Mars FSPMI Kami buruh fspmi Berjuang di sini karena hati kami Bukan karena digaji atau ingin dipuji Kami berjuang karena hak asasi Kami buruh fspmi Siang malam tetap mengabdi Tak peduli hujan tak peduli panas Susah senang ya solidarity Reff: Di sini bukan tempat buruh malas Atau mereka yang biasa tidur pulas Di sini tempatnya para pejuang Yang berjuang dengan keikhlasan Lawan lawan lawan lawan lawan Lawan lawan lawan sampai menang Satu komando wujud kekompakan Sabar dan loyal itu kewajiban Sekuat mental baja sukarela berkorban Berjuang dalam satu barisan Solidarity forever Solidarity forever Solidarity forever For the union make us strong.

Minggu, 10 November 2013

Demo Buruh Nasional: Derita Kaum Proletar?


Beberapa hari yang lalu, tepatnya 31 Oktober-1 November 2013, para buruh di berbagai wilayah Indonesia melakukan demo besar-besaran. Aksi turun kejalan ini barangkali akan dilanjutkan kembali. Bahkan, para buruh menjanjikan bahwa rangkaian ini tidak akan berakhir sampai Pemerintah mengabulkan tuntutan kenaikan UMP/UMK. Sesungguhnya inti permohonan mereka cukup simplistik. Kaum buruh hanya ingin menikmati geliat pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tetap ‘bertahan hidup’. Tapi, nominal yang diajukan mereka menimbulkan kecaman berbagai pihak. Angka paling fantastis adalah tuntutan buruh 50%, misalnya di Bintan berkisar 2,8 juta rupiah dari sebelumnya 1,9 juta. 


Tuntutan tersebut menyebabkan Pemerintah menjadi ‘galau’ karena harus memilih di antara dua kutub; berpihak pada pengusaha (baca: pemilik modal) ataukah rakyat kecil (baca: kaum buruh). Dalam merespon hal ini, setiap pemerintah provinsi mengambil langkah berbeda-beda; ada yang mengabulkan permintaan buruh, ada pula yang tidak mengamini permohonan mereka dengan berbagai pertimbangan. 

Saya jadi teringat dengan pernyataan Karl Marx pada karyanya Communist Manifesto tentang pertentangan kelas yang terjadi antara kaum borjuis dan proletar. Menurut Marx, “Sejarah dari berbagai masyarakat pada dasarnya adalah pertentangan antar kelas”. Analisis Marx ini ternyata terbukti hingga kini.
Faktanya, kita tidak dapat memungkiri adanya pembagian kelas dalam realitas sosial pada berbagai sendi kehidupan; tidak hanya aspek ekonomi, tapi juga tataran budaya, politik, hukum, bahkan gradasi eksistensi dalam wacana Filsafat. Fenomena ini seyogyanya disikapi dengan paradigma “keadilan”, sehingga perbedaan menjadi sebuah keniscayaan yang mengantarkan pada keteraturan sistem di muka bumi ini menuju “kesempurnaan”. 


Namun, amat disayangkan kapitalisme justru telah menciptakan jurang yang menganga antara pemilik modal dan pekerja. Anak kandung liberalisme ini menjadikan manusia tak ubahnya seperti mesin yang layak dieksploitasi. Dalam melanggengkan industrialisasi, kapitalisme telah menafikkan prinsip keadilan. Ini merupakan implikasi dari teori Ekonomi Liberal yang diusung oleh Adam Smith yang mengakui kepemilikan individu. Teori ini dikenal dengan “laissez-faire”, yang berarti “biarkan apa yang mereka lakukan”. Di lain sisi, Smith justru mendukung kenaikan upah buruh karena berpengaruh pada kenaikan produksi. Tapi, hal ini tak ubahnya modus operandi untuk menguntungkan pemilik modal; melanggengkan kapitalisme. 


Demo buruh ini sebagai hal yang wajar sebagai anti-klimaks dari kegerahan kaum proletar terhadap perlakuan tidak adil yang dilakukan kaum borjuis. Dalam hal ini, tidak hanya pengusaha sebagai pelaku aktif ketidakadilan, tapi juga pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Ketidakadilan tersebut tercermin dari pembayaran upah pekerja yang sangat minim, resiko keselamatan kerja, ancaman PHK sepihak, tekanan produktivitas, pemberlakuan buruh outsourcing, dan sebagainya. 


Banyak masyarakat yang mengutuk demo buruh tersebut, terutama yang mengenyam pendidikan tinggi. Termasuk, beberapa teman saya yang notabene menyandang gelar sarjana. “Mengapa sih buruh itu selalu berkoar-koar menuntut kenaikan gaji, padahal baru saja tahun lalu pemerintah Bintan-Pemprov Kepri menaikkan UMP/UMK. Hmm, mereka itu tidak pandai bersyukur ya, kita saja yang sudah mengenyam pendidikan tinggi mendapatkan gaji seperti mereka, bahkan lebih kecil daripada mereka. Nyadar diri ga sih mereka? Jika mau gaji naik, ya kuliah dong!”, ujar salah satu teman yang berprofesi sebagai karyawan (berjabatan) di sebuah pabrik di Kawasan Industri Lobam Bintan. 


Pada konteks ini, saya tidak berpretensi menyalahkan pandangan tersebut karena mereka sebenarnya sedang mengutuk ketidakadilan. Sebagai kelas menengah, mereka tidak berbuat apa-apa; bahkan memang tidak merasa perlu untuk menyuarakan apa-apa. Padahal, secara esensial mereka juga merupakan kaum buruh karena masih bekerja untuk sang pemilik modal. Tapi, tentunya nasib mereka jauh lebih baik daripada kaum buruh level bawahan yang bekerja di pabrik. Setidaknya mereka mengalami percepatan upah lebih pesat dibandingkan buruh level bawahan yang bekerja puluhan tahun. 


Bayangkan jika permohonan buruh dikabulkan pemerintah, maka tidak hanya kaum proletar yang menuai hasilnya, tapi juga kelas menengah. Perjalanan sejarah memberikan gambaran posisi kaum proletar sebagai tumbal untuk memperjuangkan hajat hidup orang banyak. Mereka harus berteriak-teriak sampai kehausan, kelaparan tanpa bayaran nasi bungkus, cacian dari berbagai penjuru, serta ancaman tidak dipekerjakan. Resiko itu ditanggung mereka untuk memperjuangkan hak untuk diperlakukan lebih mulia daripada mesin yang tak bernyawa. Padahal, draft permohonan yang diajukan Serikat Buruh akan berimplikasi pada perubahan sistemik. Alih-alih dieluk-elukkan sebagai pahlawan, mereka justru dicap sebagai “makhluk tak tahu diri”. 


Namun, bak makan buah simalakama, apabila pemerintah mengabulkan tuntunan mereka, maka tidak akan ada lagi sawah yang tergarap, nelayan pun enggan pergi melaut, bahkan putus sekolah menjadi pilihan yang menguntungkan. Tidak hanya tercerabut dari akar budayanya, rakyat Indonesia juga akan tumbuh sebagai masyarakat pragmatis. Buat apa sekolah, jika lulus SD saja sudah bisa hidup layak? Lebih baik menjual sawah dan kapal kami, wong Pemerintah sudah bermain mata dengan para importir. Jadi, persoalan ini bagaikan benang kusut yang sulit menemukan ujung pangkalnya. 


Bila kita menilik fenomena ini secara filosofis, maka hal terpenting adalah mendiagnosa akar permasalahannya. Demo buruh hanya ekses, sementara substansi dari kekacauan yang menimpa negeri ini adalah ketakberdayaan terhadap gempuran kapitalisme. Gurita “–isme” ini telah menjajah Indonesia tanpa tedeng aling-aling, yang pada akhirnya berdampak pada liberalisasi ekonomi. Padahal, Indonesia dibangun dengan sistem ekonomi kerakyatan oleh para The Founding Fathers. 


Namun, kini rakyat Indonesia telah melupakan sejarah. Injeksi asing disambut dengan tangan terbuka oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia, sadar ataupun tak sadar. Seandainya saja Indonesia tetap konsisten menjalankan nilai “Keadilan” yang termaktub pada Pancasila dan UUD 1945, maka kita tidak akan menjadi topeng monyet yang menari di bawah benderang asing. Duhai bangsa Indonesia, bangkitlah dari tidur panjangmu!


Penulis: Parlind Sinurat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar