Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) menggugat Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang dinilai tidak memberikan jaminan penuh kepada para buruh.
"Hak pekerja atau buruh untuk mendapatkan jaminan sosial didapatkan hanya jika pemberi kerja mendaftarkan buruh atau pekerja," demikian FISBI melalui penasihat hukum Andi Asrun dalam permohonannya pada uji materi UU BPJS.
Pasal 5 ayat 1 UU BPJS berbunyi, "Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti". Dengan demikian, kata Andi, walaupun dalam UU BPJS diberikan sanksi pidana atas kelalaian perusahaan atau pemberi kerja dalam mendaftarkan keikutsertaan pekerjaannya dalam jaminan sosial tenaga kerja, tetap saja itu belum memberikan jaminan bahwa pekerja atau buruh memperoleh haknya.
"UU BPJS bertentangan dengan konstitusi yaitu Pasal 28H ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan bahwa jaminan sosial merupakan hak setiap orang tanpa terkecuali, termasuk pekerja atau buruh," jelasnya, akhir pekan lalu.
Untuk itu dia meminta agar Pasal 5 ayat (1) UU BPJS dibaca "Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan atas tanggungan pemberi kerja jika pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkannya pada BPJS".
Mengenai gugatan FISBI, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menanggapinya dengan meminta pemohon untuk menjelaskan kedudukan pemohon dan meminta apa saja konstitusional yang dilanggar.
"Soal kedudukan hukum, harus jelas menggambarkan anda mewakili lembaga atau bertindak selaku pribadi. Tapi, dalam permohonan ini kok justru doktrin yang didulukan," ujarnya pada sidang di MK, Jakarta, Jumat pekan lalu.
Sementara itu, Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) mendesak pemerintah serius dalam melaksanakan program BPJS. KAJS melihat pelaksanaan BPJS ini menunjukkan sikap setengah hati pemerintah hanya melakukan tindakan-tindakan sepihak tanpa melakukan pembicaraan dengan pihak yang terlibat di dalam program itu sendiri.
Sekjen KAJS, Said Iqbal, mengatakan, pemerintah secara sepihak menetapkan alokasi anggaran bantuan kesehatan sebesar Rp 25 triliun yang akan digunakan bagi penduduk miskin penerima bantuan iuran berjumlah 96,4 juta jiwa. "Ini artinya per penerima bantuan iuran dianggarkan Rp 22 ribu lebih," ujarnya.
Tindakan itu, katanya, menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah tidak serius dalam melaksanakan program BPJS. Selain terlihat dari Peraturan Pemerintah (PP) yang belum diterbitkan, tindakan pemerintah juga mengindikasikan ketidakseriusan dalam melaksanakan perintah UUD 1945, khususnya Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) yang ditegaskan kembali dalam UU BPJS.
"Dalam UUD 1945 serta UU BPJS, di perintahkan pemerintah untuk menyediakan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Tetapi dalam anggaran yang disediakan pemerintah sebesar Rp 25 triliun tersebut, hanya berfokus pada jumlah penduduk miskin yang dicakupnya tanpa ada dasar pertimbangan yang jelas dan dapat dipertanggugjawabkan dasar penetapan anggaran tersebut," tuturnya,
Source: Link
Tidak ada komentar:
Posting Komentar