Belajar lah ekonomi-politik:
Pertanyaan selanjutnya bagi kita adalah: apa pengertian pokok dari “upah sehari yang layak bagi kerja sehari yang layak” ? Orang bisa saja mengatakan, yang dimaksud dengan upah sehari kerja, dalam kondisi normal adalah jumlah yang diperlukan oleh pekerja untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Sedangkan kerja sehari yang layak adalah lamanya hari kerja dan intensitas/keseksamaan kerja yang dicurahkan sehari penuh tanpa menyebabkan ketidakmampuan untuk bekerja pada hari berikutnya dan seterusnya. Singkatnya adalah pekerja mengadakan transaksi dengan pengusaha; pekerja memberikan tenaganya secara proporsional dan pengusaha memberikan upah yang mencukupi kebutuhan hidup para pekerja. Sampai di sini, konsep ini terlihat adil. Tidak ada kesan kalau pengusaha mendzalimi sang pekerja.
Tetapi kenyataanya, sering kali pemilik modal (kapitalis/pengusaha) memaksa pekerja memberikan tenaga sebanyak dari yang dapat diberikannya; sedangkan pengusaha memberikan upah tak lebih dari kebutuhan hidup pekerja untuk dapat bekerja lagi di hari berikutnya (pas-pasan).
Pekerja memberikan semaksimal itu dan pengusaha memberikan seminimal itu. Dalam tataran praktik, terlihat kalau konsep tersebut masih merugikan pekerja. Bila memang konsep tersebut terasa belum adil dan belum memihak pada kepentingan buruh, maka seharusnya pemerintah--dengan kebijakannya--yang harus bisa meluruskan atau'bahkan menciptakan suatu konsep baru atau sistem pengupahan yang lebih mencerminkan keadilan dan lebih memihak kepentingan buruh.
Mari lah kita lebih mencermati hal tersebut dalam pengertian ekonomi-politik. Menurut ekonomi-politik, upah dan hari kerja ditetapkan oleh persaingan di pasar (lalu ditetapkan oleh Dewan Pengupahan dan pemerintah) sehingga seolah-olah kedua belah pihak--kapitalis dan buruh--harus bersepakat mempunyai awalan yang sama, yakni: sama-sama sederajat. Tapi, pada kenyataannya, tidaklah demikian. Si kapitalis, jika ia tidak dapat sepakat dengan buruh, dapat saja menunggu, dan hidup dari modalnya atau dari simpanannya. Si buruh tidak punya kemampuan seperti itu. Baginya hanya ada upa, hanya mengharap upah-untuk hidup--dan oleh karenanya harus menerima pekerjaan sesegera mungkin, kapan saja, di mana saja dan, terpaksa, dengan syarat-syarat apa saja yang dapat diperolehnya. Si buruh tidak menikmati/memiliki awalan yang layak, si buruh ternyata tidak sederajat dengan si kapitalis. Ia sangat dirundung ketakutan akan kelaparan. Namun begitu, dalam pengertian ekonomi-politik, demikian lah kelayakan bagi si kapitalis.
Pengertian ekonomi-politik lainnya adalah: penerapan tenaga mekanik dan mesin baru dalam pekerjaan-pekerjaan lama atau baru, perluasan dan perbaikan-perbaikan mesin dalam usaha-usaha yang menggunakan pembaruan mesin-mesin baru tersebut menggusur semakin banyak "tangan" (pekerja); dan itu terjadi dalam laju/kecepatan yang jauh lebih tinggi ketimbang kecepatan "tangan-tangan" buruh yang dapat diserap oleh dan bisa menemukan pekerjaan dalam usaha-usaha manufaktur negeri bersangkutan.
"Tangan-tangan" yang digantikan tersebut membentuk barisan cadangan (tenaga kerja) industrial yang sesungguhnya yang dapat digunakan oleh modal atau si kapitalis. Jika perdagangan sedang buruk atau merosot, mereka itu bisa kelaparan, mengemis, mencuri, atau mengantri panjang di tempat-tempat kerja, membanting atau mengobral harga tenaga kerjanya; jika perdagangan sedang baik atau meningkat, mereka siap (dipakai) untuk meluaskan produksi (bahkan juga dengan harga tenaga kerja yang murah); mulai dari laki-laki, perempuan hingga anak-anak yang terakhir dari barisan cadangan (tenaga kerja cadangan) tersebut akan memperoleh pekerjaan--yang hanya terjadi pada masa-masa kekalutan kelebihannproduksi (over-produksi). Dalam ove-produksi, akan terjadi persaingan di antara para kapitalis, sehingga si kapitalis berusaha sekuat mungkin menekan kembali (atau menahan) laju tingkat upah, sehingga terjadilah pertentangan antara modal (kapitalis) dengan tenaga kerja (buruh). Di situ lah modal akan menunjukkan kekuasaannya dengan menekan atau menahan laju tingkat upah. Dan dalam pertarungan tersebut, si buruh digayuti oleh rantai berbola besi di kakinya--keharusan menyambung nyawanya sesegera mungkin. Namun ini pun dianggap sebagai pengertian ekonomi-politik yang layak bagi si kapitalis.
Dan, sekarang, juga dalam pengertian ekonomi-politik, mari lah kita meneliti dari dana (yang ditanamkan dalam investasi) atau modal tersebut, serta apakah Modal (kapital) itu, yang dapat membayar upah yang sangat layak tersebut? upah dibayar dari modal, tentu saja. Tetapi, modal tidak menghasilkan nilai. Kerja lah (di samping tanah yang dapat menghasilkan nilai sendiri tanpa kerja) yang menghasilkan nilai; jadi, kerja lah yang menghasilkan nilai dan merupakan sumber kekayaan satu-satunya; modal itu sendiri tidak lain dan tidak bukan hanyalah tumpukan/timbunan hasil kerja. Sehingga upah-upah-kerja dibayar oleh kerja, atau: si buruh, sebenarnya, dibayar dari hasil (kerja)-nya sendiri.
Karena itu, menurut kelayakan umum yang seharusnya, upah pekerja seharusnya terdiri atas produk (hasil) kerjanya sendiri. Tetapi itu tidak akan layak menurut ekonomi politik versi kapitalis. Sebaliknya, hasil kerja buruh nyelonong ke kantong kapitalis; dan si buruh mendapatkan (dari hasil kerjanya) tak lebih sekadar demi kebutuhan-kebutuhan mendasar kehidupannya. Demikian lah kesudahan persaingan, perlombaan atau pertarungan antara si kapitalis dengan si buruh, akumulasi atau penumpukan (nilai) hasil kerja si buruh berada di tangan mereka yang tidak bekerja dan, ketika nilai (hasil kerja) tersebut berada di tangan mereka, maka nilai (hasil kerja) tersebut menjadi alat yang paling berkuasa untuk memperbudak (justru) orang-orang yang menghasilkannya.
Oleh karena itu, dari uraian di atas, "Upah sehari yang layak bagi kerja sehari yang layak" adalah semboyan lama, semboyan yang sudah kadaluwarsa.
Kelayakan dalam pengertian ekonomi politik yang sebenarnya seharusnya: "Pemilikan atas sarana sarana/alat-alat produksi--seperti tanah pabrik/ kantor, mesin-mesin, bahan-bahan mentah, pabrik-pabrik, dan sebagainya--oleh rakyat pekerja sendiri." Agar tidak ada manusia menghisap, menindas dan mengambil hasil kerja manusia lainnya....
Penulis: Danial Indrakusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar