Mars FSPMI Kami buruh fspmi Berjuang di sini karena hati kami Bukan karena digaji atau ingin dipuji Kami berjuang karena hak asasi Kami buruh fspmi Siang malam tetap mengabdi Tak peduli hujan tak peduli panas Susah senang ya solidarity Reff: Di sini bukan tempat buruh malas Atau mereka yang biasa tidur pulas Di sini tempatnya para pejuang Yang berjuang dengan keikhlasan Lawan lawan lawan lawan lawan Lawan lawan lawan sampai menang Satu komando wujud kekompakan Sabar dan loyal itu kewajiban Sekuat mental baja sukarela berkorban Berjuang dalam satu barisan Solidarity forever Solidarity forever Solidarity forever For the union make us strong.

Kamis, 06 Desember 2012

Segera Nasionalisasi Tambang



Bila pertambangan asing membawa berkah bagi masyarakat setempat, mestinya kebutuhan infrastruktur dasar masyarakat di Pegunungan Papua sudah terpenuhi. Fasilitas transportasi, kesehatan, pendidikan dan air bersih sudah terlayani dengan baik. Bukan seperti sekarang, ketika orang-orang Yahukimo, Papua, harus membeli barang-barang kebutuhan pokok dengan harga mahal akibat tidak adanya jalan darat yang menembus hutan Papua.

Namun Freeport tetap tidak peduli dengan itu. Selama ini masyarakat setempat hanya mendapat royalti 1% dari entah berapa banyak emas dan tembaga yang dikeruk dari bumi Papua. Hal senada tentu juga dialami masyarakat di Teluk Buyat, Minahasa. Lebih mengerikan lagi, di tahun 2004 lalu tragedi Minamata yang terjadi di Jepang akibat masyarakat dipaksa mengkonsumsi ikan dengan kadar mercuri tinggi terjadi juga di Minahasa, hingga sempat menghebohkan sejumlah kalangan.

Tentu masih banyak lagi kejadian-kejadian buruk akibat bercokolnya perusahaan-perusahaan tambang asing. Kejadian paling sering adalah meletusnya konflik kekerasan yang meluas di berbagai belahan nusantara. Sebut saja di sepanjang hulu daerah aliran sungai Batang Gadis. Sebelum perusahaan asing masuk ke sana, penambang-penambang tradisional hidup sejahtera.

Masyarakat setempat pun kecipratan rejeki langsung, berupa retribusi desa dan mendapatkan fee dari persentase hasil yang didapat. Kini semua itu tinggal cerita. Yang ada justru kejaran polisi dan aparat Polisi Pamong Praja, dengan alasan wilayah itu sudah dikuasai oleh Sorikmas Mining, perusahaan patungan antara Sihayo Gold Limited (perusahaan Australia) yang memiliki 75% saham dan sisanya 25% PT Aneka Tambang.

Lebih gila lagi, PT Sorikmas Mining, berhasil menggugurkan status Taman Nasional Batang Gadis lewat uji materi ke Mahkamah Agung (MA) yang berhasil dimenangkannya. Entah apa pertimbangan MA mengabulkan uji materi itu, yang jelas dengan hadirnya PT Sorikmas Mining yang mayoritas dikuasai Australia, kini masyarakat Mandailing tinggal menunggu waktu datangnya malapetaka lingkungan. Sedangkan PT Sorikmas Mining akan lebih leluasa menambang emas di lahan seluas 33.721 hektar yang berada di kawasan Taman Nasional Batang Gadis.

Dengan alasan selama berpuluh-puluh tahun perusahaan pertambangan asing mengokupasi sumber daya alam tanpa memberi manfaat apapun bagi masyarakat setempat, sudah selayaknya pula kita kembali kepada semangat Pasal 33 UUD 1945.

Dengan sendirinya pula, sudah saatnya penguasaan asing atas tambang milik kita dihapuskan. Negara atau Pemerintah, termasuk di antaranya lembaga pembuat undang-undang (legislatif) dan lembaga pemutus perkara (judikatif) harus mempunyai kemauan politik yang kuat untuk keluar dari cengkeraman asing. Negara juga harus menutup setiap celah yang memungkinkan kepentingan asing masuk melalui berbagai produk undang-undang.

Selama ini, Negara memberi ruang yang begitu besar masuknya kepentingan asing di sektor pertambangan melalui berbagai produk undang-undang, antara lain UU Pertambangan, UU Migas dan UU Minerba. Akibatnya asing mengeruk dan menikmati kekayaan tambang milik kita, sementara Negara hanya mendapatkan keuntungan yang sangat sedikit. Sedangkan Mahkamah Agung, tanpa bermaksud menyerang kehormatan hakim-hakimnya, terkesan acap kali membuat keputusan kontroversial, seperti dalam hal pengguguran status Taman Nasional Batang Gadis.

Negara harusnya menjadi pengendali utama atas pengelolaan tambang miliknya sendiri. Berbagai produk undang-undang yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan negara, harus direvisi kembali. Pemerintah dan DPR harus bisa dan berani melahirkan produk undang-undang yang mampu mengembalikan fungsi dan kewenangan negara terhadap penguasaan sumber daya alam yang dimilikinya. Tapi lebih dari itu, penyelenggara negara baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif harus memiliki semangat yang sama untuk keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Undang-undang yang disusun harus dapat mewujudkan amanat konstitusi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Negara harus mengelola tambang melalui BUMN dan BUMD yang ada. Kesiapan BUMN bukanlah masalah utama, karena itu hanyalah “akal-akalan” untuk menggagalkan dominasi BUMN. BUMN sendiri harus bebas dari kepentingan politik dan perburuan rente. Dijegalnya Pertamina untuk menguasai kembali Blok Cepu menjadi bukti, bahwa negara ini bertekuk lutut pada kepentingan asing dan negara melalui pemerintahannya tidak bersungguh-sungguh dalam mengelola kekayaan tambangnya sendiri.

Untuk mengembalikan kekayaan tambang itu, Pemerintah juga perlu segera menyelesaikan proses renegosiasi dan amandemen kontrak karya pertambangan dan menguasai blok-blok migas yang potensial dan akan habis masa kontraknya seperti Blok Natuna, Blok Mahakam, Blok Masela, dan sebagainya. Sesuai dengan UU No. 4/2009 tentang Minerba, saat ini terdapat 37 kontrak karya (KK) yang harus direnegosiasi.

Renegosiasi kontrak karya dapat dilakukan melalui pemutusan kontrak jika memang kontraknya telah habis, merenegosiasi kontrak agar lebih dipersingkat waktunya, merenegosiasi pembagian keuntungan (pajak dan royalti), merenegosiasi kepemilikan perusahaan (divestasi) agar Negara tidak lagi lepas kendali atas pengelolaan tambang nasional.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat Koordinasi Terbatas di Pertamina (7/8/2012) menyatakan kontrak karya pertambangan yang sudah berlangsung puluhan tahun, sangat tidak adil dan merugikan masyarakat. Pernyataan presiden ini sungguh jadi merupakan ironi. Sebagai presiden yang sudah memegang tampuk kekuasaan selama sekitar delapan tahun, baru menyadari bahwa kontrak karya merugikan negara dan masyarakat. Pernyataan itu juga sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menunjukkan political will-nya dalam menyelesaikan renegosiasi kontrak karya.

Selain segera menyelesaikan proses renegosiasi kontrak karya pertambangan, persoalan lain yang harus segera diselesaikan adalah banyaknya izin usaha tambang yang tumpang tindihnya. Karena itu pemerintah harus segera mengevaluasi pemberian izin-izin usaha tambang yang bermasalah. Pemerintah harus bertindak tegas dengan mencabut izin usaha tambang jika terbukti melakukan pelanggaran.

Otoritas pemberian izin pertambangan sejatinya tidak perlu diserahkan ke daerah karena rawan kongkalikong antara aparat di daerah dengan para pengusaha tambang. Otoritas izin usaha tambang sebaiknya diserahkan ke pemerintah pusat agar lebih terkontrol. Sebagai konsekuensinya, peralihan kewenangan itu harus dilakukan dengan merevisi UU No. 4/2009. Karena UU itulah yang memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk menerbitkan IUP.

Pengembalian kedaulatan tambang melalui revisi berbagai produk undang-undang dan renegosiasi kontrak karya jelas bukan langkah mudah, karena mendapat tentangan atau reaksi yang besar dari pengusaha tambang asing yang berkolaborasi dengan mafia-mafia tambang lokal. Renegosiasi kontrak karya misalnya, sudah dilakukan sejak tahun 2009, namun upaya ini masih jauh dari yang diharapkan.

PT Freeport, misalnya, menolak renegosiasi besaran royalti dan proses negosiasi saat masih terus berjalan. Selama puluhan tahun mengeruk emas dari bumi Papua dan menikmati keuntungan ribuan triliun, Freeport hanya membayar royalti sebesar 1%. Padahal menurut ketentuan undang-undang, Freeport harus membayar royalti ke pemerintah 3,75%. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa negara tidak berkutik pada kepentingan asing (Amerika Serikat). Padahal emas yang dikeruk Freeport adalah milik kita sendiri.

Renegosiasi bisa menjadi pembuka jalan bagi kepemilikan tambang secara utuh oleh negara. Namun jika langkah ini gagal, satu-satunya cara mengembalikan kedaulatan tambang nasional adalah negara harus mengambil alih atau nasionalisasi tambang sebagaimana yang pernah dilakukan negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela dan Argentina. Meski awalnya negara-negara tersebut mendapat kecaman dari negara-negara Uni Eropa, IMF dan Bank Dunia, nyatanya hal itu bersifat sementara.

Baiknya pula, kita mulai menghitung calon-calon pemimpin nasional di 2014 nanti, agar kita tidak mendapatkan pemimpin yang sebelas-dua belas (beda-beda tipis) dengan pemimpin yang sekarang ini. Hanya kepemimpinan yang punya visi dan berkarakter kuat yang mampu menasionalisasi semua asset pertambangan asing di bumi pertiwi. Siapakah itu? Kita lihat nanti. Tapi yang jelas dari stok yang muncul ke permukaan sekarang ini belum ada yang terang-terangan berani melakukan nasionalisasi.

Source: Link

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar