Outsourcing Versi Mas Jum
(Ringkasan obrolan  penulis dengan Mas Jum, aktivis buruh lokal Bandung)
Mbuh, apa yang mendorong Ibu Megawati Presiden kita, saat men-sah-kan UU No.13 Tahun 2003 silam, padahal menurutku saat itu UU tersebut adalah “neraka” bagi buruh. Dibalik slogannya sebagai ksatria pembela ‘wong cilik’ dan pembela kaum yang tertindas,  ternyata justru menjerumuskan ‘wong cilik’ tersebut.
Banyak pasal dalam UU tersebut yang menjadikan ‘wong cilik’ ini semakin menjadi ‘wong cuuiiilllik tenan’ bahkan mendegradasi penghargaan sebagaimana layaknya terhadap “wong” (manusia).
Sebut saja pasal-pasal yang melegalisasi perbudakan  (pasal 64), 
mempekerjakan anak-anak (pasal 69), Cuti Haid (Pasal 81), degradasi 
nilai fasilitas kesejahteraan (pasal 100), degradasi nilai pesangon 
(pasal 156) dll. 
Perbudakan = Outsourching
Perbudakan (menurut Wikipedia Bahasa Indonesia)
 adalah sebuah kondisi di mana terjadi pengontrolan terhadap seseorang 
(disebut budak) oleh orang lain. Perbudakan biasanya terjadi untuk 
memenuhi keperluan akan buruh atau kegiatan seksual.
(Masih menurut Wikipedia) Para budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh seorang tuan, bekerja  tanpa gaji dan tiada punya hak asasi manusia. “Slave” berasal dari perkataan slav, yang merujuk kepada bangsa Slavia di Eropa Timur, yang masyarakatnya mayoritas adalah budak.
Dimasa lalu, selain dipersembahkan kepada raja atau pemimpinnya, budak 
dijadikan komoditas jual beli atau barter. Para pemilik budak atau 
cukong budak adalah mereka-mereka dari kaum yang memenangkan peperangan 
yang menjadikan tawanan perangnya sebagai budak, boleh dibilang “stok” akan berlimpah saat satu kaum memenangkan perang, dan sebaliknya saat peperangan kalah ‘stok’ pun berkurang.
Namun peperangan tidaklah selamanya berlangsung, Untuk memenuhi ‘stok’
 budak para cukong budak ini berburu ke kantong-kantong masyarakat yang 
mayoritas hidup miskin, mereka menipu, membohongi, menjerat korban 
dengan hutang yang tak mungkin terbayar, membelinya, membawanya dengan 
jalan paksa dan sebagainya.
Di masa lalu, para budak diperlakukan kejam, budak hanya diberi makan 
dan fasilitas hanya untuk mempertahankan  hidupnya sendiri, sekali 
melanggar titah majikan atau berbuat kesalahan, maka budak ini akan 
ditendang keluar dan dikembalikan ke pemiliknya, jika budak 
sakit-sakitan tak segan budak tersebut untuk dibunuh dan dibuang 
jauh-jauh, karena tuannya (cukongnya) pun tak sudi menerima kembali 
budak yang sakit-sakitan.
Di masa lalu wajar saja perbudakan merebak, karena barangkali raja-nya tidak pernah mengangkat MENKUMHAM (Menteri Hukum dan HAM), tidak ada Komraj HAM (Komisi Kerajaan HAM), tidak ada Pemerhati HAM (Human Right Watch) dan tidak ada LSM-LSM 
HAM.
Dijaman saiki,
 agen-agen budak merebak dimana-mana, budak jaman sekarang bukanlah 
dipersembahkan untuk raja atau presiden, tapi dijual ke juragan-juragan 
pemilik perusahaan, agen atau cukong setiap hari merekrut ratusan budak,
  mencari ke kampung-kampung dan sudut-sudut kota, beraksi menjelang 
kelulusan dan wisuda anak sekolah dengan bursa kerjanya,  membuat iklan 
di tivi, Koran dan radio, menawarkan pekerjaan layaknya pemilik 
perusahaan.
Dijaman saiki setiap bulan agen budak (perusahaan perbudakan) meng-interview ribuan budak, mengelompokan serta menyimpannya dilemari-lemari cabinet dengan tak lupa membubuhkan ‘price list’ dan barcode,
 si A layak dijual ke juragan minyak, si B layak dijual ke raja tekstil,
 si C layak dijual sebagai waitress di Warung Kopi, si D layak dipajang 
sebagai Bulldog dan seterusnya.
Dijaman saiki, dengan legalisasi pemerintah, pengusaha leluasa 
memilih budak di agen-agen perbudakan, mencari yang paling murah 
upahnya, yang paling semangat bekerjanya, tidak sakit-sakitan, yang 
tampan, yang cantik, jarang hamil, tidak pernah menuntutupah dsb, jika 
budak sudah kadung dipilih pun pengusaha tak segan untuk menendangnya keluar jika ternyata sang budak kondite-nya tidak sesuai dengan yang diharapkan, sakit-sakitan, hamil, menuntut naik upah, berkelompok (berserikat), dll.
Dijaman saiki, Upah dan waktu kerja budak dipatok dan dikontrol
 oleh cukong (agen perbudakan), akibatnya banyak diantara para budak 
yang upahnya hanya bisa untuk makan sendiri serta bayar upeti kepada 
cukongnya, tanpa ada sisa untuk disetorkan kepada keluarga atau simbok
 di kampung, jika budak sakit si cukong dan si pengusaha saling lempar 
tanggung jawab, yang pada akhirnya dibiarkan begitu saja tanpa iba dan 
belas kasihan.
Dijaman saiki “Perbudakan” sudah tidak ada, yang ada adalah “Outsourcing”, Barangkali pembuat undang-undang sudah gengsi dan tabu mencantumkan kata “perbudakan’ dalam undang-undangnya, sama halnya istilah korupsi yang sudah diganti dengan “penyalahgunaan” dll.  Namun pada hakikatnya praktek-praktek perbudakan secara kasat mata berlangsung dimana-mana, bakhan di-legal-kan atau di-sah-kan dengan peraturan perundangan seperti pada UU No.13 tahun 2003 tsb.
Dijaman saiki katanya presiden wis ngerti kabeh soal 
HAM, bahkan Menteri HAM pun diangkat, Pemerhati HAM sudah masuk ke 
pelosok pedesaan (HAM masuk desa), LSM-LSM ada disetiap sudut gang.
Balik lagi ke pengertian perbudakan menurut Wikipedia diatas, 
perbudakan adalah sebuah kondisi di mana terjadi pengontrolan terhadap 
seseorang oleh orang lain, yang berkaitan dengan buruh dan eksploitasi 
seksual, Jadi what the different between perbudakan dimasa lalu dan outsourching dijaman saiki?
OUTSOURCING = TIDAK MELINDUNGI
Puji syukur pada Tuhan YME, dijaman saiki Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD bisa mengatakan bahwa sistem pekerja lepas “outsourcing”
 merupakan sistem yang sangat tidak memberikan perlindungan kepada 
pekerja terutama untuk kaum lemah, bahkan Mahfud MD ini berani bilang: “Untuk
 itu kami memutuskan melarang adanya sistem “outsourcing” untuk 
melindung masyarakat kecil dari kesemena-menaan pihak-pihak terkait,”.
Selain itu, kata dia, larangan adanya “outsourcing” ini adalah 
untuk tetap menjaga para pekerja dari perlakuan kurang manusiawi dan 
bisa diberikan hak-hak sebagaimana undang-undang yang ditetapkan.
Kulo yakin sekali Pak Mahfud MD ini pun ngertos (isi) UU No.13 tahun 2003 sejak dulu, tapi kenapa baru ngerespon ketidakberesan UU tsb saiki yo!?
MK membuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012, namun  aku mensinyalir dikabulkannya uji materiil  Didik Suprijadi dkk, pekerja dari Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML), bermuatan listrik
 (karena yang mengajukan adalah buruh pencatat meteran listrik PLN)  
sebagaimana diketahui bahwa Menteri BUMN yang sekarang adalah Pimpinan 
tertinggi di PT PLN sebelumnya, yakni Pak Dahlan Iskan (takut nama baik pak DI kesetrum gitu lho?!!), koq, kebayang dipikiranku, nek sing ngajukan
 uji materiil itu adalah karyawan outsourcing di PT.Ecek-ecek yang udah 
belasan tahun terus dikontrak walaupun pekerjaanya itu-itu aja, 
dikabulkan opo ora yo?
Sejarah menunjukan bahwa sebelum tahun 2003, jutaan buruh yang dimotori 
serikat pekerja bergerak mulai dari daerah sampai ke Istana Negara, 
mengusung tema penolakan UU 13/2003, bahkan beberapa demonstrasi 
berakhir ricuh, salah satu tema yang diusung saat itu adalah menolak legalisasi outsourcing yang nyata-nyata dimuat dalam UU tersebut
Tapi, (dari pada tidak) kita patut berikan apresiasi buat Pak 
Mahfud MD dkk di MK ini, selain gebrakan politik, ternyata Pak Mahfud MD
 ini, concern juga pada kesejahteraan serta kelangsungan hidup mayoritas
 penduduk Indonesia (buruh).
Saiki tinggal nunggu follow up putusan MK tersebut 
dari Menakertrans Cak Imin (Muhaimin Iskandar), apakah surat edaran atau
 keputusan atau peraturan yang dikeluarkannya sebagai pengejawantahan 
dari penghapusan outsoucing, atau malah makin menyelubungkan praktek perbudakan.
Saya sih pesimis, masalahe yang punya dan yang mem-backing perusahaan outsourcing, mayoritas bukan ‘wong cilik’ sekelas AAL yang nyuri sandal jepit, ato Mas Kasno yang tukang Bakso ning prapatan kuwi, tapi para petinggi institusi keamanan, petinggi partai, pejabat pemerintah dan sodara-sodara-nya, dan bahkan ada pemilik agen outsourcing
 sekaligus pemilik perusahaan itu sendiri (walaupun terselubung), jadi 
selain bisa jual barang produk perusahaanya dia juga bisa menjual 
pekerjanya.
Nah, nek wis koyo ngono berbenturan dengan orang-orang seperti 
itu lagi, mana berani Cak Imin menertibkan perbudakan (outsourcing) yang
 menjadi tugas institusinya.
Siap-siap aja tukang peti dan tukang es mendapat proyek dari MK dan Menakertrans…
Ngono mas!
(penulis menutup obrolan sambil nyruput kopi…)
Ooooo…gitu ya Mas? Mantaaap…
Korelasi Sumber Berita:
Sumber Gambar Ilustrasi:
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar