10 Dampak Negatif Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) |
Bersandar pada pasal 31 Undang-Undang
Penanaman Modal (UUPM) No. 25 tahun 2007, awal November tahun lalu, pemerintah
mengajukan draf Rancangan Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) kepada
DPR-RI.
Dan seperti gayung bersambut pertengahan
Januari lalu sejumlah gubernur yang mengajukan daerahnya ditetapkan sebagai
KEK, juga mendatangi DPR. Agendanya; mendesak legislatif segera mengesahkan RUU
tersebut. Para gubernur meyakini bahwa KEK akan menjanjikan kemajuan ekonomi
pada daerah.
Tapi benarkah KEK akan membawa
kesejahteraan, atau justru sebaliknya menawarkan sesuatu yang tidak berarti
bagi kemajuan perekonomian dan daya saing nasional, serta berimplikasi luas
terhadap kehidupan masyarakat?
Jika RUU tersebut dipaksakan
menjadi undang-undang, maka akan menimbulkan dampak negative yang luas terhadap
kehidupan masyarakat, di antaranya;
(1) Menguntungkan pemodal besar, (2) Eksploitasi sumberdaya dan penghisapan
surplus ekonomi, (3) Menghancurkan industri nasional, (4) Membebani
anggaran negara dan utang luar negeri, (5) Tidak signifikan dalam mengurangi penggangguran,
serta mengancam hak-hak buruh, (6) Fasilitas fiskal yang terlampau luas, (7)
Mengurangi pendapatan daerah, (8) Sumber konflik agraria, (9) Mengancam lingkungan
hidup, dan (10) Mengabaikan kepentingan nasional.
1.
Menguntungkan asing dan pemodal besar
Sebagaimana diatur pada pasal 5, ayat 1 draf RUU KEK; “ Pembentukan KEK
dapat diusulkan oleh badan usaha, pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah propinsi
kepada Dewan Nasional”
Keberadaan badan usaha (swasta) yang diperolehkan mendirikan KEK, hanya
akan menguntungkan pemodal besar baik dari dalam maupun luar negeri.
Terlebih kawasan semacam ini dibangun dengan tujuan untuk menarik investasi
asing dengan berbagai fasilitas infrastruktur yang lengkap dan modern, serta insentif
fiskal yang menarik.
Batamindo Industrial Park (BIP) dan Bintan Industrial Estate (BIE) merupakan dua kawasan yang dibangun
oleh Salim Group bekerja sama dengan Singapore Technologies Industries
(sekarang Semb Corp Industries)—anak
perusahaan investasi pemerintah Singapura
Temasek Holdings—dan Jurong Town
Corporation (JTC)—sebuah perusahaan pembangunan infrastruktur industri
terkemuka Singapura.
BIP adalah kawasan industri
yang memiliki luas 280 hektar, sedangkan Bintan
Industrial Estate (BIE) yang diproyeksikan dibangun di lahan seluas 4000
hektar, namun sejak pertama kali dioperasikan tahun 1994 kawasan ini tak
kunjung mengalami penambahan perluasan dari 170 hektar.
Pembangunan BIP dan BIE sengaja dimaksudkan sebagai tempat relokasi bagi
kegiatan perakitan produk-produk yang bernilai rendah dari Singapura. Pada awal
dekade 1980-industri Singapura tumbuh dengan pesat, akibatnya Negara itu
membutuhkan tempat untuk merelokasi kegiatan industrinya yang bernilai rendah.
Hasil penelitian MAS (Monetary
Authority of Singapore) dan EDB (Economic
Development Board) merekomendasikan dipilihnya Batam, dan pulau-pulau lain
di propinsi Kepulauan Riau (Kepri) sebagai tempat relokasi alternatif yang
paling logis untuk mengatasi masalah booming
industri Singapura yang terjadi kala itu.
Dalam perkembangannya, Singapura tidak hanya membangun kawasan industri,
melalui Singapore Economic Development
Board (SEDB)—semacam Badan Koordinasi Penanaman Modal di Indonesia—Negara
tersebut juga ikut berperan dalam mempromosikan dan memasarkan kawasan Batam
dan Bintan kepada investor asing. Dampaknya lalu lintas investasi asing ke
kawasan ini dikendalikan penuh SEDB.
Dalam kaitannya dengan rencana pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di
sejumlah daerah, jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) disahkan DPR-RI. Pemerintah berencana akan mengkerjasamakannya kembali
dengan Singapura dengan mencontoh pembangunan pulau Batam, Bintan dan Karimun
sebagai pilot project.
2. Lokasi
Eksploitasi Sumberdaya Alam dan Penghisapan Surplus Ekonomi
Dengan berbagai fasilitas fiskal dan investasi yang diberikan, KEK
dikhawatirkan bukan hanya menjadi jalan lapang bagi masuknya modal asing untuk
mengeruk sumber daya alam Indonesia. Namun juga semakin tidak terkontrolnya pihak
asing dalam melakukan berbagai aktivitas penanaman modalnya.
Seperti tercantum dalam pasal 4 RUU KEK; Kawasan Ekonomi Khusus harus
terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan internasional atau
berdekatan dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau pada wilayah
potensi sumber daya unggulan.
Dalam kasus usulan pembangunan KEK Dumai, kawasan itu dikhawatirkan justru
menjadi jalan lapang bagi investasi asing untuk mengeruk sumber daya alam
Indonesia. Dumai adalah satu kota di wilayah Propinsi Riau, dan tidak berada di
jalur perdagangan international, kendati demikian Dumai mempunyai sumber daya unggulan:
Minyak. Cadangan minyak bumi yang berada di lahan konsesi PT. Caltex Pasific
Indonesia (CPI) saja diperkirakan masih tersisa sekitar 28 miliar barrel. Sejak
beroperasi di Riau tahun 1952 hingga kini, CPI baru memproduksi 10 miliar barrel. Bahkan di tahun 1973 produksi
CPI bisa mencapai satu juta barrel
per hari, sementara produksi saat ini CPI berkisar antara 600 ribu hingga 700
ribu barrel per hari.[1]
Di sisi lain tidak ada jaminan bahwa kinerja sebuah kawasan KEK dalam
menarik investasi asing dapat berkorelasi positif dengan neraca perdagangannya.
Neraca perdagangan Batam misalnya, sampai akhir tahun 2007 terus mengalami
kerugian. Total ekspor non-migas selama periode Jan-Nov 2007 senilai US$ 7.3
milyar sementara nilai impor non-migas ke wilayah Batam selama periode yang
sama sebesar US$ 8.9 miliar. Data perdagangan tersebut mengindikasikan bahwa
Batam memiliki ketergantungan pada impor yang sangat tinggi.
Kondisi ini tidak lepas dari investasi asing (PMA) di industri-industri
berteknologi tinggi, seperti farmasi, kimia, elektronik, consumer goods, alat-alat listrik selama ini, bukanlah merupakan
proses manufaktur dalam arti sebenarnya, tetapi proses penggabungan,
pengepakan, dan assembling. Sehingga
menimbulkan ketergantungan yang begitu tinggi terhadap impor bahan baku, input
perantara, dan komponen lainnya. Ketergantungan ini disebabkan tidak adanya penyediaan
domestik dan industri-industri pendukung serta lemahnya keterkaitan produksi
antar industri di dalam negeri.
Kawasan Ekonomi Khusus seperti Batam pada akhirnya hanya menjadi tempat
yang empuk bagi penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing. Industri yang
berkembang adalah industri-industri yang bersifat footlose sehingga rendah dalam penggunaan bahan mentah dan faktor
produksi dalam negeri secara masif, dan mengakibatkan keperluan utang yang
besar karena selisih di antara impor dengan ekspor menjadi besar.
3.
Menghancurkan Industri Nasional
Pada bagian lain, fasilitas pembebasan pajak dan bea masuk yang pada
mulanya untuk menarik minat investasi asing justru menjadi faktor hancurnya
industri nasional. Pengalaman Batam menunjukkan bahwa daerah tersebut justru
dimanfaatkan oleh perusahaan eksportir dan importer baik dalam maupun luar
negeri sebagai tempat transit bagi produk-produk mereka untuk selanjutnya di re-ekspor
ke negara lain.
Seperti dikutif oleh harian Kontan Edisi 30 Oktober 2008 Direktur
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Departemen Perdagangan (Depdag) Sahrul
Sampurna mengatakan, Pemerintah akan mengambil kebijakan menutup seluruh
perdagangan internasional lewat Pulau Batam untuk beberapa produk tertentu
seperti garmen, elektronika, makanan dan minuman, mainan anak-anak dan sepatu.
Pulau Batam dianggap sebagai tempat paling rawan masuknya produk-produk
selundupan yang kemudian lari ke pasar Pulau Jawa sehingga berkontribusi pada
hancurnya industri garmen di pulau Jawa.
Contohnya, produk tekstil asal China yang dieskpor ke Batam, kemudian di
Batam, produk tersebut diganti labelnya (made
in Indonesia), untuk selanjutnya dikirim ke Amerika Serikat melalui Batam
dengan preferensi Bea Masuk 0%. Ekspor tekstil “Produk China made in Batam” tersebut telah merenggut
kuota produsen tektil di pulau Jawa dan daerah lain. Celakanya lagi sebagian
dari produk tekstil yang diimpor dari China tersebut merebes ke pasar di Pulau
Jawa.
4.
Membebani Anggaran Negara dan Utang Luar Negeri
Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus membutuhkan anggaran yang tidak
kecil, sementara sumber pembiayaan bukan hanya berasal dari APBD, namun
juga APBN. Di tengah kondisi keuangan Negara yang morat-marit, KEK bisa menjadi
alasan bagi pemerintah untuk kembali mengajukan pinjaman ke luar negeri.
Contohnya, sumber pembiayaan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Batam
selama ini, ternyata berasal dari pinjaman luar negeri. Data Departemen Keuangan
melaporkan, anggaran yang dialokasikan kepada Batam Otorita Batam (BOB) tahun
2007 sebesar Rp 282,4 miliar, tahun 2008 Rp 248 miliar, dan tahun 2009 Rp 215
miliar.
Dari Rp 282,4 miliar yang dialokasikan bagi kegiatan BOB tahun 2007, Rp 115
miliar bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri (phln). Tahun 2008 terjadi
penurunan alokasi anggaran yakni sebesar Rp 248 miliar, di mana Rp 180
miliar adalah phln, begitu juga rencana untuk anggaran tahun 2009 nanti,
dari Rp 215 miliar yang telah disetujui, Rp 75 miliar di antaranya
bersumber dari pinjaman luar negeri. Sementara alokasi untuk Sabang, tahun 2007
sebesar Rp 215 miliar, naik menjadi Rp 441 miliar tahun 2008 dan tahun 2009 sebesar
Rp 421 miliar.
Anggaran yang begitu besar tersebut justru akan lebih bermanfaat jika
digunakan bagi pembangunan infrastruktur industri perminyakan nasional,
dibandingkan dengan digunakan seperti saat ini yang hanya ditujukan bagi masuk industri
bernilai rendah hasil relokasi dari Negara lain yang rendah dalam penyerapan
tenaga kerja dan tidak signifikan dalam berkontribusi terhadap perekonomian
nasional.
Terlebih bila dicermati dengan baik, biaya yang akan dikeluarkan
pemerintah untuk pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus tidak sebandingan dengan
revenues yang akan diterimanya.
5. Tidak Signifikan
dalam Menyerap Pengangguran dan Mengancam Hak-Hak Buruh
Argumen utama yang selalu
dibangun pemerintah dalam pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus adalah menarik investasi
asing, dan menyerap pengangguran sehingga menurunkan angka kemiskinan.
Namun realita selalu berkata
sebaliknya. Dalam kasus Batam meski investasi swasta (asing dan domestik)
menunjukan trend kenaikan, namun
rendah dalam penyerapan tenaga kerja. Tahun 1998 total investasi swasta mencapai
US$ 5,166 juta, naik menjadi US$ 5,351 juta tahun 1999, dan pada tahun 2000
meningkat menjadi US$ 6,113 juta, namun trend
kenaikan tersebut tidak diikuti kemampuan dalam menyerap tenaga kerja. Pada
tahun 1998 penerimaan angkatan kerja mencapai 53,02 persen, kemudian turun
menjadi 41,76 persen tahun 1999, dan kembali turun menjadi 34,01 persen pada
tahun 2000.
Di sisi lain, upah yang diterima buruh
tidak sebanding dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Tahun 2008 upah yang diterima
pekerja di Batam sebesar Rp 960 ribu sementara KHL mencapai Rp 1,4 juta, begitu
juga tahun 2009, hasil survey BPS Batam menyatakan KHL di kota itu sebesar Rp
1,7 juta, sementara UMK Kota Batam tahun 2009 hanya sebesar Rp 1,04 juta.
Kondisi ini yang mendorong jumlah
penduduk miskin di propinsi Kepri tersebut semakin meluas, Data BPS Kepri tahun
2007 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin mencapai 33,408 kepala keluarga
(KK) dari total penduduk yang berjumlah 700 ribu jiwa.
Yang tidak kalah mengkhawatirkan
adalah terpasungnya hak-hak buruh di dalam Kawasan Ekonomi Khusus, terutama
menyangkut hak berorganisasi. Pasal 43 ayat (1) RUU KEK mengatur bahwa dalam
kawasan khusus dibentuklah satu
serikat buruh.
Rasionalisasi jumlah organisasi buruh di dalam KEK, dimaksudkan untuk
meredam gejolak buruh dan memudahkan perusahaan mengendalikan aktivitas buruh.
Ini sejalan dengan tuntutan pengusaha yang meminta terjaminnya iklim investasi.
Rasionalitas ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU
13/2003), Undang-Undang Serikat Buruh/Serikat Pekerja (UU 21/2000 atau UU
SB/SP), serta Undang-Undang Pengadilan Hubungan Industrial (UU 2/2004 atau UU
PHI).
6. Fasilitas Fiskal yang Terlalu Banyak
Fasilitas yang
begitu luas diberikan kepada KEK tidak sebanding dengan penerimaan yang
diperoleh pemerintah, terlebih lagi jika dibandingkan biaya yang akan
dikeluarkan pemerintah untuk pembangunan kawasan ini. Pengalaman kasus Batam
menunjukkan penerimaan yang diperoleh Negara yang berasal dari pajak tidak
sebanding dengan potensi kerugian (Potential
Lose) yang diderita akibat pemberian fasilitas fiskal. Menurut catatan LPEM
UI, tahun 1998 potential lose yang
diderita mencapai Rp 4,7 triliun sementara penerimaan negara dari Batam pada
tahun 1999 hanya sebesar Rp 874 miliar. Pada bagian lain total investasi yang ditanamkan pemerintah hingga akhir
1999 sebesar US$ 1,6 miliar meningkat US$ 100 juta dari tahun sebelumnya yang
hanya sebesar US$ 1,5 milyar. Pembangunan KEK jelas bertentangan dengan
kebijakan pemerintah yang setiap tahun mematok kenaikan penerimaan dari pajak.
Perhitungan Potensi Kehilangan
PPN Batam:
Sumber: Merajut Batam Masa Depan, Heri Muliono, 2000
7.
Mengurangi Pendapatan Daerah
Pembangunan KEK bukan hanya akan mengurangi pendapatan Negara akibat
pemberian insentif fiskal, dan Bea Masuk, tetapi juga berpotensi besar
mengurangi pendapatan Pemerintah Daerah. Seperti draft RUU KEK pasal 34 ayat (1); “ Setiap Wajib Pajak yang
melakukan usaha di KEK diberikan insentif berupa pembebasan atau keringanan
pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”
Padahal pembangunan kawasan ini mensyaratkan infrastruktur yang memadai
dan lengkap sebagaimana tercantum dalam pasal 4 huruf d draf RUU KEK.
Pembangunan infrastruktur tersebut tentu membutuhkan pembiayaan yang tidak
kecil, sementara sumber pendanaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur seperti
tertulis dalam draft RUU pasal
12 tidak hanya berasal dari APBN namun juga APBD.
Potensi pendapatan yang berkurang akibat pembebasan pajak daerah dan
retribusi daerah, akan mempersulit posisi keuangan daerah untuk membiayai
pembangunan maupun pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK sendiri.
8. Sumber
Konflik Agraria
Pembentukan KEK yang membutuhkan lahan yang luas dapat menjadi sumber
konflik agraria. Pada Januari 2000, sekitar 1000 warga desa menyerbu BIE
(Bintan Industrial Estate) dan mematikan
generator listriknya, satu bulan kemudian yakni Februari 2000, Salim Group
(salah satu pemegang saham BEI) dituntut atas pencaplokan lahan secara illegal
oleh petani Bintan.
Di India seperti dilaporkan Voice
of Human Right, pada 15 Maret 2007 11 petani Nandigram, 80 mil selatan
Kolkata – dulu Calcutta di wilayah Benggala Barat, tewas setelah bentrokan
dengan aparat keamanan. Penggusuran para petani tersebut terkait dengan rencana
pemerintah daerah setempat mendirikan Kawasan Ekonomi Khusus. Kebijakan pembentukan
KEK ini ditolak Bhumi Ucched Pratirodh (Komite Perlawanan Pengambil-alihan
Tanah) yang dibentuk petani Benggala.
Menurut Amit Kiran Deb, pejabat pemerintah setempat, seperti dikutip dari
Voice of Human Rights, sejak
kekerasan meletus di Nandigram awal Januari 2007, telah menimbulkan 18 jiwa
melayang. Sedangkan dalam bentrokan 15 Maret 2007 itu 39 orang terluka,
termasuk 14 polisi, serta 11 petani meninggal dunia.
Dalam pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus di sejumlah daerah kelak, jika
RUU KEK disahkan tidak menutup kemungkinan konflik perebutan lahan yang memakan
korban hingga tewas seperti yang terjadi di India.
9. Mengancam Lingkungan Hidup
Seperti dilansir Investor Daily
(7 Januari 2008), pemerintah tidak akan memberlakukan Peraturan Presiden
(Perpres) No. 111 tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang
Usaha Terbuka dengan Persyaratan atau dikenal Daftar Negatif Investasi (DNI) di
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) jika UU KEK diberlakukan.
Kebijakan pemerintah ini, sejalan dengan pasal 37 draf RUU KEK yang
berbunyi: “Dalam KEK tidak berlaku ketentuan yang mengatur bidang usaha yang
terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal kecuali yang dicadangkan
untuk UKMK.”
Dengan tidak diberlakukan DNI dalam KEK, maka Industri Bahan Kimia yang
dapat merusak lingkungan, seperti: Penta Chlorophenol, Dichloro, Diphenyl
Trichloro Elhane (DDT), Dieldrin, Chlordane, Carbon Tetra, Chloride, Chloro
Fluoro Carbon, (CFC), Methyl Bromide, Methyl, Chloroform, Halon, dan Industri
Bahan Kimia Skedul-I, Konvensi Senjata Kimia (Sarin, Soman, Tabun
Mustard, Levisite, Ricine, Saxitoxin, VX, dll) dapat didirikan di dalam KEK.
Industri semacam ini jelas dapat merusak Lingkungan Hidup.
10. Mengabaikan
Kepentingan Nasional
Disamping Batam, praktek Kawasan
Ekonomi Khusus juga terjadi di Sabang, Aceh. Melalui terbitnya UU No 3/1970
tentang Perdagangan Bebas Sabang dan UU No 4/1970 tentang ditetapkannya Sabang
sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dan karena Sabang
dituding menjadi pintu penyelundupan, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No
10/1985 yang mencabut status FTZ Sabang. Sejak itu Sabang kembali menjadi
daerah pabean biasa.
Dalam perkembangan selanjutnya,
pada tahun 1998 Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan sebagai Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dengan Keppes No. 171 tanggal 28 September
1998. Selanjutnya pada tahun 2000 di era Presiden KH. Abdurrahman Wahid,
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 2 tahun
2000 tanggal 1 September 2000 selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Tapi dalam perkembangannya kinerja Sabang tidak seperti yang diharapkan.,
ini karena pemerintah kurang serius menggarap Sabang.
Padahal secara geo-ekonomi dan
geo-politik, letak Sabang jauh lebih strategis dibandingkan Batam, Bintan dan
Karimun. Jika Sabang dikembangkan dengan serius oleh pemerintah, tidak menutup
kemungkinan Sabang dapat memotong jalur perdagangan Selat Malaka. Di samping
itu jika kelak pembangunan jalur Terusan Kra-Mengkong yang berada di wilayah
Thailand dan Vietnam yang bertujuan memotong jalur perdagangan selat Malaka
selesai, maka Indonesia dapat mengantisipasinya melalui pengembangan pelabuhan
bebas Sabang.
Melihat realita tersebut, maka
pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan kembali RUU KEK. Pemerintah juga
perlu mengkaji ulang pemberlakuan Kawasan Ekonomi Khusus di Pulau Batam, Bintan
dan Karimun. Pemberian konsesi kepada Singapura dalam pengembangan di tiga pulau
itu justru menempatkan daerah itu sebagai sub-ordinat dari Singapura.
Dalam pengembangan BBK,
pemerintah juga harus melihat ulang aspek strategis posisi BBK dalam kaitan dengan
dinamika regional. BBK akan dapat tumbuh dengan lebih baik dan cepat jika
kawasan itu dikembangkan sebagai basis logistik industri perminyakan, mengingat lokasinya yang tepat untuk
menjamin efisiensi dan efektivitas suplai minyak dan gas.
Seperti diketahui ketika Ibnu Sutowo mejabat sebagai direktur Pertamina,
Batam dan pulau-pulau sekitar direncanakan sebagai basis logistik dan
operasional Pertamina bagi usaha yang berhubungan dengan eksplorasi dan
eksploitasi minyak dan gas bumi. Alasan mendasar menjadikan Batam sebagai
sentral logistik, menurut Ibnu Sutowo karena hingga dasawarsa 1960-an Pertamina
masih berpangkalan di Singapura. Pertamina pada saat itu tidak hanya menerima
hasil yang 85 % akan tetapi juga harus menanggung biaya 85 % kontraktor. Dengan
menjadikan Batam sebagai basis logistik perminyakan, diharapkan Pertamina dapat
menghemat biaya secara signifikan, di samping menghemat devisa dan menghidupkan
perekonomian negara karena biaya Pangkalan Batam akan dapat diserap oleh pasar
dalam negeri.
Bahkan hasil kajian Rencana Induk Batam yang dilakukan oleh Nissho Iwai Co.Ltd dari Jepang dan Pacific Bechtel, Inc dari Amerika
Serikat pad atahun 1972 merekomendasikan strategi pembangunan Batam
menitikberatkan pada industri eksploitasi minyak dan gas, serta kegiatan
pemrosesan produk ikutannya (pusat industri petroleum dan petrokimia). Dalam posisi geografis Batam yang terletak
tepat di persimpangan jalur lalulintas Asia Barat-Asia Timur sangat strategis
untuk dapat menarik manfaat dari jalur distribusi minyak yang ada.
Menanggapi rencana tersebut, pemerintah kemudian menjadikan Batu Ampar
(satu wilayah di pulau Batam) sebagai wilayah enterport partikulir berdasarkan Keppres No. 74 tahun 1971 atas
dasar Reglement A Ordonansi Bea (S. 1931 No. 471). Namun dalam perkembangannya
terjadi penyimpangan seperti yang terjadi seperti saat ini.
Pembangunan BBK sebagai basis logistik dan industri perminyakan didukung
dengan sumber daya migas yang besar diwilayah disekitarnya. Kepulauan
Natuna—sebelah utara BBK memiliki cadangan minyak bumi mencapai 298,81 juta meter barrel
oil (MMBO), dan cadangan gas alam sebesar 55,3 triliun square cubic feet
(TSCF). [4] Disebelah
barat BBK terdapat Dumai, Riau yang memiliki cadangan minyak bumi yang
diperkirakan masih tersisa sekitar 28 miliar barrel.[5]
Sumber : Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM)
Padahal guna mendorong
proses percepatan industrialisasi yang dibutuhkan bukankah pembentukan KEK
sebanyak mungkin, tetapi bagaimana merestrukturisasi pola industri nasional ke
arah resource-based industri dengan
ketergantungan minimal dari komponen luar negeri, dan meningkatkan secara
maksimal penggunaan komponen dalam negeri menuju self-reliance agar perekonomian berakar di dalam negeri, sehingga
akan memperkokoh daya-beli dan pasar dalam-negeri. ***
[1]
http://www.riau.go.id/index.php?module=articles&func=display&ptid=1&aid=789[2]
Sumber: Special Economic Zones Performance, Lessons Learned, and ImplicationS
for Zone Development,FIAS-The World Bank Group, April 2008
[3] pasal 25 s/d 38 Draf RUU KEK, fasilitas KEK lebih luas
dari pada yang diberikan kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zone) Batam,
Bintan dan Karimun (BBK, Jika di BBK fasilitas hanya terbatas pada PPN, PPnBM,
Bea Masuk dan Cukai. Di KEK Fasilitas diperluas menjadi PPh, PBB dan Pajak
Daerah.
Source: http://www.igj.or.id
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar