bali pada tanggal 16-18 Nopember 2012. Film ini menjadi pembuka pemutaran film dokumenter dalam festival film dokumenter se-ASEAN yang pertama kali diadakan di Indonesia. Tujuan Festival Layar Di Bawah Angin sendiri adalah menimbulkan epidemi demam dokumenter di Asia Tenggara yang sebenarnya sudah terdapat dalam kebudayaan masyarakatnya. Oleh karena itu festival film dokumenter ini dapat menjadi pemicu penyebaran virus demam dokumenter yang menjadi tujuan utamaScreen Below The Wind Festival.
Film Dream Workers disutradarai oleh sutradara dokumentarian asal Thailand bernama Tran Phuong Thao. Film berdurasi 50 menit ini bercerita tentang Toan dan Ngah yang diawal cerita ingin mengisi formulir aplikasi pekerjaan, lalu pergi ketempat wawancara pekerjaan akan tetapi tetap gagal mendapatkan pekerjaan. Lalu ada tokoh yang bernama Dinh yang bercerita tentang kondisi kerja di perusahaan internasional yang telah didirikan di Vietnam. Thao, sang sutradara, menggambarkan kisah Toan dan Ngah saling mendorong dan menghibur dalam masa penantian yang lama untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka berbicara tentang harapan mereka dan kehampaan mereka karena kekurangan uang dan cinta.
Kadang, bersama-sama mereka pergi untuk melihat sawah di desa mereka agar dapat merasa memiliki ketika melihat kampung halaman mereka, keluarga mereka dan masa kecil mereka tanpa khawatirakan menjadi dewasa.
Suatu hari, Dinh pergi ke sungai Merah dipusat kota untuk mengunjungi suatu pusat bisnis bernama Vincom dimana orang-orang berbelanja dengan kekayaan mereka tanpa pernah berpikir untuk bisa bebas datang dan pergi tanpa harus membeli suatu barang, hanya bertujuan untuk mencari dan memperluas pengetahuan.
Dinh memiliki keyakinan dalam pembangunan negerinya. Oleh karena itu, dia secara terbuka bercerita tentang semua kekurangan perusahaan layanan kommissional dan dia percaya bahwa pikirannya mungkin sangat berguna bagi masyarakat.
Workers Dreams menggambarkan tentang kehidupan ribuan perempuan muda yang bekerja di pabrik-pabrik milik asing yang beroperasi di Vitenam. Mau tahu berapa mereka digaji? Mereka hanya digaji tidak lebih dari 800.000 Dong, atau sekitar US$40.
Film dokumenter ini juga menceritakan mengenai mimpi-mimpi gadis desa yang berakhir di pabrik Nikon milik Jepang yang beroperasi di Hanoi. Mereka memiliki mimpi-mimpi untuk bisa memiliki kehidupan baru yang lebih baik di kota. Akan tetapi pada kenyataanya semua mimpi mereka harus kandas tergilas oleh sistem yang ada di kota. Mimpi mereka untuk hidup dalam kemudahan, untuk bisa berbelanja beraneka macam barang, hanya menjadi khayalan utopis belaka. Mereka tumbuh dalam sistem kapitalis di mana mimpi dan ilusi mereka tentang Vietnam baru tergilas.
Mungkin Workers Dream bisa kita jadikan perbandingan dengan nasib buruh pabrik yang ada di Indonesia. Bahkan bisa jadi tidak ada perbedaan yang signifikan antara nasib buruh di Thailand dan Indonesia. Kebanyakan dari mereka datang ke kota tanpa membawa bekal keahlian ataupun modal yang ala kadarnya. Akan tetapi mereka sulit mendapatkan pekerjaan pun bukan sepenuhnya kesalahan mereka.
Sistem perkotaan yang sudah terlampau kapital menjadi penyebab utama ketertindasan nasib buruh. Pekerjaan yang berat, jam kerja yang dimaksimalkan, serta gaji yang dibayarkan sekecil-kecilnya sudah umum menjadi salah satu gambaran kota kapital yang tidak memikirkan nasib buruh kecil.
Ironis, karena kemalangan nasib buruh ditambah juga dengan biaya hidup yang mahal diperkotaan, dan gaya hidup hedonis yang setiap hari bisa mereka saksikan sangat menyilaukan mata mereka. Ibarat luka yang disiram air garam. Buruh hanya bisa berharap suatu saat pabrik atau perusahaan di tempat mereka bekerja bisa lebih memperhatikan kesejahteraan pekerjanya.
Film Dream Workers disutradarai oleh sutradara dokumentarian asal Thailand bernama Tran Phuong Thao. Film berdurasi 50 menit ini bercerita tentang Toan dan Ngah yang diawal cerita ingin mengisi formulir aplikasi pekerjaan, lalu pergi ketempat wawancara pekerjaan akan tetapi tetap gagal mendapatkan pekerjaan. Lalu ada tokoh yang bernama Dinh yang bercerita tentang kondisi kerja di perusahaan internasional yang telah didirikan di Vietnam. Thao, sang sutradara, menggambarkan kisah Toan dan Ngah saling mendorong dan menghibur dalam masa penantian yang lama untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka berbicara tentang harapan mereka dan kehampaan mereka karena kekurangan uang dan cinta.
Kadang, bersama-sama mereka pergi untuk melihat sawah di desa mereka agar dapat merasa memiliki ketika melihat kampung halaman mereka, keluarga mereka dan masa kecil mereka tanpa khawatirakan menjadi dewasa.
Suatu hari, Dinh pergi ke sungai Merah dipusat kota untuk mengunjungi suatu pusat bisnis bernama Vincom dimana orang-orang berbelanja dengan kekayaan mereka tanpa pernah berpikir untuk bisa bebas datang dan pergi tanpa harus membeli suatu barang, hanya bertujuan untuk mencari dan memperluas pengetahuan.
Dinh memiliki keyakinan dalam pembangunan negerinya. Oleh karena itu, dia secara terbuka bercerita tentang semua kekurangan perusahaan layanan kommissional dan dia percaya bahwa pikirannya mungkin sangat berguna bagi masyarakat.
Workers Dreams menggambarkan tentang kehidupan ribuan perempuan muda yang bekerja di pabrik-pabrik milik asing yang beroperasi di Vitenam. Mau tahu berapa mereka digaji? Mereka hanya digaji tidak lebih dari 800.000 Dong, atau sekitar US$40.
Film dokumenter ini juga menceritakan mengenai mimpi-mimpi gadis desa yang berakhir di pabrik Nikon milik Jepang yang beroperasi di Hanoi. Mereka memiliki mimpi-mimpi untuk bisa memiliki kehidupan baru yang lebih baik di kota. Akan tetapi pada kenyataanya semua mimpi mereka harus kandas tergilas oleh sistem yang ada di kota. Mimpi mereka untuk hidup dalam kemudahan, untuk bisa berbelanja beraneka macam barang, hanya menjadi khayalan utopis belaka. Mereka tumbuh dalam sistem kapitalis di mana mimpi dan ilusi mereka tentang Vietnam baru tergilas.
Mungkin Workers Dream bisa kita jadikan perbandingan dengan nasib buruh pabrik yang ada di Indonesia. Bahkan bisa jadi tidak ada perbedaan yang signifikan antara nasib buruh di Thailand dan Indonesia. Kebanyakan dari mereka datang ke kota tanpa membawa bekal keahlian ataupun modal yang ala kadarnya. Akan tetapi mereka sulit mendapatkan pekerjaan pun bukan sepenuhnya kesalahan mereka.
Sistem perkotaan yang sudah terlampau kapital menjadi penyebab utama ketertindasan nasib buruh. Pekerjaan yang berat, jam kerja yang dimaksimalkan, serta gaji yang dibayarkan sekecil-kecilnya sudah umum menjadi salah satu gambaran kota kapital yang tidak memikirkan nasib buruh kecil.
Ironis, karena kemalangan nasib buruh ditambah juga dengan biaya hidup yang mahal diperkotaan, dan gaya hidup hedonis yang setiap hari bisa mereka saksikan sangat menyilaukan mata mereka. Ibarat luka yang disiram air garam. Buruh hanya bisa berharap suatu saat pabrik atau perusahaan di tempat mereka bekerja bisa lebih memperhatikan kesejahteraan pekerjanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar