(Kasus Outsourcing PT Hero Spk dan Arah Depan Perlawanan)
|  | 
| Aksi PUK PT Hero Spk SPAI-FSPMI di depan kantor Kemenakertrans I Foto: Emay S. | 
Setelah berjuang selama hampir satu bulan, buruh-buruh outsourcing PT Hero Supermarket, Cibitung, Kabupaten Bekasi, akhirnya mendapatkan kejelasan nasib dengan diangkatnya 270 buruh outsourcing  sebagai
 buruh tetap. Bukan perjuangan yang mudah bagi Pimpinan Unit Kerja (PUK)
 PT Hero Spk yang masih baru bergabung di Serikat Pekerja Aneka Industri
 – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPAI-FSPMI), apalagi dengan
 status outsourcing yang sudah di-PHK pula.. Selain itu, jarang sekali buruh outsourcing berani
 melawan perusahaan, mengingat status  yang tidak jelas serta nasib 
mereka berada di tangan perusahaan kontraktor atau subkontraktor tenaga 
kerja, bukan perusahaan induk.
Sempat di-PHK
Perlawanan
 dimulai karena manajemen PT Hero Spk melakukan pemutusan hubungan kerja
 (PHK) sepihak terhadap 514 buruh kontrak hanya lantaran tidak senang 
dengan perusahaan kontraktornya, PT Nurindo. Padahal rata-rata para 
buruh tersebut tersebut telah bekerja dengan masa 5 sampai 8 tahun tanpa
 kepastian jaminan sosial.
PT Hero Spk mempekerjakan buruh kontrak mulai dari bagian gudang hingga bagian penjualan. Hal ini jelas melanggar ketentuan outsourcing dalam
 UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan pasal 65 dan Keputusan Menteri 
(Kepmen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi, seperti Kep. 220/MEN/X/2004 
dimana dijelaskan bahwa outsourcing diperbolehkan hanya pada pekerjaan yang bukan pekerjaan utama (produksi langsung). Pekerjaan outsourcing meliputi cleaning service, kantin, antar jemput (dan delivery), security, dan pertambangan.
Untuk
 membujuk buruh agar tidak menuntut, PT Nurindo memberikan sogokan 
berupa Surat Keterangan Jaminan Hari Tua (JHT) agar buruh bisa mengambil
 JHT di Jamsostek. Sebagian buruh mengambil surat itu sehingga dari 514 
buruh PT Hero Spk yang berjuang, tersisa tinggal 270 buruh saja.
Menurut
 Sekretaris Pimpinan Pusat SPAI-FSPMI, Jamaludin Malik, perusahaan 
melakukan penipuan terhadap buruh. Pasalnya, buruh berhak mendapatkan 
JHT sekalipun tanpa surat keterangan JHT dari perusahaan. Setiap buruh 
yang sudah menjadi peserta Jamsostek selama sekurang-kurangnya lima 
tahun dan lalu di-PHK berhak atas JHT dari Jamsostek yang bisa diajukan 
dengan membawa kartu peserta Jamsostek dan surat PHK dari perusahaan.
Manajemen
 PT Hero Spk juga tidak kalah lihai, bahkan garang dalam menghalau aksi 
buruh. Pihak perusahaan mengerahkan massa dari serikat pekerja tingkat 
perusahaan yang bernama Serikat Pekerja PT Hero Supermarket (SPHS) untuk
 menjaga PT Hero Spk Cibitung. Jadi, pengusaha berusaha membenturkan 
antara buruh dengan sesama buruh. Demikian halnya dengan keberadaan 
buruh-buruh outsourcingyang menurunkan posisi tawar buruh di 
hadapan kapitalis (pemilik modal), karena buruh dipaksa bersaing dengan 
sesamanya dalam memperoleh pekerjaan.
Buruh
 tidak menyerah. Mereka melakukan aksi hingga ke PT Hero pusat di 
Jakarta dan ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 
(Kemenakertrans) pada 22 sampai 23 Mei, 2012. Selain memperjuangkan 
nasib buruh Hero, FSPMI/KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) 
juga mendesakkan tuntutan penghapusan outsourcing di Indonesia.
 Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) mendatangi 
Kemenakertrans dengan tuntutan yang sama, yakni penghapusan outsourcing. Dua mobil komando yang berbeda bergantian melakukan orasi di depan Kemenakertrans.
Pada
 23 Mei 2012, Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi mengeluarkan Nota 
Dinas yang mengintruksikan kepada PT Hero Spk Cibitung agar mengangkat 
status buruh outsourcing menjadi buruh tetap. Namun, pihak 
manajemen masih keras kepala dan mengatakan kepada pihak buruh bahwa 
pihak manajamen masih harus membicarakannya lagi, padahal Nota Dina situ
 tidak untuk dipertimbangkan tapi untuk dilaksanakan. Akibatnya, buruh 
Hero dan massa FSPMI yang bersolidarits melakukan aksi ke PT Hero dengan
 memblokade gudang Hero hingga barang tidak bisa keluar-masuk.
Aksi
 tersebut berlangsung sampai malam hari hingga PT Hero Spk mengabulkan 
tuntutan buruh. Penerimaan serikat terhadap keanggotaan buruh outsourcing, usaha perundingan dengan argumentasi yang kuat, dan tekanan massa yang solid,memungkinkan aksi buruh bisa menang.
Argumentasi yang dibangun untuk memperkarakan PT Hero adalah bahwa ketika PT Hero mempekerjakan buruh di core bisnis (pekerjaan utama), maka perjanjian (MoU) outsource antara PT Hero dengan PT Nurindo menjadi batal demi hukum, sehingga seharusnya buruh outsourcing sudah sejak lama diangkat menjadi buruh tetap. Dalam hal ini, PT Hero Spk sebagai pihak yang mempekerjakan buruh di core bisnis adalah pihak yang bertanggung jawab secara hukum.
Kemenangan PT Hero Spk adalah pelajaran penting bahwa buruh bisa melawan outsourcing, dan menang, meskipun masih terbatas di dalam lingkungan PT Hero, belum penghapusan outsourcing secara menyeluruh. Kasus ini adalah awal dari suatu gebrakan gerakan penghapusan outsourcing yang sangat mempengaruhi semangat perlawanan buruh, khususnya bagi buruh outsourcing di kawasan industri kota Bekasi, untuk berani memperjuangkan nasibnya menjadi lebih baik.
Bahaya Outsourcing 
Di saat kapitalisme selalu krisis secara periodik akibat dari watak dasarnya yang selalu berproduksi untuk
 persaingan bebas di pasar, sementara di sisi lain menghancurkan daya 
beli anggota masyarakat, maka kapitalis harus memperluas (ekspansi) 
modal ke mana-mana dalam bentuk produksi dan pasar, yang mengeruk 
sumberdaya alam negeri-negeri lain dan menghisap buruhnya. Dewasa ini, 
ideologi dan kebijakan perluasan kapital(isme) dikenal sebagai 
neoliberalisme. Selama 14 tahun terakhir, neoliberalisme sukses 
diadaptasi dalam  berbagai kebijakan Pemerintah Indonesia berkat 
terikatpada lembaga-lembaga donor yang menggelontorkan utang luar negeri
 kepada pemerintah.
Outsourcing merupakan
 bagian dari neoliberalisme dengan semangat pasar tenaga kerja yang 
fleksibel. Diharapkan investasi menjadi lebih mudah jika tenaga kerja 
(buruh) dipekerjakan dengan sistem tenaga kerja kontrak. Hak-hak buruh outsourcing dikurangi, sementara keuntungan (profit) pengusaha meningkat.
Ketentuan outsourcing
 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 pasal 56-59 dan pasal 
64-66; Kepmenakertrans No. Kep. 100/VI/2004; Kepmenakertrans No. 
Kep.101/MEN/IV/2004; Kepmenakertrans No. Kep.220/MEN/X/2004; 
Permenakertrans No. PER.22/MEN/IX/2009.Pemerintah memperbolehkan outsourcing dengan syarat pada pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi utama. Pekerjaan tersebut meliputi cleaning service, catering, satpam, antar-jemput/supir/kurir (delivery) dan pertambangan.
Faktanya,
 pekerjaan-pekerjaan tersebut berhubungan langsung dengan proses 
produksi utama. Bahkan proses produksi mustahil dilakukan jika pabrik 
tidak bersih, makanan siang tidak ada, pabrik tidak aman, dan supir 
antar-jemput tidak ada. Lebih celaka lagi, banyak perusahaan yang 
menentukan sendiri “pekerjaan utama” dan yang bukan utama. Sehingga 
buruh-buruh dengan status tidak jelas membanjiri pabrik dan mendesak 
buruh tetap.
Akibatnya, ada beberapa hal. Pertama, semakin
 banyak hak-hak buruh yang dirampas oleh pemilik modal. Semakin banyak 
bekerja, buruh tetap saja miskin. Tidak ada perlindungan dan jaminan 
sosial. Lebih parah jika buruh itu
 adalah perempuan, hak-hak maternitasnya sebagai hak ibu dan anak untuk 
melahirkan dan dilahirkan secara sehat, diabaikan. Tidak ada jaminan 
bagi hak-hak reproduksi perempuan, seperti cuti haid, melahirkan dan 
menyusui. Terjadi penurunan tingkat kesejahteraan ibu yang bekerja 
sebagai buruh outsourcing, sehingga tidak mampu merawat anaknya dengan layak.
Kedua, persaingan di antara sesama buruh semakin besar. Buruh outsourcing
 cenderung rela diupah murah tanpa jaminan, karena takut dipecat dan 
berharap diangkat menjadi buruh tetap. Sementara, buruh tetap, tidak 
menyadari bahaya yang mengancam. Semakin banyak pekerjaan di dalam 
pabrik yang dialihkan menjadi bukan pekerjaan utama (produksi), maka 
jumlah buruh tetap, semakin menurun. Jika buruh tetap, melawan, ia bisa 
dipecat dan dengan mudah digantikan oleh buruh outsourcing. Posisi tawar (bargaining) buruh tetap dan buruh secara keseluruhan di hadapan pengusaha dan pemerintah semakin melemah.
Ketiga, penurunan jumlah anggota serikat buruh. Buruh outsourcingtidak berani berserikat karena takut. Sementara, juga banyak serikat buruh yang memandang buruh outsourcing tidak perlu dijadikan anggota serikat, pun persentase jumlah buruh outsourcing semakin besar dari waktu ke waktu. Padahal
 UU tidak mensyaratkan bahwa anggota serikat harus buruh tetap  pada 
perusahaan yang menggunakan tenaga kerjanya (bukan di perusahaan yang 
menyalurkannya/yayasan).
Hasil penelitian International Federation of Chemical, Energy, Mine and General Workers Union (ICEM) di berbagai serikat buruh yang menjadi afiliasinya, tentang praktek kerja outsourcing, yang diterbitkan pada tahun 2004, menunjukkan banyak serikat buruh yang terlambat menyadari bahaya outsourcing. Perusahaan semakin menciutkan “pekerjaan utama” di pabrik hingga outsourcing merambah ke bagian operator. Saat serikat buruh sadar, mereka sudah kehilangan banyak anggota.
Sebetulnya, buruh outsourcing adalah
 barisan tenaga kerja cadangan yang siap menggantikan buruh tetap. 
Barisan tenaga kerja menjadi tiga lapis, yaitu buruh tetap, buruh outsourcing/kontrak dan pengangguran. Dengan perkembangnya permesinan, kapitalisme selalu menghasilkan
 tenaga kerja cadangan yang komposisinya semakin lebih besar daripada 
buruh yang sudah bekerja, sehingga harga buruh di pasar tenaga kerja 
semakin bersaing atau murah. Sayangnya, banyak pimpinan buruh kita yang 
tidak mengerti ekonomi politik dan sejarah masyarakat, sehingga 
terlambat menyadari perkembangan produksi kapitalisme.
Menuntut Penghapusan Outsourcing
Outsourcingbersifat diskriminatif dan merupakan bentuk perbudakan modern.
Sekretaris SPAI-FSPMI, Jamaludin Malik, mengatakan dalam orasinya bahwa yang harus dilakukan dalam melawan outsourcing adalah moratorium (penundaan, atau penghentian sementara) outsourcing; perusahaan yayasan outsourcing yang membayar upah di bawah Upah Minimum, tidak ada jaminan sosial tenaga kerja dan memberlakukan union busting harus dipidanakan, hingga; menuntut Peraturan Menteri mengenai pelarangan/penghapusan outsourcing.
Memidanakan pengusaha yang melanggar hak-hak normatif buruh   dan moratorium praktek outsourcing merupakan langkah awal menuju penghapusan outsourcing. Moratorium mengisyaratkan tidak adanya perusahaan (yayasan) dan buruh-buruh outsourcing baru. Dalam situasi belum adanya aturan hukum penghapusan outsourcing, maka buruh-buruh outsourcing
 memerlukan pertolongan “cepat”, yakni terpenuhinya hak-hak dasar mereka
 seperti upah minimum, jaminan sosial dan serikat buruh. Termasuk 
memperjuangkan buruh outsourcing agar diangkat menjadi buruh tetap pada perusahaan yang menggunakannya, bukan di perusahaan yan menyalurkannya. Dengan demikian, kekuatan serikat dan gerakan buruh dalam menuntut penghapusan outsourcing secara nasional semakin besar.
Sebelumnya, Januari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan outsourcing melanggar
 konstitusi atau inkonstitusional. Pasal 65 dan 66 UUK No. 13 tahun 2003
 bertentangan dengan  UUD 1945 Pasal 28D ayat 2 yang mengatur tentang 
perlakukan adil dan layak dalam hubungan kerja. 
Meskipun pemerintah yang diwakili oleh Kemenakertrans setuju bahwa outsourcing menyengsarakan buruh, tetapi,Juli nanti, Kemenakertrans hanya akan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur syarat-syarat kerja outsourcing yang lebih baik, bukan menghapuskan outsourcingsecara keseluruhan.
Perjuangan buruh menjadi lebih berat.
Rekomendasi:
- Menjadikan isu outsourcing sebagai salah satu perjuangan prioritas di tingkatan pabrik (PUK). Selama ini, isu outsourcing cenderung hanya dijadikan sebagai perjuangan di tingkatan federasi dan konfederasi.
- Serikat buruh harus menerima keanggotaan buruh outsourcing dan buruh kontrak, termasuk guru honorer. Mengenai hak dan kewajiban keanggotaan, seperti pembayaran iuran, pendidikan, dan sebagainya merupakan hal-hal teknis yang bisa diatur dalam konsolidasi.
- Buruh tetap harus bersatu dengan buruh outsourcing dalam menuntut penghapusan outsourcing maupun masalah lainnya. Apalagi jika kekuatan buruh tetap sebanding atau lebih kecil daripada buruh outsourcing. Pengalaman pembentukan serikat di PT Hero Spk, menunjukkan bahwa pihak Depnaker Bekasi awalnya menolak pencatatan serikat PUK PT Hero Spk SPAI-FSPMI, namun setelah dijelaskan bahwa pengurus PUK adalah buruh tetap, baru kemudian Depnaker menyetujui pencatatan tersebut. Olehnya, buruh-buruh tetap yang sudah berserikat pada perusahaan induk (yang mempekerjakan) harus menolong buruh outsourcing agar dapat bergabung dengan serikat pekerja di perusahaan yang mempekerjakannya (perusahaan induk).
- Pendidikan mengenai undang-undang alternatif (revisi) untuk menghapuskan outsourcing. Karena tidak mungkin menghapuskan outsourcing dengan peraturan menteri, sementara outsourcing dilegalkan oleh UU No. 13. Posisi UU lebih tinggi daripada Peraturan Menteri.
- Konsolidasi massa yang semakin besar untuk dikerahkan menuntut penghapusan outsourcing dengan menduduki kawasan-kawasan strategis, seperti kawasan industri, gedung pemerintahan dan sebagainya.
- Menggalang solidaritas kelompok lain, seperti mahasiswa (calon buruh), akademisi dan LSM untuk memperjuangkan penghapusan outsourcing.
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar