Marsinah…Marsinah…Marsinah
Marsinah buruh pabrik arloji
Marsinah..Marsinah…Marsinah
Marsinah dibunuh Orde Baru
Wahai buruh sedunia…bangkitlah melawan
Hancurkan segala penindasan
Wahai buruh sedunia…bangkitlah melawan
Hancurkan segala penindasan
Gubuk tua di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk, menjadi saksi bisu kematiannya. Pembunuh sebenarnya masih menjadi tanda tanya. Bahkan, hingga 16 tahun berselang. Pabrik tempatnya bekerja kini lenyap oleh luapan lumpur panas Lapindo.
Marsinah asal Desa Nglundo, Sukomoro, Nganjuk, bukanlah buruh yang aktif di serikat pekerja. Kondisi yang serba terbatas membuatnya harus mencari kerja sampingan. Di kontrakannya di daerah Siring, Porong, Sidoarjo, Marsinah terkadang menerima order menjahit. Kadang juga berjualan untuk menutup kebutuhan.
Kondisi perburuhan yang kurang memenuhi rasa keadilan tidak hanya terjadi di era reformasi ini. Di era rezim Orde Baru, upah tidak layak dan terbelenggunya mereka akibat serikat pekerja bentukan pemerintah, menjadi jurang ketidakadilan ketika itu. Hal yang wajar pemogokan kerap terjadi. Dan tentara selalu ikut campur tangan menghadapi pemogokan buruh, termasuk di PT Citra Putra Surya, perusahaan arloji di Sidoarjo, Jawa Timur, tempat Marsinah bekerja.
Kondisi itu tidak menyurutkan buruh PT CPS untuk menuntut hak, pada 3 dan 4 Mei 1993. Upah minimum regional (UMR) yang mereka terima jauh dari upah minimum yang telah ditentukan. Mereka hanya mendapatkan Rp 1.700 per hari, sementara upah minimum yang seharusnya diberikan perusahaan Rp 2.250. "Tuntutan kami berikutnya adalah bubarkan SPSI, tapi Depnaker langsung berdiri dan menyatakan, ‘ini ciri-ciri dari PKI’. Alasannya, SPSI itu bentukan pemerintah dan legal. Kalau melawan langsung dinyatakan PKI. Kami sangat ketakutan kalau di cap sampai sejauh itu," kata Klowor, pemimpin aksi ketika itu, pada peringatan malam kebudayaan “Marsinah Menggugat” di pelataran kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Akibat desakan para buruh, manajemen PT CPS pun menyatakan akan memenuhi tuntutan buruh, meski belum secara tertulis. Tiba-tiba pada 5 Mei beberapa buruh yang ikut pemogokan dipanggil untuk rapat dengan perusahaan dengan disaksikan Depnaker, di sebuah tempat yang mungkin tidak masuk akal. Karena tidak masuk akal itulah yang membuat Marsinah secara spontan mendatangi tempat perundingan ulang tersebut: Markas Komando Distrik Militer Sidoarjo.
Marsinah merasa terkejut. Mengapa harus ada perundingan ulang di Kodim Sidoarjo? Dia juga terkejut terkait alotnya perundingan dan ancaman PHK terhadap temannya. Padahal, sebelumnya perusahaan menyepakati akan mengabulkan tuntutan buruh.
Sendirian, tanpa teman, Marsinah mendatangi Makodim Sidoarjo. Usai pulang kerja shift pertama, sekitar magrib, dia datang dengan ojek. Sejak itulah Marsinah lenyap. Dan masyarakat di kagetkan setelah ditemukan mayat perempuan pada 9 Mei 1993. Melalui sebuah robekan resi wesel diketahui mayat itu Marsinah. Buruh pabrik arloji itu menemui kematian ketika berusaha menanyakan keberadaan temannya. Seorang buruh yang menuntut kekurangan Rp 550 dari upah minimum regional, sesuai surat edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 50 Tahun 1992.
Alibi Pemerkosaan
Pengadilan “sesat” berlangsung di Pengadilan Negeri Sidoarjo, karena yang terungkap di pengadilan adalah Marsinah tewas karena diperkosa. Secara forensik tidak ditemukan sama sekali bukti yang menunjukkan adanya kerusakan yang mengarah pada pemerkosaan. Namun, skenario “yang maha berkuasa” ketika itu mengatakan Marsinah diperkosa. "Ada orang yang direkayasa untuk melakukan pembunuhan terhadap Marsinah," kata Hari Widodo, mantan koordinator Tim Pencari Fakta Kasus Marsinah, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Sementara fakta forensik dari RSUD Nganjuk menyatakan tidak ada tanda-tanda Marsinah diperkosa. Tulang panggul hancur total yang tidak disebabkan benda keras. Ketika persidangan kasus Mutiari, Direktur Personalia PT CPS, dimulai di Pengadilan Negeri Sidoarjo, jasad Marsinah kembali diangkat dan diautopsi untuk kedua kalinya. Hasilnya, ditemukan tulang panggul dan leher hancur. "Fakta semacam ini tidak pernah diungkap di pengadilan. Kita bisa mengambil kesimpulan sendiri. Bagaimana mungkin tubuh manusia yang tidak ditemukan luka, tapi hancur di bagian dalamnya? Kita bisa simpulkan bagaimana Marsinah dibunuh," ujar Hari.
Pengadilan tingkat pertama, 7 orang manajemen PT CPS dinyatakan bersalah. Di tingkat banding keputusan diperkuat dan di tingkat kasasi dinyatakan tidak bersalah. Dengan selesainya pengadilan ini, kasus pembunuhan Marsinah tetap menjadi gelap. "Yang jelas, Marsinah tidak pernah diperkosa. Tapi, Marsinah dibunuh dengan menggunakan alibi pemerkosaan. Dan itu secara sadar, digunakan oleh pembunuhnya," kata Hari.
Bukti dan saksi menunjukkan ada perundingan di Markas Kodim V Brawijaya Sidoarjo. Keterkaitannya dengan tentara kelihatan dari awal. Karena hal ini pula, desakan penuntasan kasus ini terus membesar ketika itu. "Kasus ini tidak hanya menjadi urusan di tingkat lokal, karena ketika masa rezim Soeharto peran badan intelijen ABRI sangat menentukan. Ini skenario sampai mereka bisa merekayasa pengadilan, tidak hanya menjadi urusan Jawa Timur, tapi juga menjadi urusan Jakarta pada saat itu," kata Heri.
Sejak era presiden Soeharto, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarnoputri, kematian Marsinah coba diangkat lagi ke permukaan, tapi kejelasan itu tetap nihil. Hukum di negeri yang demokratis ini seakan juga terkubur dengan jasad Marsinah. Skenario besar untuk membunuh Marsinah masih tertutup rapat. Hilangnya para petinggi PT CPS selama satu bulan sebelum ditemukan di Polda Jawa Timur juga belum terungkap dengan pasti. Fenomena hukum dan keadilan yang nyaris terhukum.Sistem hukum yang selalu menempatkan keadilan buruh pada strata terendah.
Bagi para aktivis buruh, sosok Marsinah adalah perempuan luar biasa. Tidak hanya memperjuangkan kepentingan individu, tapi juga kepentingan seluruh buruh dan keluarganya. ”Ini menjadi motivasi untuk melawan musuh kami sebenarnya. Tidak hanya pemilik modal, tapi konspirasi di antara birokrasi penguasa negara dan pengusaha semakin solid, yang tidak pernah berpihak pada keadilan. Buruh hanya ingin mendapatkan keadilan. Itu saja,” kata Nining Elitos, Ketua Umum Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia.
Orang hidup butuh pekerjaan. Namun bukan berarti pekerja bisa ditindas begitu saja oleh pemodal. Harus ada kesetaraan antara keduanya. Hasil produksi juga harus bisa dinikmati oleh buruh. Selama 16 tahun terakhir, setelah Marsinah dibunuh, tidak ada perubahan yang signifikan. Sekarang justru semakin parah dan semakin tidak jelas. Kepastian kerja dan penghidupan yang layak bagi rakyat masih jauh dari harapan. ”Ini adalah suntikan, yang mau membunuh rakyat harus dilawan, untuk menghilangkan segala ketidakadilan. Kenapa buruh selalu dibuat ancaman? Kita hanya menuntut hak. Sama sekali tidak ada memanusiakan manusia di pemerintah kita,” ujar Nining.
Buruh belum mendapatkan keadilan sejati dari pemerintah. Buruh harus menyatukan kekuatannya. Seperti dikatakan Marsinah kepada Klowor, buruh harus bersatu, buang kepentingan individu, dan kedepankan kepentingan buruh dan rakyat. Meski Marsinah telah tiada, ”Marsinah-Marsinah” lain tetap meneruskan semangatnya untuk terus menggugat.
Problematika Buruh Perempuan
Seperti
Marsinah, buruh perempuan lainnya masih juga menuntut hak-hak normatif
yang sebenarnya sudah tidak perlu lagi diminta. Dan ternyata masih
banyak perusahaan/pabrik yang tidak memberikan hak tersebut. Misalnya
cuti haid yang tertuang dalam Pasal 81 UU No. 13 Tahun 2003 masih
diabaikan atau kemudian dialihkan melalui aturan/ perjanjian kerja yang
isinya memotong masa cuti tahunan jika mengambil cuti haid atau memotong
gaji yang besarnya ditentukan oleh manajemen pabrik jika mengambil cuti
haid. Ini kemudian memaksa buruh perempuan untuk urung mengambil cuti
haid.
Pada kasus lain, lembur yang tidak dibayarkan secara penuh masih
sering terjadi di beberapa pabrik/ perusahaan. Ironisnya, pengusaha
berdalih bahwa lembur adalah bagian dari pengabdian para pekerja
terhadap perusahaan. Ada pula pabrik yang menyediakan makanan ketika
lembur hingga 4 jam di luar jam kerja, tetapi lembur tetap tidak
dibayarkan dengan alasan uang lembur mereka telah berubah menjadi
makanan yang mereka makan.
Upah,
yang kerap menjadi isu utama bagi kaum buruh sepanjang masa, terutama
buruh perempuan. Kebanyakan buruh perempuan digaji lebih rendah karena
anggapan-anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, mudah
diintimidasi dan tidak berani melawan, perempuan bekerja untuk membantu
suami sebagai penafkah utama, atau karena anggapan bahwa kesempatan
kerja bagi perempuan sangat sedikit karena pendidikan yang rendah
sehingga akhirnya mau digaji berapapun asalkan bekerja dan punya
penghasilan. Penangguhan UMP 2013 ditengarai ada permainan antara
pemerintah dan pengusaha, dengan alasan bahwa UMP 2013 tersebut terlalu
tinggi melampaui KHL dan bisa mengakibatkan kebangkrutan perusahaan. Padahal,
selama ini 46 Komponen KHL ( Permenaker No.17/2005 ) yang dijadikan
patokan kenaikan UMP sangat tidak relevan dengan kondisi yang ada
sekarang. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun telah menegaskan
bahwa upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah dibandingkan
dengan negara-negara Asia Lainnya.
Kasus
pelecahan seksual tak kalah maraknya terjadi di pabrik-pabrik. Dan
sudah pasti korbannya adalah buruh perempuan. Modus pelecehannya pun
bermacam-macam, mulai dari pelecehan secara verbal seperti bersiul atau
mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, psikis seperti lirikan mata
dan gerakan lidah dan fisik yang mengarah pada perbuatan seksual seperti
mencolek atau mencium. Beberapa
kasus pelecehan seksual dilakukan oleh atasan mereka sendiri dengan
iming-iming kenaikan gaji atau pemindahan ke divisi kerja yang lebih baik. Dan
jika terjadi kasus pelecehan seksual, justru kebanyakan tidak mendapat
tanggapan positif oleh pihak manajemen pabrik atau bahkan menyalahkan
korban dan dianggap mencemarkan nama baik perusahaan.
Kembali
lagi, tidak adanya jaminan keamanan kepada buruh perempuan menyebabkan
mereka tak mampu melindungi dirinya sendiri dalam sebuah payung
peraturan. Walaupun telah dikeluarkan Pedoman Pencegahan Pelecehan
Seksual di Tempat Kerja yang dikeluarkan olah Kemenakertrans yang
bekerjasama dengan ILO, namun tetaplah belum mampu mencegah atau
menurunkan tingkat pelecehan seksual di pabrik-pabrik. Pedoman tersebut
hanyalah himbauan dan anjuran, tetapi bukan merupakan jaminan hukum
tetap dalam mencegah maupun menyelesaikan kasus pelecehan seksual yang
dialami oleh kaum buruh perempuan. Juga tidak adanya perlindungan
keselamatan bagi buruh perempuan yang bekerja di shift sore hingga malam
semisal menyediakan sarana angkutan antar jemput khusus, terbatasnya
jaminan kesehatan dan jaminan sosial bagi buruh perempuan yang menyusui
seperti menyediakan Tempat Penitipan Anak dan Ruang Menyusui di tempat
kerja, menunjukkan betapa lemahnya peran negara atas keberpihakan mereka
terhadap buruh perempuan.
Marsinah dan buruh masa kini
Marsinah, adalah potret pejuang bagi kaum buruh saat ini. Perjuangan
Marsinah, adalah juga apa yang kaum buruh perjuangkan hingga hari ini.
Ingatan rakyat Indonesia terhadap tak akan pernah hilang. Tepat hari ini
8 Mei, kematian Marsinah telah menyalakan obor perjuangan kaum buruh di
Indonesia, khususnya buruh perempuan. Patutlah,
Marsinah diberi penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap apa yang
telah ia abdikan atas nama buruh yang ditindas.
Marsinah,
ia yang berani menentang antek-antek penguasa Orde Baru saat itu dalam
menuntut kenaikan upah hingga berujung pada kematiannya, hendaknya
menjadi semangat buat kaum buruh di Indonesia untuk tidak lelah berjuang
menuntut apa yang telah menjadi hak. Matinya Marsinah jangan sampai
sia-sia, jangan sampai perjuangannya terlupakan begitu saja.
Perlawanannya tetap akan hidup dalam setiap teriakan “hidup buruh yang
melawan” dan dalam setiap langkah kaum buruh yang masih berjuang sampai hari ini. Sudah saatnya buruh mendesak kepada pemerintah mengambil sikap tegas
kepada para pengusaha nakal yang melakukan penangguhan upah terselubung,
yang membiarkan pelecehan seksual terjadi di lingkungan pabrik dan PHK
sepihak. Pemerintah pun harus segera menerapkan aturan
perundang-undangan secara menyeluruh tanpa adanya kepentingan sehingga
dapat dijadikan payung hukum bagi tegaknya HAM dan demokrasi bagi kaum buruh di Indonesia.
Dan
sudah saatnya pemerintah membuka mata lebar-lebar akan kasus Marsinah
dan kasus-kasus yang dialami oleh buruh saat ini. Pemerintah harus
berani membuka ulang kasus Marsinah atas nama demokrasi dan HAM. Hilang
dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah sesuatu yang
“direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak pernah menemui
titik terang. Pertanyaan yang muncul kemudian : “apakah pemerintah yang
sekarang ini mau membuka kembali kasus ini, agar keadilan dapat
ditegakkan?”. Sebab, keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap
Hak Asasi Manusia.
Belajar dari Marsinah.
Ia yang tak pernah mati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar