Pengusaha Ancam Lockout Adalah Bukti Pengusaha Tidak Paham Undang-Undang
Aksi Buruh Menuntut Upah Layak di Kantor Gubernur DKI Jakarta |
Pernyataan Koordinator Forum Komunikasi Asosiasi Nasional (Forkan) Franky Sibarani bahwa rencana mogok produksi yang akan dilakukan oleh pengusaha merupakan respons dari demo buruh yang sudah anarkis dan kepastian hukum yang tak jelas dari pemerintah. Artinya, mogok produksi ini merupakan tindakan pembalasan terhadap demo buruh yang marak belakangan ini.
Alasan Palsu
Jika diperiksa satu per satu demo buruh yang berlangsung di tiap pabrik, maka kita dapat menemukan bahwa tidak satu pun tuntutan buruh yang jauh dari normatif. Hapus outsourcing merupakan tuntutan buruh yang paling utama pada setiap aksi di pabrik-pabrik. Buruh menuntut pengangkatan status dari outsourcing menjadi pekerja tetap di perusahaan berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 66, di mana pekerjaan outsourcing hanya dibolehkan di lima bidang pekerjaan, yaitu satpam, catering, supir antarjemput, cleaning service dan pertambangan. Kenyataannya, 86 % buruh outsourcing justru dipekerjakan di bagian produksi utama perusahaan (hasil penelitian Akatiga). Pelanggaran ini sudah belangsung selama 9 tahun!
Hal lain lagi, aksi anarkis yang dituduhkan pengusaha kepada buruh sangat tidak berdasar, karena buruh tidak merusak fasilitas perusahaan. Aksi semata-mata ditujukan untuk menghentikan produksi (mogok), termasuk menghentikan keluar-masuknya barang. Buruh menuntut agar pengusaha patuh pada Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Biasanya, buruh yang baru mendirikan serikat di perusahaan mengajukan perundingan kepada pihak perusahaan. Pengajuan tidak langsung diterima, bahkan dalam banyak kasus, surat pengajuan perundingan ditolak oleh perusahaan. Buruh tidak kehilangan akal, surat perundingan dikirimkan melalui jasa pengiriman. Surat perundingan dikirimkan sebanyak tiga kali. Pengusaha tidak pernah merespon, akhirnya buruh pun mogok. Tidak jarang, belum sempat serikat buruh mengajukan perundingan, pengusaha sudah memecat para pengurus serikat dengan berbagai alasan. Ada beberapa perusahaan yang bersedia berunding, jarang menjadi contoh bahwa buruh pun bisa bersikap kooperatif (bekerjasama). Misalnya, PT Unilever yang bersedia berunding dengan serikat pekerja, belum terkena geruduk massa buruh sampai saat ini.
Jadi, sebetulnya, alasan lockout itu hanya alasan palsu. Alasan yang sebenarnya adalah pengusaha tidak ingin menghapuskan outsourcing, sebagaimana laku jujur yang ditunjukkan oleh pihak Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang mati-matian menentang Keputusan Menteri yang baru, yang menegaskan pekerjaan yang bisa outsourcing (alih daya) di lima bidang pekerjaan saja.
Saat ini UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 21 Tahun 2000 beredar di kalangan buruh seperti virus, karena buruh melihat ada hak-hak mereka yang bisa diperjuangkan dengan berbekal UU tersebut. Artinya, buruh sudah berada pada jalur penegakan hukum itu sendiri. Pihak aparat Kepolisian dan TNI yang aktif mengawal aksi-aksi buruh tidak berdaya untuk membubarkan, karena tuntutan buruh di tingkat pabrik semuanya sudah sesuai dengan UU yang berlaku.
Menebar Ketakutan
Tujuan ancaman lockout adalah menebar ketakutan di kalangan para buruh. Ancaman ini memang menakutkan karena ketergantungan buruh pada pekerjaan yang disediakan oleh pengusaha. Di dalam hati para buruh, ketakutan kehilangan pekerjaan menjalar seperti virus. Apalagi, kelompok pro pengusaha menyebarkan ancaman ini dalam obrolan-obrolan di pabrik, warung kopi, media sosial dan media massa. Selanjutnya, diharapkan moral juang serikat pekerja dan anggotanya menurun sehingga aksi-aksi buruh bisa dikurangi dan dikendalikan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPI) Said Ikbal mengatakan ancaman pengusaha itu hanya lah gertal sambal dan omong kosong. Pengusaha yang mau hengkang tersebut hanyalah segelintir pengusaha “nakal” yang tidak taat pada Undang-Undang. Pimpinan buruh sama sekali tidak takut dengan ancaman tersebut.
Ancaman pengusaha tersebut memang tidak masuk akal jika melihat kenaikan investasi di Indonesia sebesar 22 persen. Harga tanah di Bekasi sebagai kawasan industri yang diminati juga mengalami kenaikan 60 persen. Selain itu, krisis ekonomi di negeri Amerika Serikat dan Eropa mengharuskan pengusaha asing untuk ekspansi (meluaskan) modalnya dalam bentuk perluasan investasi maupun perluasan pasar di negeri-negeri berkembang termasuk Indonesia. Keistimewaan Indonesia jika dibandingkan dengan negeri-negeri Asia lainnya adalah jumlah penduduknya yang melimpah mencapai 230 juta jiwa dan sumber daya alamnya yang kaya (dan beranekaragam).
Ancaman pengusaha ini (apalagi jika benar-benar diwujudkan) justru berkonsekuensi membangkitkan kesadaran buruh akan hal lain: nasionalisasi perusahaan asing. Isu ini memang bukan merupakan barang baru, tapi dalam momentum yang tepat, isu ini bisa bangkit seperti jamur di musim hujan. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun sudah bukan milik pemerintah lagi, sudah dijual ke tangan asing (privatisasi). Apalagi menjelang Pemilu 2014, tidak sedikit partai dan elit politik baru, yang aktif mengkampanyekan isu kemandirian nasional.
Source: Link
Tidak ada komentar:
Posting Komentar