Mars FSPMI Kami buruh fspmi Berjuang di sini karena hati kami Bukan karena digaji atau ingin dipuji Kami berjuang karena hak asasi Kami buruh fspmi Siang malam tetap mengabdi Tak peduli hujan tak peduli panas Susah senang ya solidarity Reff: Di sini bukan tempat buruh malas Atau mereka yang biasa tidur pulas Di sini tempatnya para pejuang Yang berjuang dengan keikhlasan Lawan lawan lawan lawan lawan Lawan lawan lawan sampai menang Satu komando wujud kekompakan Sabar dan loyal itu kewajiban Sekuat mental baja sukarela berkorban Berjuang dalam satu barisan Solidarity forever Solidarity forever Solidarity forever For the union make us strong.

Kamis, 06 Desember 2012

Patgulipat Hasil Tambang



Indonesia adalah negara yang memiliki potensi tambang sangat luar biasa. Namun sayang, hingga hari ini hasil tambang yang melimpah itu belum mampu dinikmati rakyatnya sendiri. Ada yang salah? Sudah pasti. Sebab tidak masuk logika, jika negara yang menempati peringkat keenam dunia dalam bidang kekayaan tambang, tak pernah beranjak dari predikat negara berkembang.

Menurut catatan Indonesian Mining Association, Indonesia berada di peringkat ke-25 sebagai negara dengan potensi minyak terbesar di dunia, peringkat ke-6 produsen batubara, peringkat ke-13 cadangan gas alam terbesar, peringkat ke-7 potensi emas terbesar, peringkat ke-5 cadangan timah terbesar, peringkat ke-7 cadangan tembaga, dan peringkat ke-8 cadangan nikel.

Lantas, di mana letak masalahnya? Lihat saja misalnya pendapatan negara dari sektor pertambangan migas di tahun 2011 yang hanya mencapai Rp 272,4 triliun. Bandingkan dengan hasil eksploitasi tambang yang dilakukan PT. Freeport saja, menurut sejumlah kalangan angkanya bisa mencapai Rp 8.000 ribu triliun per tahun, meskipun dalam laporan resmi tidak sebesar itu.

Itu baru satu perusahaan, belum lagi hasil eksploitasi perusahaan lain, seperti Chevron, Newmont, Exxon, Caltex, dan sebagainya. Kekayaan tambang bangsa ini bisa mencapai puluhan ribu triliun, tapi negara hanya bisa mengantongi keuntungan ratusan triliun saja. Ini jelas ada tipu-tipu untuk keuntungan segelintir pihak, entah itu perusahaan asing, mafia tambang, atau oknum pejabat pemerintah.

Belum lagi soal royalti, sesuai dengan PP No. 45/2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen dan Sumber Daya Mineral, royalti emas di tetapkan sebesar 3,75%, tembaga 4%, dan perak sebesar 3,25% dari penjualan. Pada PP No. 9/2012 yang belum lama ini keluar, royalti baik untuk emas, perak dan tembaga tidak mengalami perubahan. Artinya, royalti yang di tetapkan PP yang baru itu sama dengan PP No. 45/2003. Persoalannya, Freeport misalnya, hanya memberi royalti kepada pemerintah sebesar 1% untuk emas dan 1,5-3,5% untuk tembaga.

Sebetulnya akar masalah dari angka-angka yang tidak masuk logika itu, karena Negara, dalam hal ini Pemerintah, tidak mempunyai kekuasaan penuh, atau setidaknya dominan atas kekayaan tambangnya sendiri. Sehingga pihak asing-lah yang justru cenderung mendikte kebijakan Pemerintah.

Dari seluruh perusahaan tambang yang ada di Indonesia, 85% dimiliki oleh asing. Bahkan, untuk sektor migas, swasta dan asing sudah mengusai hampir 90%. Chevron (AS) menguasai 45%, Total (Perancis) 10%, Conoco (AS) 8%, dan Medco 6%. Sementara, tambang emas sebagian besar dikuasai PT Freeport Indonesia (AS) dan PT Newmont Nusa Tenggara (AS), dan tembaga juga dikuasai oleh kedua perusahaan asal negeri Paman Sam itu.

Di sisi lain, pemerintah akhirnya menjadi lemah dalam mengontrol dan mengawasi kekayaan tambang yang dimiliki negerinya sendiri, sebab kekuatan asing sudah begitu mengkooptasi. Sementara perusahaan asing pun dengan semena-mena mengeksploitasi, bahkan sudah merasa kekayaan alam itu seperti miliknya sendiri.

Tidak hanya berbagi keuntungan yang sedikit kepada Negara, mereka juga membawa hasil tambang ke negara mereka, dan meninggalkan sisa-sisa kerusakan yang membahayakan penduduk yang tinggal di kawasan bekas tambang itu. Ini kezaliman terhadap sebuah bangsa yang luar biasa.

Hingga saat ini, faktanya tidak ada satu pihak pun, publik maupun Pemerintah, yang mampu memastikan berapa sesungguhnya kekayaan tambang yang berhasil dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing itu di negeri ini. Di sinilah, tipu-tipu banyak terjadi. Mereka dengan seenaknya membuat laporan berupa data dan angka produksi tanpa bisa dikonfirmasi kebenarannya.

Akhirnya, penerimaan Negara dari sektor tambang pun banyak mengalami kebocoran. Belum lagi, banyak perusahaan tambang yang juga mengakali laporan pajaknya untuk menghindari pajak yang lebih besar. Celakanya, praktik ini melibatkan oknum-oknum pejabat negara, baik dari pegawai pajak maupun penegak hukum.

Akibat praktik tipu-tipu, baik data maupun angka barang tambang itu, rakyatlah yang kemudian menerima dampak kerugian paling besar. Yaitu tidak menikmati kesejahteraan yang dihasilkan oleh barang tambang yang bersumber dari kekayaan negerinya sendiri. Ini jelas-jelas sudah melanggar konstitusi dasar kita, yaitu pasal 33 UUD 1945, di mana dinyatakan bahwa kekayaan alam di daratan maupun perairan harus sebesar-besarnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Faktanya, hingga hari ini kebanyakan masyarakat Papua tetap miskin dan tertinggal sejak eksplorasi emas dan tembaga di bumi Cendrawasih itu. Sebagian masyarakat Kalimantan Timur belum bisa menikmati listrik. Bahkan, di Kalimantan Selatan, meskipun sudah ada jaringan listrik ke desa-desa, tapi sering byar-pet, karena pasokan listriknya kurang. Hingga mahasiswa di Banjarmasin berinisiatif mengumpulkan koin, dengan harapan bisa membiayai pembuatan pembangkit sendiri.

Padahal, kedua wilayah itu adalah penghasil batubara. Tidak sedikit orang di Jakarta, bahkan di belahan lain di dunia dibuat kaya oleh tambang batubara di Kaltim dan Kalsel itu, tapi penduduk di kaki pegunungan Meratus dan Kabupaten Kutai Kertanegara tetap hidup sederhana dengan menjadi penonton truk-truk tambang hilir mudik mengangkut batubara yang dikeduk dari hutan dan perbukitan di kampung mereka.

Dalam teropong yang lebih luas lagi, bangsa ini ternyata masih menanggung utang luar negeri yang luar biasa besarnya. Bank Indonesia mencatat, bila tahun 2006 utang luar negeri mencapai USD 132,61 miliar, di tahun 2012 ini tercatat USD 221,60 miliar. Kita pantas curiga, jangan-jangan karena jebakan utang itu, membuat siapapun pemerintahan yang berkuasa sejak zaman Presiden Soeharto, tidak pernah berdaulat mengelola sumber daya alamnya sendiri untuk kemakmuran bangsanya. Dan ini tentu saja sangat mengusik rasa keadilan kita.


Source: Link 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar