Mars FSPMI Kami buruh fspmi Berjuang di sini karena hati kami Bukan karena digaji atau ingin dipuji Kami berjuang karena hak asasi Kami buruh fspmi Siang malam tetap mengabdi Tak peduli hujan tak peduli panas Susah senang ya solidarity Reff: Di sini bukan tempat buruh malas Atau mereka yang biasa tidur pulas Di sini tempatnya para pejuang Yang berjuang dengan keikhlasan Lawan lawan lawan lawan lawan Lawan lawan lawan sampai menang Satu komando wujud kekompakan Sabar dan loyal itu kewajiban Sekuat mental baja sukarela berkorban Berjuang dalam satu barisan Solidarity forever Solidarity forever Solidarity forever For the union make us strong.

Selasa, 05 Maret 2013

POKOK-POKOK PIKIRAN KAJS – MPBI TENTANG TUNTUTAN REVISI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 101 TAHUN 2012 TENTANG PENERIMA BANTUAN IURAN DAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN


Presiden Republik Indonesia telah mengundangkan:
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Ba
ntuan Iuran pada tanggal 3 Desember 2012; dan
(2) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan pada tanggal 18 Januari 2013.

Kedua peraturan tersebut dibuat berdasarkan perintah dari UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), untuk menjalankan Jaminan Kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, tanpa diskriminasi, dan tanpa limitasi.


Dalam pembuatan kedua peraturan tersebut, patut diduga Presiden sedang dijerumuskan oleh para pembantunya, karena ternyata isi dari kedua peraturan tersebut banyak substansinya bertentangan dengan UU SJSN dan UU BPJS, dan sangat merugikan rakyat untuk mendapatkan pelayanan Jaminan Kesehatan.
Oleh karena itu, KAJS – MPBI menuntut Presiden untuk segera merevisi Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden dimaksud demi tegaknya jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dimanatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebagai bahan pertimbangan bagi Presiden, dengan ini kami sampaikan Pokok-Pokok Fikiran KAJS – MPBI mengenai usulan Revisi Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2012 dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2003, sebagai berikut:

I. PEMBENTUKAN PP DAN PERPRES MELANGGAR UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Pasal 96 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa, untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

• Kenyataannya, KAJS – MPBI sebagai kelompok masyarakat yang sangat peduli terhadap penegakan Jaminan Sosial dan secara rutin mengawal pembahasan RUU BPJS hingga terbentuknya UU BPJS, tidak sekali pun mendapatkan RPP PBI yang tengah dibahas oleh Pemerintah. Kami mendapatkan fakta bahwa, PP No. 101 tahun 2012 bertentangan dan atau meredusir UU SJSN dan UU BPJS.

• Ketika PERPRES No. 12 Tahun 2013 ini masih menjadi RAPERPRES tidak disosialiakan terlebih dahulu kepada masyarakat, dan ternyata substansinya bertentangan dan meredusir UU SJSN dan UU BPJS.

II. PP NO. 101 TAHUN 2012 DAN PERPRES NO. 12 TAHUN 2013 TIDAK MENYERTAKAN UNDANG-UNDANG TERKAIT.

1. Bagian Mengingat dalam PP No. 101 Tahun 2012 tidak menyertakan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

• Ketiga undang-undang tersebut penting untuk dimasukkan dalam bagian mengingat, karena PP ini terkait dengan fakir miskin, BPJS Kesehatan yang dibentuk dengan UU BPJS, dan untuk menentukan penghasilan untuk kebutuhan hiudp layak (KHL).
2. Bagian Mengingat dalam PERPRES No. 12 Tahun 2013 tidak menyertakan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, dan UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

• Kelima undang-undang tersebut penting untuk dimasukkan dalam bagian mengingat, karena PERPRES ini terkait dengan hak fakir miskin dan orang tidak mampu atas jaminan kesehatan, hak pekerja/buruh atas Jaminan kesehatan yang diatur dalam UU Jamsostek yang baru tidak berlaku pada 1 Juli 2015, hak pekerja/buruh atas jaminan sosial tidak terlepas dari UU Ketenagakerjaan, kewajiban pemerintah untuk meningkatkan dan mengadakan fasilitas kesehatan baik dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, dan tanggung jawab rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang baik kepada peserta jaminan kesehatan.

III. PP NO. 101 TAHUN 2012 DAN PERPRES NO. 12 TAHUN 2013 MEREDUSIR BADAN HUKUM BPJS.

Dalam Pasal 1 angka 8 PP PBI dan Pasal 1 angka 2 PERPRES Jaminan Kesehatan hanya dinyatakan bahwa BPJS adalah ‘Badan Hukum’ tanpa menulis secara lengkap ‘BADAN HUKUM PUBLIK’ sebagaimana tersebut dengan jelas dan tegas dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Dengan definisi tersebut, maka Pemerintah telah meredusir kedudukan hukum BPJS yang telah ditetapkan dalam UU BPJS. Patut diduga Pemerintah ingin menjadikan BPJS hanya sebagai badan hukum di bawah kementerian seperti PT Askes dan PT Jamsostek. Hal ini dapat dibuktikan dalam batang tubuh PP PBI maupun PEPRES Jaminan Kesehatan banyak ketentuan yang masih harus diatur dengan peraturan dan/atau ketentuan menteri. Padahal BPJS adalah Badan Hukum Publik yang kedudukannya langsung di bawah Presiden, dan karenanya berwenang mengatur segala sesuatu yang diperintahkan oleh undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan presiden.

IV. PP NO. 101 TAHUN 2012 DAN PERPRES NO. 12 TAHUN 2013 TERLALU BANYAK MEMBERIKAN KEWENANGAN KEPADA MENTERI

Dalam PP dan PERPRES terlalu banyak ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang belum diatur dalam PP maupun PERPRES. Padahal sudah sangat jelas dan tegas bahwa, BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang kedudukannya langsung di bawah Presiden, dan bukan di bawah Menteri.

• Karena itu, peran menteri untuk mengatur pelaksanaan Jaminan Kesehatan yang terdapat dalam PP dan PERPRES harus dikurangi. Karena penyelenggaraan Jaminan Kesehatan dalah tanggung jawab BPJS Kesehatan sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang.

V. KRITISASI SUBSTANSI PP NO. 101 TAHUN 2012

1. DEFINISI ORANG TIDAK MAMPU;
Pasal 1 angka 6 PP 101 mendefinisikan Orang Tidak Mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu membayar Iuran bagi dirinya dan keluarganya.

• Definisi tersebut tidak jelas dan tidak konkrit. Karena itu harus direvisi dengan yang lebih konkrit, yaitu:
“Orang Tidak Mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian dengan penghasilannya sama atau kurang dari ketentuan upah minimum yang berlaku di wilayah setempat.”

2. TIDAK ADA DEFINISI PEMERINTAH DAERAH;
PP No. 101 tidak mendefinisikan Pemerintah Daerah. Padahal, keterlibatan Pemerintah Daerah dari mulai Gubernur, Bupati/Walikota hingga tingkat Lurah diperlukan untuk melakukan verifikasi dan validari fakir miskin dan orang tidak mampu di wilayah setempat.

• Definisi Pemerintah harus dimasukkan dalam PP tentang PBI ini.

3. PENETAPAN KRITERIA DAN PENDATAAN FAKIR MISKIN DAN ORANG TIDAK MAMPU;
PP No. 101 memberikan wewenang kepada Meneri Sosial untuk menetapkan kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu dengan berkoordinasi dengan menteri dan/atau lembaga terkait, dan pendataannya diserahkan kepada pemerintahan di bidang urusan statistik.
Mengenai tugas penetetapan kriteria dan pendataan fakir miskin sudah sangat jelas dan tegas adalam merupakan tanggung jawab pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN tidak memerintahkan Pemerintah untuk mengatur penetapan kriteria dan pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu. Ada pun yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 14 ayat (3) UU SJSN adalah, siapa saja yang berhak menerima bantuan iuran dari negara melalui Pemerintah.

• Karena itu, yang harus diatur dengan Peraturan Pemerintah ini adalah mekanisme penyerahan data fakir miskin dan orang tidak mampu hasil sensus atau survey BPS (Badan Pusat Statistik) kepada Pemerintah Pusat atau Menteri Sosial. Kemudian Menteri menyerahkan data tersebut kepada Pemerintah Daerah untuk diverifikasi dan divalidasi. Hasil verifikasi dan validasi tersebut diserahkan kepada BPJS Kesehatan untuk ditetapkan sebagai Peserta PBI. Pentetapan tersebut selanjutnya diserahkan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan untuk mendapatkan iuran Peserta PBI secara rutin dari Pemerintah.

• Untuk itu, Bab II tetang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu, dan terkait dengan penetapan PBI dan pendaftaran PBI yang diatur dalam Bab III dan Bab I harus diubah sebagaimana mestinya, untuk memudahkan fakir miskin dan orang dan tidak mampu segera mendapatkan hak atas Jaminan Kesehatan pada tahun 2014 keseluruhannya.

4. HARUS TIDAK ADA SISA DANA IURAN PESERTA PBI ATAU SILPA;
PP No. 101 tidak mengatur dengan jelas mengenai Iuran untuk Peserta PBI. Padahal, sebagai akibat dari besarnya jumlah peserta fakir miskin dan orang tidak mampu maka besar pula iuran yang harus dibayarkan Pemerintah kepada BPJS Kesehatan secara rutin tanpa harus banyak jenjang yang harus dilalui untuk menjaga kesehatan keuangan BPJS Kesehatan, dan ketepatan waktu BPJS Kesehatan membayar kewajibannya kepada Fasilitas Kesehatan setiap bulan.
Berdasarkan Pasal 4 huruf h UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS vide Pasal 4 huruf h UU No. No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip DANA AMANAT, yaitu iuran dan hasil pengembangannya merupakan DANA TITIPAN dari Peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan Peserta Jaminan Sosial.

• Karena itu, harus diatur mengenai sisa dana Iuran Peserta PBI tidak boleh dijadikan sisa anggaran atau SILPA oleh Pemerintah.

• Harus juga diatur mengenai kewajiban Menteri Keuangan untuk membayar iuran Peserta PBI kepada BPJS secara rutin setiap bulan sesuai dengan jumlah Peserta PBI.

5. PESERTA JAMKESDA HARUS SERTA MERTA MENJADI PESERTA PBI PADA 1 JANUARI 2014;
PP No. 101 belum mengatur mengenai Peserta Jamkesda menjadi Peserta PBI pada 1 Januari 2014. Hal ini sangat perlu diatur dalam PP karena BPJS Kesehatan melayani seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.
Dengan diaturnya kepesertaan Jamkesda menjadi Peserta PBI, maka Pemerintah Pusat meminta Pemerintah Daerah untuk mengalihkan dana Jamskeda untuk memperbaiki dan/atau menambah fasilitas kesehatan hingga ke tingkat desa.
Jika kepesertaan Jamkesda tidak dialihkan ke BPJS Kesehatan, melanggar Prinsip Portabilitas. Selain itu, untuk menghapus istilah adanya Peserta Non BPJS Kesehatan.

VI. KRITISASI SUBSTANSI PERPRES NO. 12 TAHUN 2013

1. PERPRES TIDAK MENGATUR IURAN;
Ketentuan tentang Iuran Jaminan Kesehatan adalah bagian yang terintegrasi dengan pelayanan Jaminan Kesehatan yang diatur dalam Bagian Kedua (Jaminan Kesehatan) dari Bab VI tentang Program Jaminan Sosial.
Karena itu, ketentuan mengenai iuran tidak diatur tersendiri dengan Peraturan Presiden yang lain.

2. KEPESERTAAN SECARA BERTAHAP HARUS DIHAPUS;
Pasal 6 PERPRES No. 12 mengatur Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan dilakukan SECARA BERTAHAP sehingga mencakup seluruh penduduk. Tahap pertama mulai 1 Januari 2014 paling sedikit meliputi: [1] PBI jaminan kesehatan; [2] Anggota TNI/PNS di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya; [3] Anggota Polri/PNS di lingkungan Polri dan anggota keluarganya; [4] Peserta PT ASKES dan anggota keluarganya; dan [5] Peserta JPK PT JAMSOSTEK dan anggota keluarganya. Tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019.
UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS TIDAK MENGAMANATKAN kepada BPJS Kesehatan untuk melaksanakan Jaminan Kesehatan untuk seluruh penduduk Indonesia secara bertahap. Karena itu, pada prinsipnya Jaminan Kesehatan harus dilaksanakan 1 Januari 2014 untuk seluruh rakyat Indonesia.
Pentahapan yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU SJSN vide Pasal 15 ayat (1) UU BPJS adalah, kewajiban pemberi kerja untuk mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta secara bertahap kepada BPJS sesuai dengan program yang diikuti.
Pentahapan yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) UU SJSN berikut penjelasannya adalah, kewajiban Pemerintah mendaftarkan PBI sebagai peserta kepada BPJS, YANG DIAWALI DENGAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN.
Pentahapan yang dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dan ayat (5) UU SJSN adalah, kewajiban Pemerintah untuk membayar iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu, yang PADA TAHAP PERTAMA UNTUK PROGRAM JAMINAN KESEHATAN.
KAJS – MPBI tidak memungkiri bahwa untuk memproses pendaftaran Peserta Jaminan Kesehatan secara menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia diperlukan waktu yang cukup dengan batas waktu tertentu, tetapi tentunya tidak harus sampai tahun 2019 (5 tahun). Karena itu, ketentuan tersebut harus direvisi, sebagai berikut:

• Peserta dari ASKES, JPK JAMSOSTEK, Pelayanan Kesehatan TNI, Pelayanan Kesehatan POLRI, Jamkesmas dan Jamkesda otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2014.

• Mewajibkan PT ASKES dan PT JAMSOSTEK melakukan pendaftaran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk seluruh rakyat dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan presiden ini ditandatangani. Dalam melakukan pendaftaran tersebut, PT ASKES dan PT JAMSOSTEK berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Sosial, dan Pemerintah Daerah.

3. JENIS PELAYANAN KESEHATAN LAIN DALAM RAWAT INAP HARUS DIRINCI;
Pasal 22 ayat (1) huruf b angka 2c PERPRES No. 12 menyatakan bahwa, pelayan kesehatan lain dalam Rawap Inap ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Ketentuan yang terkait dengan masalah-masalah tehnis seperti ini adalah kewenangan BPJS Kesehatan sebagai badan publik yang independen. Karenanya tidak sepatutnya Menteri yang harus menetapkan.
Karena itu, pelayanan kesehatan selama Peserta di Rawat Inap harus dirinci secara jelas dalam PERPRES ini.

4. KETENTUAN TENTANG KOORDINASI MANFAAT HARUS DIHAPUS;
Pasal 27 ayat (2) PERPRES No. 12 mengatur dimungkinkannya BPJS Kesehatan dapat melakukan koordinasi dengan penyelenggara program asuransi kesehatan tambahan dalam memberikan Manfaat untuk Peserta Jaminan Kesehatan yang memiliki hak atas perlindungan program asuransi kesehatan tambahan.
Ketentuan ini HARUS DIHAPUS, karena akan membuka ruang terhadap BPJS Kesehatan tidak konsentrasi terhadap peserta yang menjadi tanggung jawabnya secara penuh.

5. PEMBERLAKUAN PERPRES HARUS SESUAI DENGAN TANGGAL DIUNDANGKAN;
Pasal 47 PERPRES No. 12 menyatakan bahwa, PERPRES mulai berlaku pada 1 Januari 2014.
Peraturan Presiden ini harus diberlakukan sejak tanggal diundangkan, agar pihak-pihak terkait dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan dan BPJS Kesehatan dapat segera melakukan langkah-langkah dan tindakan-tindakan sesuai perintah dari Perpres ini, sehingga tepat pada 1 Januari 2014 BPJS dapat beroperasi.
Demikian.






Jakarta, 25 Februari 2013
KOMITE AKSI JAMINAN SOSIAL – MAJELIS PEKERJA BURUH INDONESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar