Mars FSPMI Kami buruh fspmi Berjuang di sini karena hati kami Bukan karena digaji atau ingin dipuji Kami berjuang karena hak asasi Kami buruh fspmi Siang malam tetap mengabdi Tak peduli hujan tak peduli panas Susah senang ya solidarity Reff: Di sini bukan tempat buruh malas Atau mereka yang biasa tidur pulas Di sini tempatnya para pejuang Yang berjuang dengan keikhlasan Lawan lawan lawan lawan lawan Lawan lawan lawan sampai menang Satu komando wujud kekompakan Sabar dan loyal itu kewajiban Sekuat mental baja sukarela berkorban Berjuang dalam satu barisan Solidarity forever Solidarity forever Solidarity forever For the union make us strong.

Senin, 08 Oktober 2012

OMIH DAN PENEGAKKAN HUKUM



  “Hati-hati untuk yang didalam PDK, malam ini sedang dirakit bom untuk meledakan PDK esok hari.
Trek... jempol mungil dengan garis-garis agak kasar itu dengan cepat memencet tombol telepon genggam. Menyusuri gelombang elektromagnetik, menembus dinding, tembok, dan berlomba dengan hembusan angin. Pesan singkat alias SMS itu .... Terkirim... Terkirim... Terkirim... Terkirim... Terkirim... Terkirim... Terkirim... kepada lima orang temannya; Yani, Ita, Lestari, Eli Ratih, Patmini, Siti Nurjanah, dan Muria. Dan, dua orang petinggi PT Panarub Dwi Karya;  Edy Suyono selaku manajer Human Resource Departemen dan Guan An, sebagai manajer produksi.

     “Tidak ada niat yang sungguh-sungguh ketika pesan tersebut dikirimkan” kata perempuan asal Tangerang tersebut, seraya mengungkapkan bahwa SMS itu dikirimkan dalam situasi batin yang tertekan: kesal, emosi, dan  kecewa.


Dugaan Omih meleset seratus persen. Ia tak mengira kalau luapan kekesalannya akan mengantarkannya pada persoalan hukum kolonial. Ia menjadi saksi hukum yang tegas: tidak untuk dirinya yang lemah, tapi untuk yang memiliki uang. Beberapa jam setelah pesan itu terkirim, pihak perusahaan melaporkan Omih ke pihak berwajib, pada 14 September 2012. Tegas, sigap, dan cepat bertindak, aparat hukum memroses laporan perusahaan tersebut.

Atas dasar pelaporan tersebut kepolisian berusaha mencari Omih di kampung tempat tinggalnya. Omih dianggap melanggar hukum, karenanya patut dikenai sanksi. Ketua RT dan RW didatangi agar menyerahkan Omih. Isi kampung dibuat geger dengan kejadian itu. Di benak warga masyarakat berurusan dengan aparat kepolisian adalah di luar kewajaran, meski sering dikatakan bahwa aparat kepolisian pelindung dan pelayan masyarakat.  

Pelajaran sekolah boleh saja mengatakan, semua orang setara dalam hukum. Dalam kasus Omih, siapa yang melanggar hukum? Hukum itu untuk siapa?

Omih lahir pada 17 Maret 1984 sebagai anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Saanen dan Fatmawati. Terdaftar di PT Panarub Dwikarya di bagian assembling sebagai operator di Cell 4 dengan Nomor Induk Karyawan (NIK) 20090300460, pada 18 Maret 2009.

Sebenarnya, pilihannya untuk bekerja bukan perkara mudah. Kala itu, ia menyaksikan suaminya belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Sementara kebutuhan anaknya yang mulai menginjak umur satu tahun kian bertambah. Di bawah tekanan kultural dan dengan harapan mempertahankan kehidupan serta memberikan masa depan untuk anaknya, ia menitipkan anaknya kepada orangtua untuk pergi keluar rumah.

PT Panarub Dwi Karya (PDK) berdiri sejak 2006 dan mulai beroperasi pada 2007. Perusahaan yang dipimpin oleh Hendrik Sasmita ini memproduksi merek terkenal: Adidas, Mizuno, dan Specs. Perusahaan tersebut terletak di Jalan Benoa Raya Komplek Benoa Mas Blok B Nomor 1 Pabuaran Tumpeng Kota Tangerang Banten. Hingga saat ini, PDK mempekerjakan tidak kurang dari 2.560 orang buruh. 90 persen buruhnya adalah perempuan. PDK adalah salah satu bagian dari Panarub Grup, sesaudara dengan PT Panarub Industri, PT Panarub Dwikarya Benoa dan PT Panarub Dwikarya Cikupa.

Dalam beberapa tahun terakhir PDK menerapkan sistem baru, produksi line sistem (one piece flow). Sistem ini dioperasikan dengan mengurangi jumlah tenaga kerja tanpa mengurangi target, bahkan ditingkatkan hingga 140-150 pasang sepatu per jam. Pekerjaan yang harusnya dikerjakan dua orang, dipaksa untuk dilakukan oleh satu orang. Akibatnya, buruh semakin sulit untuk meninggalkan produksi meski sekadar melakukan hal-hal remeh. Seperti, izin ke kamar kecil, atau mengambil air minum, atau menjalankan ibadah salat. Akibat penerapan sistem tersebut, hak cuti tahunan pun dihilangkan tanpa penggantian. Akibat lanjutannya adalah, jika buruh tidak mencapai target yang telah ditetapkan akan menjadi sasaran amarah atasannya. Atasan akan memaki, membentak, atau membanting barang.

Berkenaan dengan sulitnya mendapatkan cuti, pada 2010, Omih mengajukan izin cuti dengan untuk merawat anaknya yang sedang sakit parah. Surat keterangan dari dokter pun ia perlihatkan kepada atasannya. Izin itu tidak dikabulkan. Akibatnya, “Sampai anak saya meninggal dunia, saya tetap tidak diberikan izin cuti.” Rupanya cita-cita mulia Omih untuk mempertahankan kehidupan dipandang sebelah mata oleh pemilik pabrik. Perusahaan hanya peduli dengan satu hal: keuntungan.

Sebelum bekerja, buruh diharuskan mengikuti meeting selama 10-15 menit sebelum melakukan pekerjaan, dan 10-20 menit setelah jam pulang. Tentu saja untuk diceramahi tentang target produksi. Ilusinya kurang lebih begini: jika perusahaan maju, buruh akan turut sejahtera. Entahlah, propaganda negatif itu terlalu sering dilontarkan dan tidak pernah terbukti. Yang terjadi adalah, perusahaan semakin maju, buruh semakin sengsara. Penambahan jam kerja itu tidak dihitung sebagai lembur.

***

BATIN OMIH terluka dengan kepergian anaknya. Sementara itu, pengangguran yang dialami oleh suaminya berbuah kebiasaan-kebiasaan buruk. Tak jarang Omih harus berhadapan dengan kekerasan. Pada 2011, Omih harus melewati situasi terberat dalam hidupnya, memutuskan perceraian dengan suaminya. Sering Omih berpikir bahwa pengangguran bukan sebuah pilihan, tapi keadaan yang diciptakan untuk menekan daya tawar buruh. Perusahaan membutuhkan orang-orang yang menganggur untuk menekan upah buruh. Jika buruh melawan, tinggal diganti oleh barisan penganggur yang melimpah di pasar tenaga kerja. Omih pun semakin pesimis dengan khotbah para ekonom yang mengatakan bahwa investasi asing akan memperluas kesempatan kerja. Buktinya, ketika investasi asing menyeruak semakin banyak orang kehilangan tanah dan menjadi pengangguran. Pabrik pun hanya bersedia merekrut tenaga kerja muda, perempuan, polos, dan enerjik.

Konsekuensi lain dari sistem one piece flow adalah pemangkasan sejumlah hak-hak buruh. Sejak 2007, jumlah pembayaran THR tidak berubah. Pada Februari 2012, 9 dari 11 pengurus serikat dipecat, dan pada tahun tersebut pula terjadi penangguhan upah yang tidak adil. Deretan persoalan itu belum menghitung perlakuan diskriminasi dan penghalangan akivitas berserikat, seperti kesulitan mendapatkan dispensasi.

Dengan tekanan-tekanan target produksi dan pelanggaran hak asasi buruh, pada Juli 2012, dua ribu buruh melakukan mogok spontan. Mereka menuntut uang rapelan Upah Minimum Kota/Upah Minimum Sektoral Kota 2012 untuk Januari-Maret 2012 yang tidak dibayarkan oleh perusahaan, menuntut kenaikan tunjangan hari raya, serta menuntut dipekerjakannya kembali Ketua dan Sekretaris serikat SBGTS yang di-PHK sepihak oleh pihak perusahaan. Omih terlibat di dalam pemogokan itu.

Perusahaan bersiasat. Orang-orang yang menuntut keadilan itu dibalas dengan pemecatan sepihak. Sebanyak 1.300 buruh dianggap mengundurkan diri dan tidak diperbolehkan masuk kerja.

Buruh tidak terima dengan tindakan sepihak tersebut. Tindakan perusahaan itu melanggar aturan. Mereka mengadu ke pejabat yang berwenang. Lagian, aturan pun menyebutkan, pemecatan hanya sah jika ada keputusan pengadilan. Artinya, meski perusahaan melarang masuk kerja, buruh masih berhak mendapatkan hak-haknya, karena terikat hubungan kerja. Rupanya aturan tersebut dilanggar juga.

Para buruh tak patah arang. Mereka berkali-kali melakukan mobilisasi aksi dan menuntut pertanggungjawaban perusahaan. Selama aksi berlangsung, perusahaan mengeluarkan siasat lain, yakni memecah kekuatan buruh. Perusahaan membujuk, jika buruh mengundurkan diri akan diterima bekerja lagi tanpa syarat. Sekali waktu, perusahaan membuat aksi tandingan dengan mengorganisasikan staf-staf perusahaan dan satuan pengamanan perusahaan.

***

HARI JUMAT, umat Islam menyebutnya sebagai sayyidulayyam, hari berhajinya bagi orang-orang miskin dan fakir. Tapi, tidak berlaku bagi orangtua dan saudara Omih. Bukan karena mereka orang kaya. Hari yang mulia itu, seolah sedang mengutuki keluarga miskin itu. Segerombolan orang yang sedang menunjukkan kekuasaannya; membentak disertai gerak tubuh yang menyeramkan. Tanpa memperkenalkan diri, apalagi menujukkan surat tugas, langsung menerobos kamar tidur Omih. Keluarga yang tak punya kekuasaan itu menggigil ketakutan. Gerombolan tak bernama itu mencari bom yang sedang dirakit Omih beserta pembuatnya, sebagaimana petunjuk dalam SMS. Malangnya, para penegak hukum itu tidak mendapatkan apa-apa. Omih tidak memiliki bahan-bahan untuk merakit bom. Apalagi menyimpan bomnya. Upah dan waktu Omih tidak akan cukup untuk membeli dan merakit barang tersebut.

Akhirnya, pada Sabtu, 29 September 2012, Omih menyerahkan diri di rumahnya dan diboyong ke Kantor Kepolisian Resort Tangerang. Omih pun dipaksa menanandatangani BAP, tanpa kehadiran kuasa hukumnya. Padahal telah diingatkan bahwa Omih memiliki kuasa hukum.

Omih dikenai Pasal 336 KUHP tentang pengancaman, dan Pasal 27 Ayat 4 junto 45 dan Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengirimkan pesan bermuatan ancaman. Per 1 Oktober 2012, perempuan bertubuh langsing itu mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, sebagai tahanan titipan Polresta Kota Tangerang.

Pasal-pasal pengancaman, pencemaran nama baik, penggelapan, dan perusakkan barang, semakin sering terdengar dalam dua tahun terakhir ini. Anehnya, yang dikenai pasal tersebut adalah orang-orang sekelas Omih. Ada kaum tani di perdesaan yang dikenai pasal tersebut karena mempertahankan tanahnya. Ada buruh-buruh dipinggir perkotaan  yang menuntut haknya kemudian dituduh mencemarkan nama baik sang majikan. Anehnya lagi, jika berurusan dengan orang-orang kecil tangan-tangan negara tak pandang bulu. Begitu tegas. Jika yang berurusan dengan hukum itu adalah pihak-pihak yang memiliki kekayaan berlebih, kasusnya bisa berlarut, bahkan bisa menguap.

Jika ditelusur lebih jauh, di zaman Kolonial Belanda, pasal-pasal kriminal dipergunakan untuk mematikan api perlawanan. Korbannya tak beda dengan keadaan sekarang: petani tak bertanah atau buruh. Di zaman Soeharto pun begitu. Di era Reformasi, hukum kolonial dibangkitkan lagi. Barangkali inilah salah satu penjelas bahwa kekayaan para konglomerat di Indonesia dan kekinclongan pertumbuhan ekonomi Indonesia, diraih dengan melakukan kriminalisasi dan perampasan hak asasi rakyat.

            Per 6 September, dengan jaminan sejumlah tokoh masyarakat seperti Ribka Tjiptaning, Budiman Sudjatmiko, Usman Hamid, Haris Azhar, Berry Nahdian Furqon, Arist Merdeka Sirait, Sunarti, dan Rudi HB Daman, penahanan Omih ditangguhkan. Proses hukum untuk Omih akan terus berlanjut. Setiap Senin dan Kamis, Omih dikenai wajib lapor. Katanya, untuk kepentingan pengawasan dan penyidikan. Untuk kepentingan siapa mengawasi dan menyidik Omih? ***

Tulisan ini didedikasikan bagi kaum tani dan buruh yang dikriminalisasi untuk kepentingan pemupukan kapital. Dan, bagi 1.300 buruh PDK yang masih berjuang mempertahankan haknya dari pemecatan sepihak.
------------
Rudy HB Daman Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Independen
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar