” Inilah kelas yang memeras
keringat dari pagi sampai
malam;
kelas yang diberi gaji
hanya cukup untuk mengisi
perutnya;
kelas yang tinggal di
gubuk seperti kambing di
kandang;
yang setiap saat bisa
dipukul atau dimaki-maki
dengan godverdomme;
kelas
yang setiap saat harus
melepaskan isteri atau anak
perempuan kalau ada seorang
kulit putih yang
menyukainya….
Inilah kelas
orang Indonesia yang dikenal
sebagai kuli kontrak.
Kuli-kuli
perkebunan biasanya harus
bangun pukul 4 pagi, karena
tempat pekerjaan mereka
jauh letaknya.
Baru pukul 7
atau 8 malam boleh pulang.
Bayarannya menurut kontrak
berjumlah empat puluh sen
setiap hari.
Makanannya
biasanya tidak cukup untuk
melakukan pekerjaan yang
berat selama 8 sampai 12 jam
setiap hari di bawah terik
panas matahari.
Pakaian
mereka cepat menjadi
compang-camping karena
sering bekerja di hutan.
Karena kekurangan dalam
segala-galanya,
timbullah di
dalam diri mereka suatu
nafsu yang tidak
terkendalikan untuk mencari
nasib baik dengan bermain
judi;
suatu nafsu yang dengan
sengaja dikobarkan oleh
perusahaan setelah dilakukan
pembayaran.
Mereka yang
kalah—dan biasanya lebih
banyak orang yang kalah
daripada yang menang—boleh
pinjam uang dari perusahaan.
Karena utang ini, maka
sembilan puluh persen dari
kuli-kuli itu setelah habisnya
kontrak terpaksa
memperbaharui kontraknya
kembali.
Utang itu
menimbulkan nafsu untuk
berjudi dan perjudian itu
memperbesar utang, dan
seterusnya, dan seterusnya,
dan seterusnya.”
( Tan Malaka )
keringat dari pagi sampai
malam;
kelas yang diberi gaji
hanya cukup untuk mengisi
perutnya;
kelas yang tinggal di
gubuk seperti kambing di
kandang;
yang setiap saat bisa
dipukul atau dimaki-maki
dengan godverdomme;
kelas
yang setiap saat harus
melepaskan isteri atau anak
perempuan kalau ada seorang
kulit putih yang
menyukainya….
Inilah kelas
orang Indonesia yang dikenal
sebagai kuli kontrak.
Kuli-kuli
perkebunan biasanya harus
bangun pukul 4 pagi, karena
tempat pekerjaan mereka
jauh letaknya.
Baru pukul 7
atau 8 malam boleh pulang.
Bayarannya menurut kontrak
berjumlah empat puluh sen
setiap hari.
Makanannya
biasanya tidak cukup untuk
melakukan pekerjaan yang
berat selama 8 sampai 12 jam
setiap hari di bawah terik
panas matahari.
Pakaian
mereka cepat menjadi
compang-camping karena
sering bekerja di hutan.
Karena kekurangan dalam
segala-galanya,
timbullah di
dalam diri mereka suatu
nafsu yang tidak
terkendalikan untuk mencari
nasib baik dengan bermain
judi;
suatu nafsu yang dengan
sengaja dikobarkan oleh
perusahaan setelah dilakukan
pembayaran.
Mereka yang
kalah—dan biasanya lebih
banyak orang yang kalah
daripada yang menang—boleh
pinjam uang dari perusahaan.
Karena utang ini, maka
sembilan puluh persen dari
kuli-kuli itu setelah habisnya
kontrak terpaksa
memperbaharui kontraknya
kembali.
Utang itu
menimbulkan nafsu untuk
berjudi dan perjudian itu
memperbesar utang, dan
seterusnya, dan seterusnya,
dan seterusnya.”
( Tan Malaka )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar