OMIH DAN PENEGAKKAN HUKUM
“Hati-hati
untuk yang didalam PDK, malam ini sedang dirakit bom untuk meledakan PDK esok
hari.“
Trek... jempol mungil dengan garis-garis agak
kasar itu dengan cepat memencet tombol telepon genggam. Menyusuri gelombang
elektromagnetik, menembus dinding, tembok, dan berlomba dengan hembusan angin. Pesan
singkat alias SMS itu .... Terkirim...
Terkirim... Terkirim... Terkirim... Terkirim... Terkirim... Terkirim... kepada
lima orang temannya; Yani, Ita, Lestari, Eli Ratih, Patmini, Siti Nurjanah, dan
Muria. Dan, dua orang petinggi PT Panarub Dwi Karya; Edy Suyono selaku manajer Human Resource
Departemen dan Guan An, sebagai manajer produksi.
“Tidak ada niat yang sungguh-sungguh ketika pesan tersebut
dikirimkan” kata perempuan
asal Tangerang tersebut, seraya mengungkapkan bahwa SMS itu dikirimkan dalam
situasi batin yang tertekan: kesal, emosi, dan
kecewa.
Dugaan Omih meleset seratus persen. Ia
tak mengira kalau luapan kekesalannya akan mengantarkannya pada persoalan hukum
kolonial. Ia menjadi saksi hukum yang tegas: tidak untuk dirinya yang lemah,
tapi untuk yang memiliki uang. Beberapa jam setelah pesan itu terkirim, pihak
perusahaan melaporkan Omih ke pihak berwajib, pada 14 September 2012. Tegas,
sigap, dan cepat bertindak, aparat hukum memroses laporan perusahaan tersebut.
Atas dasar pelaporan tersebut kepolisian berusaha mencari Omih di kampung tempat
tinggalnya. Omih dianggap
melanggar hukum, karenanya patut dikenai sanksi. Ketua RT dan RW didatangi agar menyerahkan Omih. Isi kampung dibuat geger dengan kejadian
itu. Di benak warga masyarakat berurusan dengan aparat kepolisian adalah di luar
kewajaran, meski sering dikatakan bahwa aparat kepolisian pelindung dan pelayan
masyarakat.
Pelajaran sekolah boleh saja mengatakan, semua orang
setara dalam hukum. Dalam kasus Omih, siapa yang melanggar hukum? Hukum itu
untuk siapa?
Omih lahir pada 17 Maret 1984 sebagai anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Saanen dan Fatmawati. Terdaftar di PT Panarub Dwikarya di bagian assembling sebagai operator di Cell 4 dengan Nomor Induk Karyawan (NIK)
20090300460, pada 18 Maret
2009.
Sebenarnya, pilihannya untuk bekerja
bukan perkara mudah. Kala itu, ia menyaksikan suaminya belum mendapatkan
pekerjaan yang layak. Sementara kebutuhan anaknya yang mulai menginjak umur
satu tahun kian bertambah. Di bawah tekanan kultural dan dengan harapan
mempertahankan kehidupan serta memberikan masa depan untuk anaknya, ia menitipkan
anaknya kepada orangtua untuk pergi keluar rumah.
PT Panarub Dwi Karya (PDK) berdiri sejak 2006 dan mulai
beroperasi pada 2007. Perusahaan yang dipimpin oleh Hendrik Sasmita ini
memproduksi merek terkenal: Adidas, Mizuno, dan Specs. Perusahaan tersebut terletak
di Jalan Benoa
Raya Komplek Benoa Mas Blok B Nomor 1
Pabuaran Tumpeng Kota Tangerang Banten. Hingga saat ini, PDK mempekerjakan tidak kurang dari
2.560 orang buruh. 90 persen buruhnya adalah perempuan. PDK adalah salah satu
bagian dari Panarub Grup, sesaudara dengan PT Panarub Industri, PT Panarub
Dwikarya Benoa dan PT Panarub Dwikarya Cikupa.
Dalam beberapa tahun terakhir PDK menerapkan sistem baru,
produksi line
sistem (one piece flow). Sistem ini dioperasikan dengan
mengurangi jumlah tenaga kerja tanpa mengurangi target, bahkan ditingkatkan hingga 140-150
pasang sepatu per jam. Pekerjaan yang
harusnya dikerjakan dua orang, dipaksa untuk dilakukan oleh satu orang.
Akibatnya, buruh semakin
sulit untuk meninggalkan produksi meski sekadar melakukan hal-hal remeh. Seperti, izin ke kamar kecil, atau mengambil air minum, atau menjalankan ibadah salat. Akibat penerapan sistem tersebut, hak cuti
tahunan pun dihilangkan tanpa penggantian. Akibat
lanjutannya adalah, jika buruh tidak mencapai target yang telah ditetapkan akan menjadi sasaran amarah atasannya. Atasan akan memaki,
membentak, atau membanting
barang.
Berkenaan dengan sulitnya mendapatkan cuti, pada 2010, Omih mengajukan izin cuti
dengan untuk merawat anaknya yang sedang sakit parah. Surat keterangan dari
dokter pun ia perlihatkan kepada atasannya. Izin itu tidak dikabulkan.
Akibatnya, “Sampai anak saya meninggal dunia, saya
tetap tidak diberikan izin cuti.” Rupanya
cita-cita mulia Omih untuk mempertahankan kehidupan dipandang sebelah mata oleh
pemilik pabrik. Perusahaan hanya peduli dengan satu hal: keuntungan.
Sebelum bekerja, buruh diharuskan mengikuti meeting selama 10-15 menit
sebelum melakukan pekerjaan, dan 10-20 menit setelah jam pulang. Tentu saja untuk
diceramahi tentang target produksi. Ilusinya kurang lebih begini: jika
perusahaan maju, buruh akan turut sejahtera. Entahlah, propaganda negatif itu
terlalu sering dilontarkan dan tidak pernah terbukti. Yang terjadi adalah,
perusahaan semakin maju, buruh semakin sengsara. Penambahan jam kerja itu tidak
dihitung sebagai lembur.
***
BATIN OMIH terluka dengan kepergian anaknya.
Sementara itu, pengangguran yang dialami oleh suaminya berbuah
kebiasaan-kebiasaan buruk. Tak jarang Omih harus berhadapan dengan kekerasan.
Pada 2011, Omih harus melewati situasi terberat dalam hidupnya, memutuskan perceraian
dengan suaminya. Sering Omih berpikir bahwa pengangguran bukan sebuah pilihan,
tapi keadaan yang diciptakan untuk menekan daya tawar buruh. Perusahaan
membutuhkan orang-orang yang menganggur untuk menekan upah buruh. Jika buruh
melawan, tinggal diganti oleh barisan penganggur yang melimpah di pasar tenaga
kerja. Omih pun semakin pesimis dengan khotbah para ekonom yang mengatakan
bahwa investasi asing akan memperluas kesempatan kerja. Buktinya, ketika
investasi asing menyeruak semakin banyak orang kehilangan tanah dan menjadi
pengangguran. Pabrik pun hanya bersedia merekrut tenaga kerja muda, perempuan, polos,
dan enerjik.
Konsekuensi lain dari sistem one piece flow adalah pemangkasan sejumlah hak-hak buruh.
Sejak 2007, jumlah pembayaran THR
tidak berubah. Pada Februari 2012, 9 dari 11 pengurus serikat dipecat, dan pada
tahun tersebut pula terjadi penangguhan upah yang tidak adil. Deretan persoalan
itu belum menghitung perlakuan diskriminasi dan penghalangan akivitas berserikat,
seperti kesulitan mendapatkan dispensasi.
Dengan tekanan-tekanan target produksi dan pelanggaran
hak asasi buruh, pada Juli 2012, dua ribu buruh melakukan mogok spontan. Mereka
menuntut uang rapelan Upah Minimum Kota/Upah Minimum Sektoral Kota 2012 untuk
Januari-Maret 2012 yang tidak dibayarkan oleh perusahaan, menuntut kenaikan tunjangan hari raya, serta menuntut dipekerjakannya kembali Ketua dan Sekretaris
serikat SBGTS yang di-PHK sepihak oleh pihak perusahaan. Omih terlibat di dalam pemogokan itu.
Perusahaan bersiasat. Orang-orang yang menuntut keadilan
itu dibalas dengan pemecatan sepihak. Sebanyak 1.300 buruh dianggap
mengundurkan diri dan tidak diperbolehkan masuk kerja.
Buruh tidak terima dengan tindakan sepihak tersebut. Tindakan
perusahaan itu melanggar aturan. Mereka mengadu ke pejabat yang berwenang. Lagian, aturan pun menyebutkan,
pemecatan hanya sah jika ada keputusan pengadilan. Artinya, meski perusahaan
melarang masuk kerja, buruh masih berhak mendapatkan hak-haknya, karena terikat
hubungan kerja. Rupanya aturan tersebut dilanggar juga.
Para buruh tak patah arang. Mereka berkali-kali melakukan
mobilisasi aksi dan menuntut pertanggungjawaban perusahaan. Selama aksi
berlangsung, perusahaan mengeluarkan siasat lain, yakni memecah kekuatan buruh.
Perusahaan membujuk, jika buruh mengundurkan diri akan diterima bekerja lagi tanpa
syarat. Sekali waktu, perusahaan membuat aksi tandingan dengan
mengorganisasikan staf-staf perusahaan dan satuan pengamanan perusahaan.
***
HARI JUMAT, umat Islam menyebutnya sebagai sayyidulayyam, hari berhajinya bagi
orang-orang miskin dan fakir. Tapi, tidak berlaku bagi orangtua dan saudara
Omih. Bukan karena mereka orang kaya. Hari yang mulia itu, seolah sedang
mengutuki keluarga miskin itu. Segerombolan orang yang sedang menunjukkan
kekuasaannya; membentak disertai gerak tubuh yang menyeramkan. Tanpa
memperkenalkan diri, apalagi menujukkan surat tugas, langsung menerobos kamar
tidur Omih. Keluarga yang tak punya kekuasaan itu menggigil ketakutan. Gerombolan
tak bernama itu mencari bom yang sedang dirakit Omih beserta pembuatnya,
sebagaimana petunjuk dalam SMS. Malangnya, para penegak hukum itu tidak
mendapatkan apa-apa. Omih tidak memiliki bahan-bahan untuk merakit bom. Apalagi
menyimpan bomnya. Upah dan waktu Omih tidak akan cukup untuk membeli dan
merakit barang tersebut.
Akhirnya, pada Sabtu, 29 September 2012, Omih menyerahkan diri di rumahnya dan diboyong ke Kantor Kepolisian Resort Tangerang. Omih pun dipaksa menanandatangani BAP,
tanpa kehadiran kuasa hukumnya. Padahal telah diingatkan bahwa Omih memiliki
kuasa hukum.
Omih dikenai Pasal 336 KUHP tentang pengancaman, dan
Pasal 27 Ayat 4 junto 45 dan Ayat 1
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengirimkan pesan bermuatan
ancaman. Per 1 Oktober 2012, perempuan bertubuh langsing itu mendekam di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Tangerang, sebagai tahanan titipan Polresta Kota
Tangerang.
Pasal-pasal pengancaman, pencemaran nama baik,
penggelapan, dan perusakkan barang, semakin sering terdengar dalam dua tahun
terakhir ini. Anehnya, yang dikenai pasal tersebut adalah orang-orang sekelas
Omih. Ada kaum tani di perdesaan yang dikenai pasal tersebut karena
mempertahankan tanahnya. Ada buruh-buruh dipinggir perkotaan yang menuntut haknya kemudian dituduh
mencemarkan nama baik sang majikan. Anehnya lagi, jika berurusan dengan
orang-orang kecil tangan-tangan negara tak pandang bulu. Begitu tegas. Jika
yang berurusan dengan hukum itu adalah pihak-pihak yang memiliki kekayaan
berlebih, kasusnya bisa berlarut, bahkan bisa menguap.
Jika ditelusur lebih jauh, di zaman Kolonial Belanda,
pasal-pasal kriminal dipergunakan untuk mematikan api perlawanan. Korbannya tak
beda dengan keadaan sekarang: petani tak bertanah atau buruh. Di zaman Soeharto
pun begitu. Di era Reformasi, hukum kolonial dibangkitkan lagi. Barangkali
inilah salah satu penjelas bahwa kekayaan para konglomerat di Indonesia dan
kekinclongan pertumbuhan ekonomi Indonesia, diraih dengan melakukan
kriminalisasi dan perampasan hak asasi rakyat.
Per 6
September, dengan jaminan sejumlah tokoh masyarakat seperti Ribka Tjiptaning,
Budiman Sudjatmiko, Usman Hamid, Haris Azhar, Berry Nahdian Furqon, Arist
Merdeka Sirait, Sunarti, dan Rudi HB Daman, penahanan Omih ditangguhkan. Proses
hukum untuk Omih akan terus berlanjut. Setiap Senin dan Kamis, Omih dikenai
wajib lapor. Katanya, untuk kepentingan pengawasan dan penyidikan. Untuk
kepentingan siapa mengawasi dan menyidik Omih? ***
Tulisan ini didedikasikan bagi kaum tani dan buruh yang
dikriminalisasi untuk kepentingan pemupukan kapital. Dan, bagi 1.300 buruh PDK
yang masih berjuang mempertahankan haknya dari pemecatan sepihak.
------------
Rudy HB Daman Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Independen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar