Hukum yang Retak, Perundingan, dan Grebek Pabrik: Catatan Awal Pergerakan Buruh di Bekasi
Abu Mufakhir
Peneliti Lembaga Informasi Perburuhan
Sedane
|
PER 3 OKTOBER 2012,
tiga konfederasi dan federasi serikat buruh yang tergabung dalam MPBI (Majelis Pekerja
Buruh Indonesia), diikuti federasi serikat buruh di luar MPBI, menjalankan aksi mogok
nasional. Lebih dari tiga
juta massa buruh, di 80 kawasan industri,[1] yang berasal dari 754 perusahaan di 12 provinsi, 37
kabupaten/kota yang tersebar di pulau-pulau besar Indonesia seperti Jawa,
Sumatera, Riau, dan Papua Barat,[2]
menuntut penghapusan sistem kerja outsourcing,
penolakan upah murah, dan pelaksanaan jaminan sosial. Aksi mogok nasional yang berlangsung untuk pertama kali
dalam sejarah gerakan buruh pasca-Soeharto tersebut, telah melumpuhkan beberapa kawasan industri
penting Indonesia secara serentak dalam satu hari. Terlepas dari diskusi tentang makna
kegagalan dan capaiannya, aksi mogok
nasional dengan memanfaatkan jalanan (kawasan-kawasan industri dan kantor-kantor pemerintah) sebagai arena politik untuk menekan pemerintah, telah menjadi salah satu respons terkuat serikat buruh ketika berhadapan dengan rezim pasar
kerja fleksibel serta politik upah murah.
Sejak jatuhnya rezim Soeharto, walaupun
posisi politik buruh lemah di ruang-ruang politik formal, serikat buruh kembali
menemukan jalanan sebagai ruang politik untuk menekan pemegang otoritas. Di tengah-tengah rezim upah murah dan pasar kerja
fleksibel, serta tidak bekerjanya lembaga-lembaga politik formal, upaya-upaya
untuk terus memperkuat kapasitas serikat buruh dalam melakukan mobilisasi
politis di jalanan secara fundamental merupakan pilihan strategi yang
realistis. Ketika merebut kembali jalanan sebagai ruang politik alternatif, secara
mendasar serikat buruh telah menyediakan saluran baru bagi partisipasi politik,
secara kualitatif memperluas basis demokratisasi, serta memaksa
perubahan-perubahan mendadak dengan sifatnya yang terbatas pada relasi-relasi kekuasaan yang ada, –seperti pecahnya partai koalisi dalam kasus kenaikkan harga
BBM– bahkan membatalkan beberapa kebijakan pemerintah yang
dinilai bertentangan dengan kepentingan kelas buruh, yang (saat ini) tidak mungkin
didapat melalui institusi politik formal.
Sebagai gambaran, pada 2006, berbagai serikat buruh di berbagai kota di Indonesia berhasil membatalkan rencana pemerintah merevisi UU Ketengakerjaan Nomor 13/2003. Dengan jumlah massa mencapai 100 ribu, aksi
ini sering disebut-sebut sebagai aksi terbesar pada rentang periode
pasca-Soeharto sampai tahun 2007. Di
penghujung 2009, aliansi serikat buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan
Sosial (KAJS), melalui serangkaian mobilisasi selama hampir dua tahun berhasil
mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). KAJS menerapkan kembali strategi aksi ‘rapat akbar’, sebuah strategi memobilisasi dan
mengumpulkan massa pada zaman pergerakan untuk menggalang kekuatan antikolonial.
Mereka juga melakukan long march, dengan berjalan kaki dari Bandung menuju Jakarta, sepanjang 250
kilometer selama 5 hari. Pada 2010, serikat buruh
mulai menerapkan strategi boikot dengan menutup kawasan industri, hal ini
terjadi pada Kawasan Berikat Nasional Cakung, Jakarta Utara. Tahun 2011, serikat
buruh Freeport melakukan aksi mogok selama hampir enam bulan, yang dinilai sebagai aksi
mogok paling militan dan terpanjang dalam sejarah gerakan buruh Indonesia pasca-Soeharto.
Puncaknya terjadi pada 2012, sepanjang tiga
bulan pertama terjadi lonjakan skala dan intensitas aksi terkait dengan
penetapan upah minimum dan rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Sepanjang
Januari-Februari, puluhan ribu massa
aksi melakukan penutupan Kawasan Berikat Nasional, Cakung, di Jakarta Utara. Serta melumpuhkan 7 kawasan industri kota Bekasi –kota yang setidaknya menopang 70 persen ekspor
nonmigas nasional.[3]
Dalam rentetan aksi tersebut beberapa jalur jalan tol dan kawasan industri yang
menjadi bagian penting dari perekonomian Indonesia lumpuh dalam beberapa jam.
Rentetan aksi terus berlanjut pada Maret, saat pemerintah berencana menaikkan harga BBM. Serikat
buruh melakukan aksi massa secara terus-menerus di beberapa kota besar di
Indonesia, untuk menolak rencana kenaikan harga BBM. Dalam aksi tersebut, sulit
diingkari jika serikat buruh menjadi pelaku aksi yang paling dominan dengan
kemampuannya memobilisasi massa. Saat itu, untuk pertama kalinya rencana kenaikkan harga BBM berhasil dibatalkan/ditunda. Selanjutnya, aksi peringatan Hari Buruh
Sedunia 1 Mei 2012 di Indonesia, disebut oleh beberapa media sebagai aksi May
Day terbesar di Asia Pasifik. Tahun 2012 ini, aksi massa serikat buruh seperti menjelma
menjadi mobilisasi politis dengan dampak mempengaruhi kebijakan yang cenderung
lebih kuat dari aksi-aksi serikat buruh sebelumnya.
Sepanjang 2011-2012 ini, kita dapat
melihat banyak kemunculan-kemunculan strategi ‘baru’ (atau digunakan lagi)
dalam kerangka mobilisasi oleh serikat buruh pasca-Soeharto. Beberapa di antaranya
blokade jalan tol, menutup kawasan industri, rapat akbar, longmarch berhari-hari, sweeping,
solidaritas antarpabrik dan lintas kawasan, bahkan mogok nasional, termasuk grebek pabrik. Menurut penulis kemunculan
berbagai strategi mobilisasi baru tersebut belum banyak ditulis. Dilihat faktor
yang melatarbelakanginya, serta bagaimana strategi-strategi tersebut diwujudkan
di lapangan. Karenanya tulisan ini sebagai upaya untuk turut mendokumentasikan
dan mendiskusikan salah satu dari strategi mobilisasi tersebut, yaitu grebek pabrik. Sebuah strategi mobilisasi
yang pertama kali muncul di Bekasi pada akhir Mei 2012, dan saat ini terus
meluas sampai ke Bogor dan Depok.
Dalam strategi grebeg
pabrik (sebagian menyebutnya sebagai Greduk pabrik), pabrik-pabrik yang mempekerjakan buruh outsourcing yang melanggar UUK No. 13/2003,
didatangi oleh massa dari sejumlah serikat buruh yang berasal dari pabrik-pabrik
lain yang berdekatan. Kemudian melakukan penutupan pabrik, pendudukan, bahkan menyandera pihak manajemen, untuk menuntut pengangkatan buruh outsourcing menjadi buruh tetap. Aksi ‘grebekan’ hanya akan dihentikan ketika tuntutan tersebut dipenuhi. Aksi grebek bisa berlangsung 1 sampai 3 hari. Pada beberapa kasus aksi grebek pabrik dapat berlangsung lebih lama dari 10
hari.
Strategi grebek pabrik terus meluas dan menjadi momok bagi para pengusaha di
Bekasi. Menurut pengurus asosiasi industri dan pabrik di kawasan Bekasi, saat
ini ada 100 pabrik yang terkena aksi grebek
pabrik. Mereka menilai aksi grebek
pabrik sebagai masalah yang dapat mengganggu industri serta mengancam laju
investasi. Karena itu, mereka menemui Menteri Perindustrian, bahkan meminta
bantuan TNI, untuk menghentikan aksi grebek
pabrik tersebut.[4] Tulisan ini tidak
ditujukan untuk membantah pernyataan tersebut, tapi akan mendiskusikan aksi grebek pabrik
dari perspektif gerakan buruh. Terutama pada bagaimana aksi grebek pabrik dapat terus berkembang, juga telah dan dapat dimaknai sampai saat ini.
Situasi-situasi yang Mendukung Grebek
pabrik
PADA BAGIAN INI, penulis akan
mendiskusikan bagaimana aksi grebek
pabrik muncul dan berkembang, bagaimana dilaksanakan, serta faktor-faktor apa
saja yang mendorong munculnya aksi grebek
pabrik sebagai sebuah respons. Di antara itu dimasukkan pendapat dari kelompok
serikat buruh yang tidak setuju dengan pelaksanaan aksi grebek pabrik.
Secara umumnya banyak yang sependapat jika aksi grebek pabrik dinilai berawal dari perkembangan lapangan aksi Hostum (Hapus
Outsourcing dan Tolak Upah Murah), yang dicetuskan oleh MPBI
ketika May Day 2012. Kemudian, grebek pabrik menjelma menjadi metode baru yang dijalankan oleh beberapa
serikat buruh untuk melawan semakin meluasnya sistem kerja outsourcing. Dalam menjalankan aksi grebek pabrik terdapat kombinasi antara strategi
solidaritas antarpabrik (dalam beberapa kasus juga lintas serikat dan lintas kawasan), pendudukan, blokade, dan taktik-taktik koordinasi cepat di lapangan.
Bayangkan, jika dalam satu
aksi grebek pabrik, sebuah serikat buruh mampu memobilisasi lebih dari 2000 peserta aksi
dalam waktu kurang dari dua jam. Untuk menjalankan aksi ini secara terus
menerus –secara spartan
berpindah dari satu pabrik ke pabrik lain dan nyaris
setiap hari –jelas dibutuhkan organisasi serikat buruh yang memiliki kapasitas
mobilisasi yang mampu bertahan dalam jangka waktu yang panjang.
Beberapa aktivis serikat buruh menceritakan aksi grebek pabrik
di Bekasi, bermula dan terinspirasi dari aksi buruh PT Hero Supermarket,
Cibitung, bersama Serikat Pekerja Aneka Industri/SPAI-FSPMI.
Dalam tulisannya, Sherr Rin, aktivis SPAI-FSPMI, menuliskan kisah aksi buruh PT
Hero, yang berawal dari pemecatan sepihak terhadap 514 buruh kontrak. Mereka
yang rata-rata sudah bekerja 5-8 tahun dipecat begitu saja, hanya karena pihak manajemen sudah tidak lagi suka
dengan perusahaan kontraktornya. Pemecatan sepihak ini memaksa buruh PT Hero,
Cibitung, melakukan aksi sampai ke PT Hero Pusat, Jakarta, pada 22 sampai 23
Mei 2012. Selain itu, bersama dengan FSPMI-KSPI dalam rangka aksi Hostum, mereka mendatangi Kemenakertrans, dan menuntut
penghapusan sistem kerja outsourcing.
Mereka juga melakukan aksi ke
Disnakertrans Bekasi, menuntut dikeluarkannya Nota Dinas yang menginstruksikan
agar PT Hero Spk Cibitung mempekerjakan kembali buruh-buruh yang telah di-PHK
sepihak, kemudian mengangkat statusnya menjadi buruh tetap. Pada 23 Nota Dinas
itu dikeluarkan. Namun, pihak manajemen hanya mengatakan akan mempertimbangkan Nota Dinas tersebut,
bukan mematuhinya. Akibatnya, buruh PT
Hero bersama dengan massa FSPMI dari
pabrik lainnya yang bersolidaritas melakukan aksi ke PT Hero. Mereka melakukan blokade gudang,
hingga barang tidak bisa keluar-masuk. Aksi tersebut berlangsung sampai malam
hari hingga dipenuhinya tuntutan
buruh.[5]
Perjuangan
buruh PT Hero, menginspirasi banyak serikat buruh untuk melakukan strategi
serupa. Mereka menuntut perusahaan untuk mengangkat status buruh tidak tetap menjadi
tetap, dengan cara melakukan aksi mobilisasi menuju satu pabrik, kemudian
dengan beragam cara menghentikan
proses produksi sampai dipenuhinya tuntutan-tuntutan buruh. Melalui aksi grebek pabrik serikat
buruh secara telak memaksa pihak manajemen membuat kesepakatan-kesepakatan
secara mendadak. Selanjutanya penulis akan mendiskusikan
bagaimana aksi grebek
pabrik dijalankan di lapangan, khususnya pada aspek taktik-taktik koordinasi untuk
dapat mengumpulkan massa sebanyak mungkin.
***
AKSI GREBEK PABRIK dapat berlangsung di pabrik yang telah maupun belum memiliki serikat
buruh. Di pabrik
yang belum memiliki serikat, beberapa buruh outsourcing
yang mendengar cerita tentang buruh-buruh outsourcing
di pabrik lainnya telah diangkat menjadi buruh tetap, karena bantuan serikat
buruh melalui aksi grebek pabrik, setelah
mendapatkan kontak kemudian menghubungi serikat buruh tertentu untuk meminta
bantuan. Setelah itu mereka akan mendatangi sekretariat serikat buruh, atau
saat ini juga terdapat beberapa shelter
yang menjadi tempat berkumpul aktivis serikat buruh tapi bukan merupakan kantor
resmi serikat, salah satunya Rumah Buruh,
yang dibangun oleh FSPMI Bekasi– di sekretariat tersebut, mereka akan berdiskusi
dan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan mendasar mengenai hukum ketenagakerjaan
terutama terkait dengan buruh outsourcing,
hak-hak normatif, dan keserikatburuhan. Setelah proses pembekalan singkat
tersebut, dan disepakatinya beberapa hal, seperti kesediaan menjadi anggota
serikat buruh tingkat pabrik yang berafiliasi pada serikat yang melaksanakan grebek pabrik. Serikat yang diminta akan
memutuskan untuk melakukan penggerebekan atau tidak. Jika diputuskan Iya, maka serikat tersebut akan
menentukan kapan dan bagaimana aksi grebek dilakukan, untuk kemudian segera
melakukan koordinasi lapangan. Sedangkan pada pabrik yang telah memiliki
serikat buruh, aksi grebek pabrik
biasanya berawal dari tuntutan serikat agar pihak manajemen mengangkat status
buruh outsourcing menjadi tetap, yang
diajukan melalui perundingan. Ketika proses perundingan menemui jalan buntu,
saat itulah pengurus serikat menghubungi perangkat di atasnya untuk meminta
bantuan aksi grebek pabrik. Hasil
dari grebek pabrik, biasanya dituangkan dalam kesepakatan pengangkatan, seperti
Peraturan Bersama/PB, atau
dikeluarkannya SK Pengangkatan.
Gambaran mengenai tahapan selanjutnya dari aksi gerebek
pabrik, penulis dapatkan dari beberapa aktivis Forum Komunikasi dan Informasi
(FKI-SPSI Bekasi). Karena itu, informasi berikut hanya menggambarkan bagaimana
aksi grebek pabrik secara umum dilakukan
oleh FKI, sehingga sangat mungkin terdapat beberapa perbedaan dengan cara dan
langkah-langkah penggerebekan pabrik yang dilakukan oleh serikat lainnya.
Setelah menghubungi perangkatnya, mereka yang menjadi
penangungjawab tertinggi di FKI (FKI berbentuk Presidium yang terdiri dari
tujuh orang pengurus, satu Pangkorlap, dan satu Sekjen), akan saling
berkoordinasi untuk mengambil keputusan sesegera mungkin. Setelah keputusan didapat,
Pangkorlap (Panglima Koordinasi Lapangan) FKI akan mengeluarkan instruksi untuk
melakukan penggerebekan. Instruksi tersebut disebar melalui pesan layanan
singkat/sms, baik secara langsung kepada ratusan anggota, maupun beberapa ketua
serikat buruh tingkat pabrik, dan yang terpenting kepada anggota dan pimpinan Relawan FKI, sebuah organisasi sayap
yang dibentuk dan bekerja untuk melakukan aksi-aksi langsung. Selain melalui
sms, instruksi juga disebar melalui status dan group Facebook yang dibuat oleh FKI –saat ini jumlah anggotanya mencapai
3400. Sms instruksi tersebut kemudian berkembang menjadi pesan berantai:
penerima tangan pertama akan melanjutkan sms itu ke beberapa temannya, dan
terus demikian, sampai tidak jarang satu orang menerima dua sampai tiga sms
yang sama dari nomor yang berbeda. Sms dan Facebook
sebagai media untuk melibatkan sebanyak mungkin anggota pada aksi mobilisasi terbukti
efektif, mengingat semakin banyak yang memiliki handphone dengan fasilitas koneksi internet.
Mereka yang sedang berada pada jam kerja saat instruksi
dikeluarkan, biasanya akan datang bersama-sama menggunakan sepeda motor langsung
ke pabrik yang menjadi target penggerebekan setelah jam kerja mereka selesai. Sementara
mereka yang tidak dalam jam kerja, akan berkumpul di sekretariat FKI (disebut
Mabes/Markas Besar), kemudian berangkat bersama-sama di bawah pimpinan mobil
komando, menuju pabrik target penggerebekan, dimana di sana telah menunggu
massa buruh asal pabrik tersebut yang sedang melakukan mogok kerja dan menutup
area pabrik. Mobil komando kemudian di parkir di depan pintu gerbang, dan
secara bergantian beberapa orang berorasi, diselingi dentuman musik dari sound system mobil komando. Massa
mendengarkan orasi, kemudian berjoget bersama, meneriakkan tuntutan dan yel-yel
‘Hidup Buruh!’. Mereka juga berjoget bersama dalam dentuman musik dan lagu-lagu
perjuangan. Pada kasus di mana aksi penggerebekan berlangsung sampai malam
hari, bahkan berhari-hari, massa yang terkumpul di lokasi secara bergantian
datang dan pergi. Biasanya menjelang saat-saat pergantian shift kerja, jumlah
massa akan berkurang, sebaliknya saat-saat setelah pergantian shift, jumlah
massa akan kembali bertambah. Menjelang jam dua belas malam (shift 1), massa akan
berkurang, dan pada jam setengah satu sampai jam dua malam, massa akan kembali
bertambah dan suasana bertambah riuh.
Mereka yang pergi karena harus bekerja atau beristirahat,
sedangkan yang datang setelah jam kerja mereka selesai, biasanya karena enggan untuk
langsung pulang ke rumah dan ingin menghabiskan malam bersama-sama. Karena itu beramai-ramai
datang ke lokasi penggerebekan pabrik untuk melakukan solidaritas, walau sekedar
datang, ikut berjoget dan meramaikan suasana. Tidak jarang mereka juga membawa
beberapa sumbangan logistik yang didapat dari iuran teman-temannya di satu
pabrik seperti nasi bungkus, rokok, kopi, mie instan, dan air minum. Banyak yang
datang merupakan mantan buruh outsourcing
yang telah menjadi buruh tetap karena aksi-aksi grebekan sebelumnya. Selain
itu, mereka yang datang pada malam hari, melakukan sesuatu yang dekat dengan
tradisi bergadang atau melakukan ronda, sesuatu yang umum dalam masyarakat
Indonesia. Keduanya, pengalaman eksploitasi selama menjadi buruh outsourcing ditambah oleh rasa terima kasih
mereka pada aksi-aksi grebek pabrik, serta
latarbelakang kultural berupa bergadang dan ronda, menjadi dua dari sekian
banyak penyebab yang mendorong solidaritas dan kemauan mereka yang datang ke
lokasi grebek pabrik.
Mereka yang datang-pergi sesuai dengan pergantian shift,
membuat jumlah massa kerap stabil, tidak berkurang atau bertambah dalam jumlah
yang signifikan –kecuali pada aksi grebekan yang memakan waktu berhari-hari,
jumlah massa yang bergiliran datang biasanya akan terus berkurang. Jumlah massa
yang stabil, dan terus berteriak-teriak di luar pabrik, ditambah suara musik yang
keras, telah membantu tim perunding yang masuk ke dalam pabrik untuk lebih
mudah menekan pihak manajemen agar memenuhi tuntutan buruh. Tekanan massa, dan
perasaan terancam pihak manajemen merupakan aspek vital pada aksi penggerebekan
pabrik dalam menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan pihak buruh. Untuk
menjelaskan aspek ini, salah satu Presidium FKI, Teguh Maianto, bercerita
kepada penulis, bahwa salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan
atau kegagalan grebek pabrik adalah
penentuan waktu mogok. Jika waktu yang dipilih ketika pihak manajemen tidak
sedang berada di dalam pabrik, maka efektivitas aksi grebekan akan berkurang
secara signifikan. Pengalaman melakukan grebek
pabrik menunjukkan strategi pemilihan waktu mogok ketika pihak manajemen
berada di dalam pabrik, sangatlah penting, karena akan jauh menguntungkan
dengan menambah efektivitas aksi grebek
pabrik. Karena jika manajemen ada di dalam pabrik, kemudian terjebak dalam aksi
grebekan dan tidak bisa keluar, secara pribadi ia akan merasa dalam kondisi terancam,
dan dengan begitu pihak buruh akan memperoleh kesepakatan yang menguntungkan.
Sebaliknya, jika pada saat penggerebekan manajemen tidak ada di dalam, maka
tidak akan muncul perasaan terancam, dengan begitu biasanya pihak manajemen
akan mengulur-ulur proses perundingan, termasuk dengan cara melimpahkannya kepada
pengacara yang dengan mudahnya akan meneruskan kasus ini pada proses pengadilan
hubungan industrial. Hal ini jelas membuat proses penggerebekan memakan waktu
lebih lama dan kehilangan efektivitasnya. Karena itu, jika dalam melakukan grebek pabrik kekuatan buruh adalah
tekanan massa dan perasaan terancam dari pihak manajemen, maka kekuatan manajemen
sekaligus menjadi kelemahan buruh adalah waktu dan proses perundingan yang terus
diulur-ulur.
Sebagai catatan tambahan, dalam beberapa kasus, seperti terjadi
di PT Toppan Printing, Cibitung, kondisi terancam pihak manajemen ketika
melakukan perundingan dan mengambil kesepakatan di bawah tekanan massa menjadi
bumerang bagi serikat buruh di pabrik tersebut. Beberapa hari setelah
kesepakatan pengangkatan status buruh outsourcing
menjadi buruh tetap diambil,manajemen mengingkari hasil kesepakatan tersebut
dengan alasan berada dalam kondisi terancam ketika menandatangani hasil
kesepakatan, kemudian menyerahkan kasus tersebut pada pengacara. Pada kasus PT.
Toppan, tindakan pengingkaran oleh pihak manajemen tersebut diikuti dengan tindakan
pemecatan ketua dan pengurus serikat buruh PT Toppan.
***
SELANJUTNYA PENULIS akan mendiskusikan dinamika internal serikat buruh yang
membuat aksi grebekan dapat berkembang, diterima, dan menjadi salah satu
strategi konfrontasi yang populer. Syarif
Arifin, aktivis LIPS, dalam diskusinya bersama penulis melihat aksi grebek pabrik
sebagai pengembangan dari aksi-aksi solidaritas antarpabrik dan strategi aksi sweeping, yang telah berjalan sebelumnya. Pada aksi solidaritas antarpabrik, di mana beberapa serikat buruh tetangga mendatangi satu pabrik untuk memberi dukungan.
Hal ini berlangsung biasanya ketika serikat buruh yang didatangi sedang melakukan mogok,
atau mengalami pemberangusan serikat buruh. Bentuk dari aksi solidaritas ini
dimulai dari tindakan-tindakan sederhana, seperti saling menyumbang kebutuhan
logistik mogok, melakukan orasi dan menyatakan dukungan di depan pabrik,
ikut menginap atau bergadang di tenda yang didirikan di depan pabrik, sampai
melakukan aksi advokasi bersama.
Membangun aksi solidaritas antarpabrik, selain
menyaratkan adanya hubungan-hubungan yang membangun kedekatan antarpengurus
serikat tingkat pabrik, juga menyaratkan adanya praktik-praktik konsolidasi
lintas pabrik dan lintas serikat.
Sementara aksi sweeping, merupakan salah satu strategi dengan tujuan praktis agar
dapat secara cepat melakukan
pengerahan massa sebanyak mungkin, yang sering dilakukan terutama pada aksi-aksi besar,
seperti Hari Buruh Sedunia
1 Mei dan Mogok Nasional 3 Oktober. Ketika mengikuti aksi Mogok Nasional 3 Oktober, dalam
menjalankan aksi sweeping, serikat
buruh yang menjadi ‘koordinator aksi’ akan mendatangi beberapa pabrik yang
menjadi target –baik karena secara diam-diam diminta oleh pengurus serikat di
pabrik tersebut yang merasa takut pada manajemen jika secara terang-terangan mengeluarkan anggotanya untuk ikut
aksi, atau karena alasan lain seperti besarnya jumlah buruh di dalamnya– kemudian
memaksa manajemen mengeluarkan pekerjanya supaya bisa tergabung dalam aksi. Paksaan kepada pihak manajemen biasanya diikuti
dengan ancaman akan mengalihkan aksi di depan pabrik tersebut, atau memaksa masuk ke dalam pabrik dan menarik mereka yang masih bekerja
untuk mengikuti aksi. Aksi sweeping sebenarnya juga
merepotkan serikat yang melakukannya, karena harus berkeliling menuju
pabrik-pabrik yang menjadi target, dan melakukan tawar-menawar secara keras
kepada pihak manajemen, sebelum membawa rombongan massa menuju titik kumpul
aksi. Dalam beberapa kasus aksi sweeping bahkan
berpotensi melahirkan konflik antarserikat, ketika ada salah satu
serikat yang tidak terima jika ada pabrik anggotanya mengalami sweeping oleh serikat yang berbeda afiliasi.
Bagi mereka yang lebih suka
mengasosiakan aksi buruh sebagai aksi yang sudah seharusnya berjalan damai dan
tanpa kekerasan, aksi sweeping seringkali dipandang secara negatif, karena dinilai merusak
citra aksi buruh. Pandangan tersebut, sedikit-banyak mengabaikan jalanan
sebagai sebuah arena pertarungan kekuatan. Arena yang sehari-hari terus dijadikan
ajang kekerasan, paksaan, dan ancaman. Dan pada kondisi jalanan seperti itulah serikat buruh sering berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang menekannya,
seperti aparat keamanan yang melakukan pembubaran aksi, berhadap-hadapan dengan
berbagai bentuk kekerasan dari preman yang disewa perusahaan, dan lain
sebagainya. Di jalanan, serikat buruh juga terus menemukan dan mengembangkan berbagai bentuk pengorganisasian
dan perlawanan, melakukan berbagai
bentuk protes jalanan, blokade jalan, menutup akses-akses menuju kawasan
industri, untuk menegaskan kembali eksistensinya.
Kedua pengalaman tersebut, ketika melakukan aksi solidaritas antarpabrik dan aksi sweeping,
telah memberikan serikat buruh landasan pengalaman
untuk melakukan pengembangan bentuk-bentuk mobilisasinya ke dalam aksi grebek pabrik.
***
PADA BAGIAN INI, penulis merasa perlu untuk mengutarakan beberapa
pendapat yang tidak setuju terhadap aksi grebek
pabrik, yang secara khusus dilakukan oleh FKI –karenanya tidak merujuk pada
aksi grebek di luar FKI. Ketidaksetujuan ini berasal dari serikat buruh itu
sendiri, bukan dari pihak pengusaha yang posisinya memang dirugikan oleh
aksi-aksi grebekan pabrik tersebut. Beberapa pendapat serikat buruh yang tidak setuju,[6]
pertama-tama melihat aksi Grebek pabrik
yang lebih mengedepankan strategi konfrontasi dibandingkan negosiasi, sebagai
tindakan yang telah merusak prinsip-prinsip Hubungan Industrial Pancasila, yang
mengedepankan hubungan yang harmonis, dan kemitraan antara pihak pengusaha dan
buruh, karena sama-sama saling membutuhkan. Selanjutnya, ketidaksetujuan terhadap
pelaksanaan aksi Grebek pabrik,
merujuk pada tindakan-tindakan ancaman dan tekanan ketika proses perundingan
sedang berlangsung, yang tidak mengedepankan argumentasi yang rasional untuk
mengajukan tuntutan. Ketika ditanya, seperti apakah contoh argumentasi yang
rasional tersebut, jawaban selalu tertuju pada tingkat kemampuan ekonomi perusahaan
untuk mengangkat buruh outsourcing
menjadi buruh tetap. Menurut mereka, tidak semua perusahaan memiliki kemampuan
yang sama dalam melakukan hal tersebut, dan tidak semua perusahaan memiliki
kemampuan untuk mengangkat seluruh pekerjanya menjadi buruh tetap. Sementara
aksi grebek cenderung melihat kemampuan ekonomi seluruh perusahaan untuk
mengangkat buruh outsourcing menjadi buruh
tetap itu sama. Hal ini menurut mereka, dapat menyebabkan banyak buruh yang
tadinya ingin diangkat menjadi buruh tetap, justru ter-PHK, karena perusahaan
harus melakukan efisiensi untuk merasionalisasikan pengeluarannya. Selanjutnya,
kritik yang disampaikan dengan nada paling bersemangat merujuk pada
potongan-potongan situasi lapangan ketika aksi grebek dilakukan, seperti beberapa
peserta grebek pabrik yang mabuk
minuman keras, menyalakan musik keras-keras dan berjoged sampai malam, ugal-ugalan
di jalan, bahkan sampai melakukan tindak kekerasan dan pengrusakan. Selain itu
dalam beberapa kasus yang tidak disebutkan detailnya, terdapat oknum FKI yang meminta
sejumlah uang bayaran kepada buruh-buruh yang meminta pabriknya digrebek, nilainya
mencapai 300ribu perorang.
Penulis belum sempat mengklarifikasi
pendapat ini kepada pihak FKI. Selain itu, penulis juga tidak memiliki
kapasitas untuk menjawab ketidaksetujuan-ketidaksetujuan tersebut. Yang ingin
penulis diskusikan adalah situasi-situasi seperti apa yang melatarbelakangi
munculnya ketidaksetujuan tersebut, sebagai situasi perdebatan yang wajar dalam
dinamika gerakan buruh. Perdebatan ‘diam-diam’ tersebut menunjukkan semakin
eksplisitnya pertentangan antara; (a) mereka yang masih mengandalkan
jalur-jalur perundingan bipartit dalam ruang-ruang formal yang telah
disediakan, seperti pembaharuan PKB yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali,
dan memprioritaskan keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan buruh secara
baik-baik. Jika terjadi perselisihan, maka harus diselesaikan sesuai dengan
mekanisme hukum yang berlaku dan menyerahkannya pada perangkat. Dengan, (b)
mereka yang semakin tidak percaya dengan efektivitas ruang-ruang perundingan
serta mekanisme hukum, untuk kemudian memilih strategi konfrontasi dan jalanan
sebagai ruang untuk memenangkan kepentingan buruh.
Mereka yang melakukan aksi grebekan,
melihat aksi tersebut sebagai respon dari semakin meluasnya sistem kerja
fleksibel, dan lemahnya penegakkan hukum, yang menyebabkan perusahaan dengan mudahnya
melanggar ketentuan-ketentuan penggunaan buruh outsourcing yang tertuang dalam UUK 13/2003. Karena itu, mereka
tidak lagi percaya dengan mekanisme hukum formal yang berlaku, sementara
perusahaan justru mengambil keuntungan dari situasi lemahnya proses penegakkan
hukum itu sendiri, dan buruh outsourcing
semakin terampas hak-hak normatifnya. Bagi mereka yang menolak aksi grebekan, masih
terlihat pengaruh doktrin Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang mengajarkan
bahwa relasi buruh dengan pengusaha mirip sebuah keluarga, dimana masing-masing
harus saling menjaga kerukunan, sama-sama memiliki relasi ketergantungan, dan
kewajiban untuk memajukan perusahaan. Karenanya setiap upaya perundingan harus
dilakukan dengan kesadaran dan niat baik untuk memajukan perusahaan, jika
perusahaan maju dan bertambah keuntungannya, pihak buruh juga yang akan
menerima manfaatnya.
Kelompok ini seringkali mengabaikan
situasi-situasi sosial yang menjadi latabelakang kemunculan aksi grebek pabrik. Padahal aksi grebek pabrik bukan sesuatu yang muncul
dari ruang hampa, ia muncul sebagai strategi untuk merespons situasi-situasi
tertentu. Seperti sering dikatakan oleh aktivis FSPMI Bekasi, melonjaknya
aksi-aksi buruh dan kemunculan aksi Grebek
pabrik, merupakan ‘reaksi’ atas semakin lemahnya penegakkan hukum oleh
negara (hal ini akan dibahas selanjutnya). Secara gamblang telah menunjukkan bahwa
aksi Grebek pabrik tidak terlepas
dari situasi-situasi sosial, atau kondisi-kondisi objektif yang
melatarbelakangi kemunculannya.
***
SEMAKIN MELUASNYA penggunaan buruh outsourcing
di luar ketentuan hukum yang berlaku, merajalelanya keberadaan yayasan-yayasan outsourcing, dan lemahnya penegakkan
hukum ketenagakerjaan oleh Disnaker, merupakan tiga faktor eksternal pokok yang
mendukung bahkan memaksa serikat buruh menjalankan aksi Grebek pabrik. Di luar itu, laju industrialisasi di Bekasi sebagai
kota industri terpadat di Indonesia, dengan 16 kawasan industri yang menampung
lebih dari 2500 perusahaan di dalamnya,[7]
dan 4500 perusahaan jika digabungkan dengan yang berada di luar kawasan.[8]
Ditambah, sebagai kota industri Bekasi menjadi sasaran para pencari kerja dari
daerah lainnya, membuat tingkat kepadatan penduduk yang sudah sangat tinggi
semakin terus bertambah. Pada tahun 2008, di Bekasi jumlah penduduk pada usia
kerja mencapai 72,02 persen. Sementara itu dari total angka pencari kerja hanya
6,49 persen yang berhasil mendapatkan pekerjaan.[9]
Angka ini menunjukkan tingginya jumlah angkatan kerja yang tidak dapat tertampung.
Kesemuanya, meningkatnya penetrasi
kapital dalam bentuk tingkat kepadatan industri yang terus bertambah, kawasan
industri yang semakin terkonsentrasi, bertambahnya jumlah tenaga kerja di
Bekasi, ditambah dengan perubahan-perubahan di internal serikat buruh, telah menjadi
sekian faktor yang membuat aksi-aksi mobilisasi serikat buruh terus terjadi
setiap hari di Bekasi. Tentu saja faktor-faktor tersebut selain masih perlu
ditambahkan, juga membutuhkan analisis yang lebih lengkap untuk melihat
hubungannya yang tidak sederhana dengan naiknya intensitas aksi-aksi buruh,
khususnya grebek pabrik. Namun,
penulis tidak memiliki kapasitas untuk sampai kesitu. Tulisan ini selanjutnya,
akan mendiskusikan bagaimana aksi Grebek
pabrik telah dan dapat terus dimaknai.
Grebek Pabrik sebagai Penegakkan Hukum Jalanan
“Pabrik ini, sejak bulan Agustus sudah tidak lagi menggunakan buruh
outsourcing”
(salah satu bunyi spanduk di beberapa pabrik di kawasan-kawasan industri di
Bekasi)
Ketika memasuki kawasan industri di
Bekasi, seperti Jababeka, EJIP, Delta Silicon, atau MM2100, kita akan menemukan
banyak pabrik yang memasang spanduk di pagar atau gerbang yang bertuliskan,
“Pabrik ini, sejak September sudah tidak lagi menggunakan buruh outsourcing”
atau, “Pabrik ini, sejak Juli sudah tidak lagi menggunakan jasa yayasan
penyalur tenaga kerja”, dan “Pabrik ini, sejak Agustus sudah menjadi anggota
serikat A dan tidak menerima penggunaan buruh outsourcing”, di samping spanduk dipasang
bendera serikat bersangkutan. Spanduk-spanduk tersebut seperti menandakan
kekhawatiran yang meluas dari pihak perusahaan, jika pabriknya dijadikan target
operasi Grebek pabrik.
Aktivis serikat buruh FKI-SPSI dan
FSPMI Bekasi, memaknai aksi ‘grebek
pabrik’
sebagai, “Penegakkan Hukum Jalanan”, karena memang target dari aksi
tersebut
adalah jantung dari berlangsungnya pelanggaran hukum: pabrik itu
sendiri, bukan
di lembaga pengadilan hubungan industrial. Dalam prosesnya serikat buruh
juga nyaris tidak melibatkan institusi formal pengawas hukum
perburuhan, yang
dinilai sudah kehilangan kredibilitasnya. Dalam konteks ini aksi grebek pabrik
merupakan respons atas lemahnya penegakkan hukum, khususnya aturan pelaksanaan outsourcing.
Dalam konteks penegakkan hukum, aksi grebek pabrik telah
berhasil memotong jalur penanganan kasus perselisihan hubungan industrial
dengan skema formal berikut mekanisme dan lembaga penopangnya. Skema formal
penanganan perselisihan hubungan industrial berawal dari persoalan (kasus) di
dalam pabrik, kemudian memasuki mekanisme bipartit yang mempertemukan pihak serikat, dengan
pihak manajemen. Kemudian jika tidak ada kata sepakat, kasus akan berlanjut pada tahap
mediasi (tripartit). Tahap ini melibatkan pihak Disnaker sebagai representasi
negara dalam perundingan antara serikat dan manajemen. Pada proses ini, pihak
Disnaker diharuskan
berposisi sebagai pihak yang netral, dan
memberikan masukan-masukan kepada kedua belah pihak.
Walaupun secara formal pihak Disnaker tidak diperbolehkan memberikan saran atau
masukan yang merugikan buruh –seperti mensarankan untuk menerima PHK, namun banyak
ditemukan pihak Disnaker justru merugikan pihak buruh, dengan menyarankan untuk menerima PHK.
Selanjutnya, jika pada tahap mediasi tidak ditemukan jalan keluar, perselisihan
akan dimasukkan ke Pengadilan Hubungan Industril (PHI). Pada tahap inilah proses
yang berkepanjangan dimulai. Proses penyelesaian satu perselisihan hubungan
industrial, yang rata-rata memakan waktu dua tahun sampai keluarnya putusan
PHI, dapat terus bertambah ketika salah satu pihak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
(MA). Sistem penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berlaku saat ini, sepertinya memang
sengaja didesain untuk menguntungkan pihak pengusaha yang memiliki nafas jauh
lebih panjang, dengan segala persyaratan yang dimiliki untuk dapat mengikuti
sampai kapan pun proses hukum penyelesaian perselisihan tersebut berujung,
apalagi hanya dalam koridor hukum perdata. Sementara serikat buruh, dengan
nafas yang lebih pendek, harus ngos-ngosan
untuk mengikuti seluruh proses berkepanjangan tersebut.
Selain prosesnya yang berkepanjangan, jarak
antara lokasi pabrik dengan lokasi PHI sering terlampau jauh, di mana setiap propinsi hanya memiliki satu PHI. Sebagai
contoh, tiap perselisihan yang terjadi di Bekasi –yang menjadi bagian dari Propinsi
Jawa Barat– harus didaftarkan dan diproses di PHI Bandung. Jarak Bekasi-Bandung memakan waktu sekitar 2,5 jam sekali perjalanan.
Di Pekalongan, di mana PHI propinsi Jawa Tengah berada di
Semarang, membutuhkan tiga jam sekali perjalanan. Jarak tersebut bisa lebih
jauh ketika mempertimbangkan situasi di luar pulau Jawa. Persoalan jarak antara
lokasi kasus perselisihan hubungan industrial yang sering terjadi di kawasan
industri, dengan lokasi PHI yang berada di ibukota propinsi, merupakan
persoalan kendala akses terhadap lokasi pengadilan. Ketika menangani kasus, paling
tidak dalam satu minggu serikat buruh harus bolak-balik PHI satu kali.
Selain persoalan waktu dan jarak,
lembaga pengadilan hubungan industrial juga memiliki catatan praktik-praktik
penyuapan.[10]
Ketiga hal tersebut: waktu yang berkepanjangan, jarak yang jauh, dan lembaga
PHI yang korup, merupakan sebagian persoalan yang telah membuat buruh secara
struktural selalu dilemahkan ketika berada di dalam ruang-ruang penyelesaian
perselisihan formal. Negara seperti sengaja
menyediakan ruang bagi penyelesaian perselisihan hubungan industrial, tetapi
sekaligus membuat posisi buruh selalu lemah. Dalam situasi itulah aksi grebek pabrik muncul dan menjadi jawaban telak, karena berhasil memangkas
proses yang berkepanjangan dengan menghindari mekanisme formal yang tidak
berpihak pada kepentingan buruh.
Dalam grebek pabrik, tahapannya dimulai sejak serikat mengajukan perundingan bipartit
untuk menuntut diangkatnya buruh outsourcing
menjadi buruh tetap. Ketika tuntutan ini tidak disepakati, maka langkah
selanjutnya adalah aksi grebek pabrik melalui kombinasi mogok, pendudukan, boikot, sampai
penyanderaan manajemen. Pada banyak kasus, aksi grebek pabrik bahkan mulai dilakukan sebelum
perundingan dengan manajemen berjalan. Grebek pabrik telah memaksa pihak manajemen untuk menerima kesepakatan secara
mendadak ketika berunding.
Dalam grebek pabrik, Disnaker sebagai mediator, serta mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial nyaris tidak dilibatkan. Serikat sudah semakin kehilangan kepercayaan terhadap
institusi Disnaker dan PHI. Sebaliknya serikat buruh mulai menemukan kembali kepercayaan dirinya, terhadap kekuatan aksi kolektif, melalui mobilisasi cepat dan terkoordinasi. Dalam konteks ini pergeseran dari skema formal ke grebek pabrik, dapat
dilihat sebagai pergeseran dari ruang pengadilan ke aksi-aksi jalanan.
Grebek Pabrik sebagai Respons Terhadap Pasar Kerja Fleksibel
GREBEK PABRIK yang dimaknai sebagai aksi penegakkan hukum jalanan, dapat
juga dilihat sebagai kelanjutan dari beberapa respons serikat buruh dalam menghadapi rezim pasar kerja fleksibel
yang sebelumnya terkonsentrasi pada ruang-ruang kebijakan, dan pengawasan. Sebagai respon atas rezim pasar kerja fleksibel, aksi Grebek pabrik sepanjang pengetahuan
penulis merupakan sesuatu yang berada di luar dugaan sebagian besar pengamat perburuhan. Beberapa respons serikat buruh
terhadap semakin meluasnya pasar kerja fleksibel, yang muncul di beberapa tempat. Dalam catatan Lembaga
Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) sepanjang 2010-2012, terdiri dari respon di
tingkat pabrik. Seperti pembatasan penggunaan buruh outsourcing, melakukan pengangkatan status menjadi buruh tetap, menyamakan
antara hak-hak buruh tidak tetap dengan buruh tetap, menjadikan buruh tidak
tetap sebagai anggota serikat buruh. Keempatnya dilakukan melalui mekanisme
perundingan PKB (Perjanjian Kerja Bersama). Sampai pembentukkan serikat buruh outsourcing.
Respons yang muncul di tingkatan wilayah, aliansi-aliansi
serikat buruh tingkat cabang di Bekasi, Semarang, Tangerang, Batam, dan
Pekalongan, mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengeluarkan Surat Edaran,
Moratorium atau Peraturan Daerah (Perda), yang tujuannya melakukan pembatasan
dan penertiban penggunaan buruh outsourcing sesuai dengan aturan yang berlaku.
Selain itu, serikat buruh di Bekasi, Semarang, Depok, Batam, dan Tangerang,
masing-masing menuntut Pemda mengeluarkan peraturan yang dapat menertibkan dan
membatasi keberadaan yayasan penyalur tenaga kerja. Di Sukabumi, Koalisi Buruh
Sukabumi (KBS), melakukan sosialisasi tentang bahaya outsourcing di kelurahan-kelurahan. Di Pekalongan, Semarang dan
Batam, serikat buruh melakukan advokasi penambahan anggaran bagi Disnaker,
khususnya untuk kerja-kerja pengawasan. Dengan pemikiran, salah satu sumber
tidak berjalannya kinerja pengawasan dari Disnaker karena terbatasnya anggaran
pengawasan. Di Depok, muncul strategi di mana serikat buruh menuntut untuk
dilibatkan dalam kerja-kerja pengawasan, dengan menjadikan posisinya sebagai petugas
pengawas adhoc. Strategi ini berangkat dari kondisi lemahnya kinerja pengawasan
Disnaker, akibat tidak cukupnya jumlah petugas pengawas dan kurangnya pemahaman
mereka mengenai persoalan-persoalan ketenagakerjaan.
Di level nasional, selain melalui aksi-aksi besar
menuntut penghapusan sistem outsoucing,
seperti dalam setiap aksi May Day sejak 2006, dan gerakan aksi Hostum pada
2012. Muncul juga respons dalam bentuk judicial
review terhadap beberapa pasal pada UUK 13/2003, yang berhasil dilakukan
oleh FISBI (Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia), dan AP2ML (Aliansi
Petugas Pembaca Meteran Listik). Kesimpulan penulis sementara ini, dari beragam
aksi serikat buruh di level wilayah dan nasional yang terkonsentrasi pada
ruang-ruang kebijakan, dan pengawasan, belum terlihat efektivitasnya dalam
membendung semakin meluasnya penggunaan buruh outsourcing. Salah satunya karena tidak terhubungnya ruang-ruang kebijakan
tersebut, dengan pelaksanaan kebijakan di lapangan. Termasuk hasil judicial review mengenai pelaksanaan outsourcing, dengan dikeluarkannya
Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011, menjadi tidak efektif karena ketiadaan
peraturan pelaksana sebagai turunannya.[11]
Karena itu, aksi grebek pabrik sebagai salah satu bentuk dari kekuatan serikat buruh dalam menjadikan jalanan sebagai ruang
politik, dan arena penegakkan hukum, untuk sementara ini mampu menjadi jawaban
dari tidak efektifnya
berbagai respons tersebut. Amir Mahfuz, pengurus FSPMI, seperti
dikutip dalam tabloid Lembur (Lembaran Buruh), menyatakan bahwa sejak Mei hingga
Agustus tahun ini, telah ada ratusan ribu buruh tidak tetap yang diangkat
menjadi buruh tetap.[12]
Yanche, pengurus FKI-SPSI Bekasi, mengatakan kepada penulis, sudah ada lebih
dari 60 pabrik yang mengalami operasi penggerebekan pabrik oleh FKI, dan buruh-buruh
outsourcing-nya diangkat menjadi
buruh tetap. Walau tanpa dukungan angka yang pasti mengenai berapa jumlah buruh
outsourcing yang diangkat statusnya
menjadi buruh tetap, aksi grebek pabrik
dinilai lebih efektif dibanding respons-respons serikat buruh sebelumnya. Salah
satu kunci yang membuat strategi grebek
pabrik lebih efektif karena kemampuannya untuk menjangkau secara langsung
lokasi dimana pelanggaran penggunaan buruh outsourcing
berlangsung, tepat di pabrik itu sendiri.
Namun, justru tepat di situ aksi
grebekan pabrik telah membatasi jangkauannya untuk menuju penggunaan buruh outsourcing berbentuk pekerja rumahan (homebase workers). Kritik ini mungkin
tidak jelas letak signifikansinya. Tapi penulis menyampaikannya dengan harapan
agar aksi grebek pabrik sebagai
respon terhadap keberadaan pasar kerja fleksibel juga dapat menjangkau
keberadaan pekerja-pekerja rumahan, yang menerima order dari pabrik-pabrik di
sekitarnya. Dengan begini, aksi grebek
pabrik mungkin dapat dikombinasikan dengan berbagai strategi
pengorganisasian buruh berbasis komunitas.
Grebek Pabrik, Pelibatan Anggota dan Demokratisasi Pengetahuan
| Koleksi gambar Yayak Yatmaka | |
GREBEK PABRIK disadari atau tidak telah menjadi
kritik dan berhasil membongkar model penanganan kasus serikat buruh yang
legalistik, apolitis dan doktriner. Legalistik karena proses penanganan kasus seringkali
hanya merujuk pada pasal-pasal ketenagakerjaan, terjebak dalam logika dan
prosedur hukum. Untuk kemudian berkembang menjadi apolitis, karena penanganan
kasus tidak berusaha mengaitkan persoalan pelanggaran hak-hak buruh sebagai
sebuah perwujudan dari relasi kekuasaan yang timpang. Relasi kekuasaan yang
jauh lebih rumit dari sekedar mekanisme bipartit, tripartit, atau Pengadilan
Hubungan Industrial. Selanjutnya menjadi doktriner, karena praktik penanganan
kasus berjalan satu arah. Dari pengurus serikat yang dianggap paling memahami
seluk-beluk advokasi, kepada buruh yang tertimpa kasus yang dinilai tidak
mengetahui apapun. Model penanganan kasus seperti ini, enggan melakukan pelibatan
buruh yang tertimpa kasus, apalagi melibatkan sebanyak mungkin anggota, karena
dinilai tidak efektif dan merepotkan. Anggotapun hanya ditempatkan sebagai penonton.
Padahal model penanganan kasus seperti ini telah sekian lama menghalangi
serikat untuk memanfaatkan proses-proses penanganan kasus, sebagai bagian dari
penguatan serikat buruh, melalui pelibatan sebanyak mungkin anggota.
Grebek pabrik kembali memperlihatkan bagaimana penanganan kasus –dalam
konteks ini pengangkatan status buruh outsourcing
menjadi buruh tetap– dijadikan milik bersama. Walaupun sebagian peserta aksi
sama sekali tidak kenal dengan siapa yang sedang mereka advoksi dalam aksi
grebekan tersebut. Walaupun belum mengerti kasus seperti apa yang sedang
dihadapi. Justru dari situlah, grebek
pabrik dapat terus dikembangkan sebagai sarana pendidikan, implementasi
nyata nilai-nilai solidaritas, serta sarana untuk melakukan pengorganisasian.
Melalui aksi grebek pabrik yang terus
dikembangkan, siapapun yang terlibat bisa belajar lebih dekat bahwa tatanan
politik yang berlaku saat ini terus menerus mereproduksi ketidakadilan. Belajar
juga bahwa ketidakadilan haruslah dilawan bersama-sama, bukan hanya oleh mereka
dinilai paling mengerti hukum, dan di lakukan di Pengadilan, tapi oleh siapapu,
di segenap ruang politik sehari-hari. Termasuk di jalanan.
Karena itu, grebek pabrik dapat mendorong proses-proses penanganan kasus yang
lebih demokratis. Dimana setiap orang bisa terlibat dengan berbagai cara dalam
setiap prosesnya. Dalam grebek pabrik,
rumusan hukum, pasal-pasal terkait dan apapun yang disebut sebagai pendekatan
litigasi, pada akhirnya menjadi sekunder. Sebaliknya strategi di luar kerangka
legal (nonlitigasi) menjadi utama. Strategi aksi massa, solidaritas
antarpabrik, pelaksanaan mogok panjang, penutupan dan pendudukan pabrik,
penyanderaan manajemen. Termasuk strategi-strategi yang ditempuh untuk
menghasilkan tekanan politik terhadap pihak perusahaan, seperti menuntut
dikeluarkannya nota dinas oleh Bupati, melakukan aksi ke Kedutaan Besar asal
perusahaan, seperti dilakukan buruh PT. Toppan (Kedutaan Jepang), dan PT
Hanyungnux (Kedutaan Korea), mendatangi Komnas HAM, meminta rapat dengar
pendapat dengan DPR RI (PT. Panarub, GBSI), dan lain sebagainya. Selain telah
membuat penanganan kasus keluar dari jebakan kerangka hukum, dengan melihat
pada beberapa tingkatan secara lebih politis. Juga telah memperluas ruang-ruang
penanganan kasus, akses terhadap keadilan, dari sekedar ruang dan mekanisme
formal. Melalui aksi grebekan pabrik, serikat dapat mengajak anggotanya yang
terlibat untuk melihat kasus perburuhan, termasuk penggunaan buruh outsourcing
yang melanggar ketentuan hukum, terlahir dari sebuah sistem hubungan industrial
yang politis. Karenanya sejak awal dan sampai kapanpun, kasus perburuhan
merupakan persoalan politik. Dengan demikian selain mendorong demokratisasi-penanganan
kasus, memperluas ruang-ruang untuk mengakses keadilan, aksi grebek pabrik juga dapat dikembangkan untuk
mendorong politisasi.
Grebek pabrik jika terus dikembangkan, dapat mendorong perubahan-perubahan
mendasar di serikat buruh. Dengan menjadikan grebek pabrik sebagai ruang belajar, serikat telah melakukan
proses-proses demokratisasi pengetahuan. Sehingga tidak lagi menyerahkan
penanganan kasus kepada para ahli, yaitu pengurus serikat yang dinilai paling berpengalaman.
Salah satu momen yang berkesan bagi penulis adalah, ketika menyaksikan langsung
mogok di PT Toppan. Satu malam, di tenda yang hanya beratapkan terpal,
beralaskan tikar, dan didirikan di depan pabrik disebrang jalan yang berdebu,
pada malam hari peserta mogok yang berkumpul dari beberapa pabrik bersama-sama
menyaksikan film-film perjuangan. Siang harinya, beberapa buruh perempuan
pabrik PT Toppan, di sela-sela kekhawatirannya karena tidak kunjung ada titik
terang dari aksi mogok yang sudah berjalan lebih satu bulan, mereka yang
terancam kehilangan pekerjaannya, begitu ceria melakukan simulasi penanganan
kasus di depan gerbang pabrik. Penulis seperti melihat mereka sedang saling
menguatkan, saling mempertahankan optimisme, sambil melakukan pendidikan!
Merancang pendidikan dalam situasi mogok, dalam situasi darurat, bagi penulis adalah
suatu ikhtiar yang luar biasa untuk mendemokratisasikan pengetahuan. Pada aksi grebek pabrik PT. Hanyungnux, yang
berlarut-larut. Ketika penulis datang telah memasuki malam kesepuluh, anggota
serikat dari berbagai pabrik bergiliran datang. Di sela-sela dentum musik dari
mobil komando, suasana grebekan yang menjelma seperti pasar malam, di satu pojokan
dengan cahaya redup beberapa orang melingkar, mereka berdiskusi dengan sangat
serius, tentang bagaimana serikat buruh mereka ke depan. Dengan berbagi
kekhawatiran dan pengetahuan yang mungkin terbatas, mereka seperti menuntut
dirinya sendiri untuk ikut berpikir, menemukan berbagai rencana-rencana
perbaikan ke depan. Mereka yang di pojokan itu, usianya penulis kira tak ada
yang lebih dari 25 tahun. Mereka juga bukan pengurus, mereka adalah anggota
biasa yang dengan tekun melakukan aksi-aksi grebekan. Penuh kelelahan namun juga
penuh semangat.
Salah satu perbedaan mendasar antara
apa yang sering disebut sebagai ‘serikat buruh pengurus’ dan serikat buruh
demokratis, adalah jarak pengetahuan dan pemahaman tentang organisasi yang
dapat mendorong tingkat partisipasi anggota. Pada ‘serikat buruh pengurus’,
jarak pengetahuan antara pengurus dan anggota sangatlah lebar. Pengurus menjadi
subjek superior yang mahatahu. Sementara anggota adalah objek inferior yang
paling tidak tahu. Dari jarak pengetahuan ini, serikat buruh pengurus memposisikan
diri sebagi serikat buruh pelayanan. Dimana anggota hanya ditempatkan sebagai
pengguna jasa, hanya datang ke serikat ketika berkasus, itu pun ditangani secara
birokratis. Maka tidak heran jika partisipasi anggota dalam serikat buruh
menjadi sangat lemah. Strategi grebek
pabrik yang selama ini berjalan, dapat menjadi salah satu jawaban atas salah
satu persoalan paling fundamental dalam serikat buruh, yaitu terkonsentrasinya
pengetahuan di tangan para pengurus. Dengan cara mengembangkan grebek pabrik sebagai ruang untuk secara
terus-menerus berbagi pengetahuan.
Bertemunya pengalaman, pengetahuan,
kemarahan, militansi, dan solidaritas dapat membuat grebek pabrik terus berkembang dan melahirkan kekuatan-kekuatan
baru yang lebih besar lagi. Sesuatu yang penulis belum mampu bayangkan. Namun,
pengurus serikat buruh dapat memulainya dengan tidak menempatkan diri sebagai
subjek superior yang paling tahu dan berpengalaman dihadapan anggotanya. Kemudian
mulai menjadikan aksi grebek pabrik
sebagai ruang untuk berbagi pengetahuan dan bersolidaritas. Maka dengan
demikian, demokratisasi pengetahuan sebagai pondasi bagi politisasi serikat
buruh dapat terus tumbuh. Sementara itu grebek
pabrik dapat terus berkembang menjadi ruang-ruang transformasi kesadaran
bagi kelas buruh.
Pertanyaan Lanjutan
BAGIAN INI merupakan penutup sekaligus tempat penulis mengajukan pertanyaan
kepada pembaca. Grebek pabrik semakin menunjukkan, bahwa kekuatan
politik serikat buruh dapat ditelusuri pada kemampuannya
dalam menghadirkan politik akar rumput: melalui beragam kombinasi strategi
pengorganisasian dan mobilisasi massa. Hal ini telah membantu menaikkan posisi tawar serikat
buruh dalam kontestasi politik nasional. Ketika aksi-aksi boikot jalan tol dan
penolakan rencana kenaikan harga BBM, isu-isu perburuhan, khususnya upah dan
outsourcing, rasanya hanya bisa dikalahkan oleh isu korupsi. Beberapa pimpinan puncak
serikat buruh masuk media massa nasional. Berkat aksi mogok nasional 3 Oktober,
pimpinan serikat yang tergabung dalam MPBI diundang berdialog oleh menteri
ketenagakerjaan, dan menteri koordinator perekonomian. Aksi tersebut juga disiarkan
langsung oleh tv-tv swasta nasional. Pertanyaannya adalah: seberapa efektifkah
hubungan antara kekuatan politik akar rumput serikat buruh dengan kemampuannya
untuk mempengaruhi kontestasi politik elite? Apakah yang kita lihat di jalanan
saat ini, merupakan sebuah awalan dan karena dapat terus berkembang, seiring
berkembangnya kapasitas politik pimpinan serikat dan terus menguatnya politik
akar rumput serikat buruh?
Walaupun kekuatan serikat buruh di jalanan untuk mampu terhubung dan membawa perubahan-perubahan struktural dalam rezim hubungan
industrial saat ini masih
sebuah pertanyaan, kapasitas
mobilisasi serikat buruh sebagai subjek politik subversif di jalanan, telah
menunjukkan kemajuan yang penting bagi perkembangan gerakan buruh.
Berangkat dari kondisi-kondisi meningkatnya skala dan intensitas
mobilisasi serikat buruh, termasuk kemunculan strategi grebekan. Penulis ingin mengajukan tiga pertanyaan lanjutan:
1. Bagaimana menghubungkan antara kemampuan
serikat buruh dalam melakukan mobilisasi dan mengembangkan politik akar
rumput –politik dan penegakkan hukum jalanan– dengan struktur politik elite untuk
membawa perubahan-perubahan yang lebih struktural. Sekaligus dapat mempengaruhi posisi
politik serikat buruh dalam relasinya ketika berhadapan dengan negara dan pasar?
2. Grebek
pabrik yang
dimaknai sebagai aksi penegakkan hukum jalanan, merupakan respon dari situasi lemahnya penegakkan
hukum perburuhan. Dalam kerangka tersebut, pada awal dan perkembangannya, grebek pabrik terlihat masih memposisikan relasi perburuhan dan pasar kerja
fleksibel sebatas diskursus hukum. Sehingga menghindarkan
serikat buruh untuk melihat lebih jauh bagaimana di balik diskursus dan konstruksi hukum, serta bekerjanya pasar kerja fleksibel, terdapat logika kapitalisme. Ketidakjelasan dalam melihat relasi-relasi di
dalam kapitalisme
sebagai sebab dan penegakkan hukum yang lemah sebagai akibat, membuat serikat
buruh secara relatif belum dapat melihat
persoalan lemahnya penegakkan hukum sebagai sesuatu yang melekat dari strategi akumulasi kapital. Dalam
konteks tersebut, timbul pertanyaan
bagaimana membuat kerja-kerja pengorganisasian serikat buruh di akar rumput mampu secara
mendasar melampaui diskursus hukum, kemudian melihat kontradiksi kapitalisme dibalik rezim hubungan industrial yang
eksploitatif?
3. Pada tahap selanjutnya apa
yang harus dibangun oleh serikat buruh setelah aksi-aksi jalanan ini. Apa yang perlu dikembangkan
sehingga dari tahap mobilisasi, serikat buruh dapat beranjak pada pembangunan garis politik dan konstruksi ideologisnya?
[1] Siaran Pers
Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), 3 Oktober 2012.
[2] Angka tersebut merujuk
kepada data kepolisian yang dikutip oleh harian Gatra: http://www.gatra.com/nusantara/nasional/18638-mogok-nasional,-buruh-kepung-jakarta.html
[3] Angka 70% didapat
dari: http://megapolitan.kompas.com/read/2012/10/03/11225226/Kawasan.Industri.Dilumpuhkan
[5] Kisah perjuangan buruh PT.
Hero spk, Cibitung ini dikutip dari tulisan Sherr Rin (2012), Pembebasan Budak, Menyebar Benih-Benih Perlawanan, di http://spai-fspmi.or.id/pembebasan-budak-menyebar-benih-benih-perlawanan/
[6] Penulis sengaja tidak
menyebutkan identitas
narasumber untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan
[8] Angka perkiraan
ini didapat melalui wawancara dengan beberapa pengurus FKI
[10] Kasus Imas, hakim PHI
Bandung yang terbukti menerima suap dari pihak pengusaha dan dikenakan vonis
enam tahun penjara, merupakan salah satu contoh praktik penyuapan yang
terungkap dan diproses pengadilan
[11] Lebih jauh
mengenai Putusan MK tersebut, dan kritik atasnya, bisa dibaca di: Asep Mufti
(2012), Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011,
Status Quo atau Harapan Baik bagi Buruh? http://majalahsedane.net/
[12] Lembur, edisi 30,
Juni-Agustus, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar