MENGGUGAT SISTEM OUTSOURCING MELAWAN PERBUDAKAN MODERN:DARI JUDICAIAL REVIEW MK KE GEREBEK PABRIK
Salah satu amanat dari Bapak Bangsa Kita Bung Hatta adalah agar dalam kehidupan berbangsa tidak terjadi eksploitasi manusia pada manusia lain (exploitation de l'homme par i'homme) namun dalam perkembangannya sekarang anak bangsa menjadi kuli dan budak di negerinya sendiri akibat sistem outsourcing atau alih daya. Sistem Outsourcing adalah bagian dari skema Labour Market Flexibility akibat sistem kapitalis neoliberal yang dianut oleh Rezim Pemerintahan SBY-Boediono sehingga Politik Buruh Murah menjadi paradigma kebijakan negara sehingga Pengusaha/Investor bisa mudah merekrut,memberi upah rendah dan gampang memecat.Di Indonesia saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 15.000 Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja(PPJP) atau Provider/Agen Outsourcing dengan jumlah Tenaga Outsourcing sedikitnya 10 Juta buruh/pekerja yang sebagian besar dipekerjakan di bagian inti/pokok perusahaan seperti operator produksi.Sistem Outsourcing menurut UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 64-66 adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjiankerja waktu tidak tertentu.Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsungdengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usahapenyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.Jika dimaknai maka bentuk outsourcingnya adalah outsourcing pekerjaan dan outsourcing tenaga kerja.
Relasi Hubungan Kerja Outsourcing berlapis-lapis melibatkan 3 pihak Perusahaan Pemberi Kerja(User),Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja(PPJP) selaku Provider dan Buruh Outsourcing.Dalam prakteknya Outsourcing sarat pelanggaran mulai dari dipekerjakan di bidang pokok/inti(core business) terutama bagian produksi/jasa seperti operator hingga teller bank, selain itu mereka sering dipecat sepihak tanpa pesangon dan diberikan upah murah dibawah UMK serta tidak diberikan THR,tidak boleh berserikat maupun tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek. Status buruh outsourcing atau alih daya tidak jelas dalam kerangka hukum ketenagakerjaan dengan perlindungan Buruh tidak lagi mendapatkan upah langsung oleh pemberi kerja, tetapi oleh pihak lain yang sebenarnya tak memiliki pekerjaan.Posisi buruh Outsourcing betul-betul teraniaya dan menjadi korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan serta menempatkan mereka seperti budak.
Penindasan dan Perbudakan terhadap buruh outsourcing sudah diluar batas kemanusiaan dan sudah terjadi begitu parahnya. Contoh di Jawa Timur meski sudah ada kebijakan moratorium outsourcing dari Gubernur Soekarwo, alih-alih pelanggaran berkurang dan perlindungan serta kesejahteraan buruh menjadi lebih terjamin malah pasca moratorium pelanggaran semakin parah dan kronis. Temuan FSPMI Jatim pasca moratorium sedikitnya ada sekitar 15 Vendor/Provider Outsourcing baru yang merekrut ribuan buruh untuk dipekerjakan menjadi tenaga outsourcing baru di sejumlah daerah industri utama jawa timur, Praktek Outsourcing sarat pelanggaran.Data Apindo Jatim menyebutkan dari 150 perusahaan di Jatim yang menggunakan tenaga outsourcing 73 persen, sisanya 27 persen tidak. Pelanggaran THR terhadap buruh outsourcing masih signifikan dan tinggi, 93% pelanggaran THR terjadi kepada sedikitnya 22.150 buruh outsourcing dilaporkan THRnya dilanggar pada tahun 2012. Dari 1022 perusahaan outsourcing di Jatim belum dilakukan pengawasan yang intensif,penindakan dan pembubaran.
Periode 2012 menjadi tonggak penting kebangkitan perjuangan para buruh outsourcing ini, mereka berjuang mencari keadilan di jalanan hingga ke Mahkamah Konstitusi(MK). Perjuangan secara regulasi melalui Judicial Review oleh Didik Supriyadi dkk dari Surabaya yang merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) membuat diterbitkannya Putusan MK Nomor: 27/PUU-IX/2011 yang diputuskan pada tanggal 5 Januari 2012 dan diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tangal 17 Januari 2012. Putusan ini menjadikan perlindungan terhadap buruh outsourcing semakin diperkuat sehingga buruh outsourcing hak normatif dan jaminan perlindungannya harus sama dengan pekerja/buruh di perusahaan pemberi kerja, selain itu masa kerja buruh outsourcing juga harus diperhitungkan serta statusnya dapat menjadi karyawan tetap.
MK membuat model sistem perlindungan terhadap buruh outsourcing yaitu Model pertama, outsourcing dilakukan dengan menerapkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) secara tertulis. Model ini bukan hal baru sebab Pasal 65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah mengaturnya secara opsional. Model kedua, lanjut MK, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.Putusan MK ini menjadi tonggak dan babak baru dalam perbaikan nasib buruh outsourcing.
Di Bekasi Jawa Barat dan sekitarnya gerakan MPBI yang berjargon Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM) dikembangkan secara kreatif menjadi alternatif terobosan advokasi untuk menghapus sistem outsourcing dengan istilah operasi gerebek pabrik atau operasi pembebasan budak. Mulai akhir Mei 2012 pabrik-pabrik yang mempekerjakan buruh outsourcing yang melanggar disweeping dan didatangi oleh massa buruh lintas serikat, massa melakukan penutupan pabrik, pendudukan, bahkan menghadang pihak manajemen, untuk mendesak pengangkatan buruh outsourcing menjadi karyawan tetap. Aksi hanya akan dihentikan ketika tuntutan tersebut dipenuhi. Aksi grebek bisa berlangsung 1 sampai 3 hari. Dalam beberapa kasus operasi grebek pabrik dapat berlangsung lebih lama lagi. Operasi gerebek pabrik ini menjadi ancaman serius terhadap pengusaha nakal dan sekitar 150 pabrik disweeping oleh massa buruh, hasil dari operasi gerebek pabrik ini puluhan ribu buruh outsourcing berhasil diperjuangkan statusnya berubah menjadi tetap dan kontrak.Bentuk perjuangan lainnya yang dilakukan oleh buruh korban outsourcing adalah seperti yang dilakukan ratusan buruh di Sidoarjo Jawa Timur pada 8 Maret 2012 dilatarbelakangi laporan pelanggaran outsourcing yang tidak digubris aparat dan di Sidoarjo Jatim praktek outsourcing sangat parah,ratusan buruh tersebut menduduki dan mengobrak-abrik Kantor Dinsosnaker Kab Sidoarjo yang berujung 129 buruh ditangkap dan pimpinan aksi dihukum 2 bulan penjara terkait insiden tersebut.
Harian Kompas 18 Desember 2012 menulis analisisnya bahwa Pemerintah yang semestinya mengatur sistem alih daya dalam regulasi turunan Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak menjalankan sepenuhnya. Ada pandangan, pengusahalah yang lebih berhak menafsirkan alur proses pelaksanaan pekerjaan sebagai kegiatan penunjang yang bisa diborongkan kepada pihak lain. Pengawasan ketenagakerjaan yang lemah membuat sistem alih daya yang eksploitatif meluas. Bahkan, pengusaha nakal dengan alasan demi daya saing menyerahkan pekerjaan kepada pihak ketiga daripada merekrut lebih banyak buruh tetap. Eksploitasi buruh alih daya semakin menjadi-jadi setelah pegawai dinas ketenagakerjaan, anggota DPRD, pengurus organisasi masyarakat, pengurus serikat buruh, dan perangkat desa pun turut mendirikan perusahaan pengerah jasa tenaga alih daya. Mereka memakai koneksi dan pengaruh politik untuk bisa menempatkan buruh alih daya di sejumlah pabrik dan mengambil keuntungan eksploitatif.Pengusaha jasa alih daya abal- abal ini mengambil keuntungan dua kali. Pertama, dari komisi penyaluran buruh alih daya kepada pengusaha dan dengan enteng memotong hak normatif yang seharusnya utuh diterima buruh.
Perjuangan buruh outsourcing disokong Majelis Pekerja Buruh Indonesia(MPBI) dan elemen lainnya melalui gerakan HOSTUM sepanjang tahun 2012 mereformasi berbagai regulasi dan mereduksi sistem perbudakan modern. Di level regulasi sistem perlindungan semakin diperkuat melalui Putusan MK Nomor: 27/PUU-IX/2011,Permenakertrans 19/2012 dan Peraturan Gubernur BI 12/2012,Kebijakan Moratorium Gubernur Jawa Timur dan Gubernur Jawa Barat sedangkan di level advokasi dan pengorganisasian para buruh outsourcing sudah banyak yang tergabung dalam serikat buruh/serikat pekerja dan telah berjuang untuk merubah nasibnya.
Bahwa sistem outsourcing telah menjadikan anak bangsa yaitu buruh/pekerja menjadi budak dan menderita sengsara akibat regulasi yang tidak berpihak kepada keadilan sosial dan kemanusiaan yang diperparah dengan mafia outsourcing semakin menggila menyebabkan ketidakadilan dan perdagangan manusia(human traficcking).Oleh sebab itu ke depan agenda perjuangan buruh/pekerja adalah menuntut penghapusan sistem outsourcing. Diperlukan perangkat dan instrumen hukum baru yang menjamin perlindungan buruh/pekerja dari eksploitasi dan perbudakan dalam bentuk apapun. Gerakan yang lebih massif dan desakan Political Willing untuk beleid baru Peraturan Perundang-Undangan yang berpihak kepada buruh/pekerja menjadi penentu masa depan yang lebih adil dan lebih baik untuk kaum buruh/pekerja di Indonesia.
Selamat Tahun Baru, Semoga Tahun 2013 ini menjadi Tahun Keadilan untuk semua
A Luta Continua !!!
Perjuangan Harus Berlanjut, Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan
Surabaya, 1 Januari 2013
Jamal (Sekretaris Umum Pimpinan Pusat SPAI FSPMI & aktif di KSPI n MPBI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar