Sudah menjadi rahasia umum, bila sistem kerja kontrak dan outsourcing melemahkan posisi buruh dihadapan pengusaha. Dalam praktiknya, sebagian besar buruh kontrak dan outsourcing malah tidak memiliki posisi tawar sama sekali. Pemutusan kontrak adalah bayang-bayang paling menakutkan bagi buruh kontrak dan outsourcing.
Dampak dari ini sangat merugikan bagi buruh kontrak dan outsourcing,
namun menimbulkan keuntungan berlipat ganda bagi pengusaha.
Belum lama ini, penulis melakukan penelusuran mengenai kondisi buruh kontrak dan outsourcing pada dua perusahaan berbeda di Kabupaten Bogor. Perusahaan pertama adalah bergerak dibidang pengolahan metal/logam, sementara yang kedua merupakan perusahaan produksi mainan dan boneka. Kondisi yang ditemui memang demikian seperti yang dibahas sebelumnya, banyak terjadi pelanggaran hak-hak, seperti terlihat dalam tabel berikut:
Berbagai pelanggaran tersebut diperparah lagi dengan tidak dilibatkannya buruh outsourcing ke dalam serikat buruh yang ada di perusahaan tersebut, atau buruh kontrak yang menjadi anggota namun tidak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan serikat seperti misalnya pendidikan. Sehingga posisi tawar mereka yang sudah lemah, kian menjadi lemah lagi, karena tidak adanya kekuatan kolektif yang mendukung mereka.
Sementara itu, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sendiri, tidak ada istilah yang membedakan antara buruh tetap dengan kontrak dan outsourcing, sehingga pembedaan hak-hak yang dilakukan pengusaha tidaklah memiliki dasar. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan masih adanya hak-hak buruh berstatus tetap yang dilanggar oleh pengusaha didalam sebuah perusahaan.
Sistem kerja kontrak dan outsourcing merupakan bagian terpenting dari Labor Market Flexibility (LMF) atau pasar kerja fleksibel. Dalam pasar kerja fleksibel, logika yang digunakan adalah logika bisnis, yakni menyelamatkan dunia usaha (maksudnya adalah pengusaha, pemilik modal, dan investor) adalah lebih penting dan menjadi prioritas untuk dilakukan oleh negara daripada menyelamatkan hak-hak dan jaminan kepastian pekerjaan kaum buruh.[2] LMF atau pasar kerja fleksibel diadopsi dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, bersama dengan derasnya tuntutan dari IMF melalui program penyesuain struktural yang disepakati oleh pemerintah Indonesia, sejak tahun 1997 hingga 2003.
Apabila diringkas, LMF atau pasar kerja fleksibel memiliki beberapa dimensi fleksibilitas, yakni:
- Flexibilitas eksternal, yaitu terkait dengan penyesuaian penerimaan buruh dari pasar kerja eksternal. Hal ini dicapai dengan mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing melalui pengaturan pengupahan dan pemberhentian yang longgar;
- Fleksibilitas internal, yaitu fleksibilitas dalam waktu kerja;
- Fleksibilitas fungsional, yaitu fleksibilitas dalam mempekerjakan buruh diberbagai bidang pekerjaan yang berbeda dalam perusahaan;
- Fleksibilitas upah.[3]
Oleh sebab itu, pelanggaran hak-hak dasar buruh akan tetap terjadi selama sistem kerja kontrak danoutsourcing masih diberlakukan di Indonesia. Maka, perjuangan penegakan hak-hak dasar buruh oleh serikat buruh maupun pihak lainnya, harus dibarengi dengan perjuangan penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing dari bumi Indonesia.***
[1]. Muhtar Habibi; Gemuruh Buruh Ditengah Pusaran Neoliberlisme : Pengadopsian Kebijakan Perburuhan Neoliberal Pasca Orde Baru; Yogyakarta: Penerbit Gava Media; 2009.
[2]. David Harvey; Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (terj.): Yogyakarta: Resist Book; 2009.
[3]. Muhtar Habibi; Op.Cit.
Source: Link
Tidak ada komentar:
Posting Komentar