DPP Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia mendesak Mahkamah Agung untuk menolak Peninjauan Kembali yang diajukan pengusaha Surabaya Tjioe Christina Candra yang dipidana setahun oleh MA karena membayar upah buruh secara murah di bawah upah minimum.
"Pada 17 Juli 2013, terpidana Tjioe Christina Candra telah dieksekusi
oleh Tim Kejari Surabaya dan dijebloskan ke Rutan," kata Sekretaris Umum
Serikat Pekerja Aneka Industri FSPMI Jamaludin di Surabaya, Jumat.
Ia menjelaskan eksekusi itu sendiri berjalan atas desakan buruh, karena MA sudah mengeluarkan Putusan MA pada 5 Desember 2012 dan jaksa telah menerima salinan Putusan MA itu secara resmi pada 28 Juni, namun proses pelaksanaan eksekusi berjalan lambat dan berliku akibat adanya pengajuan PK itu.
"Eksekusi monumental itu harus menjadi preseden yurisprudensi bagi tonggak melawan upah murah dan membongkar kejahatan upah yang menyebabkan buruh terus dimiskinkan," katanya.
Oleh karena itu, pengajuan PK atas Putusan MA yang diajukan terpidana Tjioe Christina Candra dan sudah mulai disidangkan itu hendaknya ditolak, karena pelanggaran terhadap hak-hak buruh terjadi secara massif, terstruktur dan sistematis.
"Hal itu menyebabkan jutaan buruh menjadi korban kesewenang-wenangan pengusaha dalam berbagai bentuk, seperti PHK sepihak, pemberangusan serikat pekerja, dan sistem perbudakan modern melalui kontrak outsourcing, upah murah, dan tidak adanya jaminan sosial," katanya.
Menurut dia, kasus pengusaha UD Terang Suara di Jalan Kalianyar, Surabaya itu menjadi tonggak di tengah impunitas untuk mereduksi kesewenang-wenangan pengusaha dan membongkar hukum yang masih represif dan diskriminatif terhadap buruh.
"Putusan MA terhadap terpidana itu diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pengusaha lain yang masih banyak melakukan pelanggaran. Terpidana telah melakukan PHK sewenang-wenang terhadap 37 buruh perempuan dengan alasan perusahaan akan tutup," katanya.
Selain itu, perusahaan yang memproduksi "sound system" itu juga melanggar berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undang yang berlaku, di antaranya dengan membayar upah pekerja/buruhnya di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya Tahun 2009.
UMK Surabaya saat itu seharusnya minimal sebesar Rp948.500, namun puluhan karyawan UD Terang Surabaya hanya dibayar Rp800.000. Awalnya, pihak pekerja dan serikat pekerja secara kekeluargaan meminta pihak perusahaan menyelesaikan permasalahan secara baik-baik tetapi tidak ditanggapi.
Oleh karena itu, serikat pekerja dan pekerja akhirnya melaporkan pelanggaran upah minimum ke Disnaker Kota Surabaya hingga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) menetapkan tersangka Tjio Christina Chandra melanggar Pasal 90 ayat 1 juncto Pasal 185 ayat 1 UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dengan sanksi pidana 1-4 tahun dan denda berkisar Rp100 juta hingga Rp400 juta.
Selanjutnya, Disnaker kota Surabaya melimpahkan kasus tersebut ke Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya. Di Pengadilan Negeri Surabaya, tersangka Tjio Christina Chandra divonis bebas, lalu Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung dengan Ketua Majelis Zaharuddin Utama dengan anggota majelis Prof Dr Surya Jaya dan Prof Dr Gayus Lumbuun dalam perkara nomor 687 K/Pid.Sus/2012 pada 5 Desember 2012 mengabulkan kasasi JPU dan menghukum dengan hukuman penjara selama satu tahun dan denda Rp100 juta.
"Tidak hanya itu dalam pertimbangan hukumnya MA juga menyatakan suami Tjioe Christina Candra yaitu Untung Candra juga dimintai pertanggungjawaban pidana karena keduanya dianggap memiliki peran dan kedudukan yang sama dalam hal terjadinya tindak pidana," katanya.
Oleh karena itu, FSPMI mendesak MA menolak PK yang diajukan terpidana dan negara segera menyita semua harta terpidana beserta keluarganya sampai dimiskinkan, lalu harta yang disita diberikan negara kepada para buruh yang menjadi korban kesewenang-wenangan. (*)
Ia menjelaskan eksekusi itu sendiri berjalan atas desakan buruh, karena MA sudah mengeluarkan Putusan MA pada 5 Desember 2012 dan jaksa telah menerima salinan Putusan MA itu secara resmi pada 28 Juni, namun proses pelaksanaan eksekusi berjalan lambat dan berliku akibat adanya pengajuan PK itu.
"Eksekusi monumental itu harus menjadi preseden yurisprudensi bagi tonggak melawan upah murah dan membongkar kejahatan upah yang menyebabkan buruh terus dimiskinkan," katanya.
Oleh karena itu, pengajuan PK atas Putusan MA yang diajukan terpidana Tjioe Christina Candra dan sudah mulai disidangkan itu hendaknya ditolak, karena pelanggaran terhadap hak-hak buruh terjadi secara massif, terstruktur dan sistematis.
"Hal itu menyebabkan jutaan buruh menjadi korban kesewenang-wenangan pengusaha dalam berbagai bentuk, seperti PHK sepihak, pemberangusan serikat pekerja, dan sistem perbudakan modern melalui kontrak outsourcing, upah murah, dan tidak adanya jaminan sosial," katanya.
Menurut dia, kasus pengusaha UD Terang Suara di Jalan Kalianyar, Surabaya itu menjadi tonggak di tengah impunitas untuk mereduksi kesewenang-wenangan pengusaha dan membongkar hukum yang masih represif dan diskriminatif terhadap buruh.
"Putusan MA terhadap terpidana itu diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pengusaha lain yang masih banyak melakukan pelanggaran. Terpidana telah melakukan PHK sewenang-wenang terhadap 37 buruh perempuan dengan alasan perusahaan akan tutup," katanya.
Selain itu, perusahaan yang memproduksi "sound system" itu juga melanggar berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undang yang berlaku, di antaranya dengan membayar upah pekerja/buruhnya di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya Tahun 2009.
UMK Surabaya saat itu seharusnya minimal sebesar Rp948.500, namun puluhan karyawan UD Terang Surabaya hanya dibayar Rp800.000. Awalnya, pihak pekerja dan serikat pekerja secara kekeluargaan meminta pihak perusahaan menyelesaikan permasalahan secara baik-baik tetapi tidak ditanggapi.
Oleh karena itu, serikat pekerja dan pekerja akhirnya melaporkan pelanggaran upah minimum ke Disnaker Kota Surabaya hingga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) menetapkan tersangka Tjio Christina Chandra melanggar Pasal 90 ayat 1 juncto Pasal 185 ayat 1 UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dengan sanksi pidana 1-4 tahun dan denda berkisar Rp100 juta hingga Rp400 juta.
Selanjutnya, Disnaker kota Surabaya melimpahkan kasus tersebut ke Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya. Di Pengadilan Negeri Surabaya, tersangka Tjio Christina Chandra divonis bebas, lalu Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung dengan Ketua Majelis Zaharuddin Utama dengan anggota majelis Prof Dr Surya Jaya dan Prof Dr Gayus Lumbuun dalam perkara nomor 687 K/Pid.Sus/2012 pada 5 Desember 2012 mengabulkan kasasi JPU dan menghukum dengan hukuman penjara selama satu tahun dan denda Rp100 juta.
"Tidak hanya itu dalam pertimbangan hukumnya MA juga menyatakan suami Tjioe Christina Candra yaitu Untung Candra juga dimintai pertanggungjawaban pidana karena keduanya dianggap memiliki peran dan kedudukan yang sama dalam hal terjadinya tindak pidana," katanya.
Oleh karena itu, FSPMI mendesak MA menolak PK yang diajukan terpidana dan negara segera menyita semua harta terpidana beserta keluarganya sampai dimiskinkan, lalu harta yang disita diberikan negara kepada para buruh yang menjadi korban kesewenang-wenangan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar