Marsen S. Naga
PENGANTAR
Akhir-akhir ini elemen gerakan buruh begitu disibukkan oleh urusan produk perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah. Sudah tidak terhitung berapa banyak aksi buruh berkaitan dengan penolakan atas 2 RUU yang hingga saat ini tidak jelas nasibnya, RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK) dan RUU Penyeleisaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Apa yang bisa dipelajari dari fakta ini?
Tulisan ini hendak mengajukan beberapa proposisi berikut. Pertama, hampir semua produk (instrumen) hukum baik yang secara langsung atau tidak langsung mengatur hubungan industrial menganut asumsi yang individualistik atau setidaknya mengandung logika hukum yang individualistik dan formalistik.
Kedua, elemen gerakan buruh (serikat buruh, LSM, akademisi) pada umumnya, sadar atau tidak, telah terkooptasi oleh pandangan bahwa perburuhan pertama-tama adalah masalah hukum, bahwa hukum adalah sarana terbaik untuk menciptakan relasi yang baik antara buruh dan majikan. Pandangan seperti ini menutup mata pada kenyataan bahwa banyak produk hukum tidak berbanding lurus dengan perbaikan hubungan industrial. Indonesia yang "overruled" (kebanyakan hukum) di bidang perburuhan, malah menuai hubungan industrial yang sangat buruk.
Ketiga, elemen gerakan buruh perlu meninjau ulang pandangan/keyakinan yang selama ini dipegang dalam memperjuangkan nasib buruh. Ini perlu agar semua elemen gerakan buruh tidak membuang tenaga sia-sia melainkan dapat
"berteriak di tempat yang benar dan meneriakkan tuntutan yang tepat". Uraian selanjutnya dimaksudkan sebagai usaha membuktikan proposisi yang diajukan.
SEJARAH HUKUM PERBURUHAN
Lahirnya hukum perburuhan terkait erat dengan Revolusi Industri yang terjadi di Eropa, khususnya di Inggris pada abad ke-19. Revolusi Industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap telah mengubah secara permanen hubungan buruh-majikan. Penemuan mesin juga telah mempermudah proses produksi.
Revolusi Industri menandai munculnya zaman mekanisasi yang tidak dikenal sebelumnya. Ciri utama mekanisasi ini adalah: hilangnya industri kecil, jumlah buruh yang bekerja di pabrik meningkat, anak-anak dan perempuan ikut diterjunkan ke pabrik dalam jumlah massal, kondisi kerja yang berbahaya dan tidak sehat, jam kerja panjang, upah yang sangat rendah, dan perumahan yang sangat buruk.
Keprihatinan utama yang mendasari lahirnya hukum perburuhan adalah buruknya kondisi kerja di mana buruh anak dan perempuan bekerja, terutama di pabrik tenun/tekstil dan pertambangan yang sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan diri mereka. Undang-undang perburuhan pertama muncul di Inggris tahun 1802, kemudian menyusul di Jerman dan Perancis tahun 1840, sedangkan di Belanda sesudah tahun 1870.
Substansi undang-undang pertama ini adalah jaminan perlindungan terhadap kesehatan kerja (health) dan keselamatan kerja (safety). Undang-undang perlindungan inilah yang menandai berawalnya hukum perburuhan.
Upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan pada kesehatan dan keselamatan kerja melalui hukum tidak berjalan dengan mulus. Karena saat berlangsung Revolusi Industri, teori sosial yang dominan adalah faham liberalisme dengan doktrin laissez-faire. Dalam doktrin ini negara tidak boleh melakukan intervensi ke dalam bidang ekonomi kecuali untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Konsep negara yang dominan waktu itu adalah Negara Penjaga Malam (the night-watchman-state). Karena itulah upaya pemerintah untuk melindungi buruh mendapat perlawanan keras dari kelompok pengusaha dan para intelektual pendukung laissez-faire, terutama Adam Smith. Mereka menuduh intervensi pemerintah melanggar kebebasan individual dalam melakukan aktifitas ekonomi dan kebebasan menjalin kontrak.
Pada saat yang sama, serikat-serikat buruh belum berkembang. Di sisi lain pengusaha juga masih bersikap anti serikat, tambah lagi, sistem hukum yang ada belum memungkin lahirnya serikat buruh. Sebagai contoh, hingga tahun 1825 di Inggris masih berlaku Undang-Undang Penggabungan (Combination Acts) yang menganggap ilegal semua aksi kolektif (collective action) untuk tujuan apapun. . Di Belanda, larangan untuk berorganisasi/berserikat (coalitie verbod) baru dihapus pada tahun 1872. Sejak penghapusan inilah buruh dapat melakukan konsolidasi dalam serikat-serikat buruh.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa hukum perburuhan yang melindungi buruh adalah hasil desakan para pembaharu di dalam maupun di luar parlemen. Secara perlahan, munculnya hukum perlindungan buruh merupakan bukti bahwa secara sosial doktrin laissez-faire mulai ditinggalkan atau setidaknya tidak lagi dapat diterapkan secara mutlak. Mulai muncul kesadaran bahwa negara harus intervensi dalam hubungan buruh-majikan.
Kesadaran baru ini ditandai dengan munculnya teori sosial yang ingin mengimbangi gagasan di balik doktrin laissez-faire. Misalnya, M. G. Rood berpendapat bahwa undang-undang perlindungan buruh merupakan contoh yang memperlihatkan ciri utama hukum sosial yang didasarkan pada teori ketidakseimbangan kompensasi. Teori ini bertitik-tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja dan penerima kerja ada ketidaksamaan kedudukan secara sosial-ekonomis. Penerima kerja sangat tergantung pada pemberi kerja. Maka hukum perburuhan memberi hak lebih banyak kepada pihak yang lemah daripada pihak yang kuat. Hukum bertindak "tidak sama" kepada masing-masing pihak dengan maksud agar terjadi suatu keseimbangan yang sesuai. Hal ini dipandang sebagai jawaban yang tepat terhadap rasa keadilan umum.
AKOMODASI BURUH - MAJIKAN - NEGARA DI ERA ORDE LAMA
Dibanding Korea, Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara pada umumnya, Indonesia adalah yang lebih awal mengeluarkan serangkaian hukum perburuhan yang dalam substansinya sangat pro-buruh. Ini dikeluarkan tidak lama sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Menilai undang-undang perburuhan yang dikeluarkan selama Orde Lama dan tidak dicabut selama Orde Baru, James Castle, ketua Kamar Dagang Amerika di Jakarta, mengatakan,
"Contrary to public perception, labor law in effect during the Suharto era was one of the most pro-labor sets of legislation in the region" [Bertentangan dengan persepsi umum, hukum perburuhan yang berlaku selama era Soeharto adalah salah satu paket perundangan yang paling pro-buruh di Asia].
Penilaian di atas tidak meleset jika melihat substansi undang-undang di bidang perburuhan yang muncul selama orde lama.
Memang secara historis harus diakui bahwa gerakan buruh di Indonesia awalnya merupakan bagian penting gerakan nasionalis Indonesia secara keseluruhan. Karena oleh penjajah Belanda dimusuhi dinilai berbahaya secara politis, serikat buruh memperlihatkan orientasi politik yang makin kuat dengan menganggap bahwa satu-satunya jalan keluar dari penindasan dan kemiskinan yang dialami kaum buruh Indonesia adalah dengan menumbangkan rejim kolonial.
Gagasan penghapusan segala bentuk penindasan dan eksploitasi menjadi ide yang menyatukan gerakan buruh dalam gerakan revolusi kemerdekaan. Kendati penjajah Belanda telah dihalau dengan Proklamasi Kemerdekaan, gagasan ini tetap menjadi isu besar yang hidup di gerakan buruh.
Sejak awal, Pemerintah di Indonesia dianggap bertugas untuk melindungi buruh, menjunjung tinggi hak-hak buruh dan mengusahakan kondisi kerja yang baik. Dianggap sudah pantas bahwa pemerintah berdiri di pihak buruh dalam perjuangan mereka melawan eksploitasi dan penindasan.
Konteks di atas inilah yang bisa menjelaskan model akomodasi buruh-majikan-pemerintah semasa Orde Lama yang terlihat dari paket perundang-undangan yang dikeluarkan, seperti: Undang-Undang Kecelakaan, UU No.33 tahun 1947; Undang-Undang Kerja, UU No. 12 tahun 1948; UU No. 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan; UU No. 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan; UU No. 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama; UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; dan UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Substansi semua undang-undang ini memperlihatkan bahwa posisi gerakan buruh cukup dominan secara politis selama Orde Lama. Selama Orde Lama, banyak pemimpin serikat buruh duduk di parlemen. Bahkan hingga tahun
1956 terdapat Fraksi Buruh khusus di Parlemen yang anggotanya terdiri dari para pemimpin SOBSI.
Hampir semua undang-undang perburuhan Orde Lama memang pro-buruh yang secara kental mengungkapkan kesadaran bahwa kaum buruh adalah sokoguru pembangunan. Akan tetapi, model akomodasi seperti ini tidak sempat menunjukkan hasil maksimalnya karena secara politis Orde Lama telah ditumbangkan oleh rejim Soeharto dan karena tak tersedianya birokrasi pendukung yang memadai.
Aspek lain yang dapat menjelaskan kegagalan model akomodasi Orde Lama ini adalah karena masalah perburuhan (hubungan industrial) sangat dipolitisasi, dipandang pertama-tama sebagai soal memenangkan kekuasaan di Parlemen. Dengan pandangan seperti itu, target serikat buruh waktu itu juga bersifat politis dalam arti berkolaborasi dengan partai politik dan menguasai proses pembuatan perundang-undangan di parlemen. Ini terbukti dengan keberhasilan buruh membentuk Fraksi Buruh di Parlemen.
Kelemahan utama asumsi seperti ini adalah keyakinan bahwa undang-undang akan menyelesaian hubungan buruh dan majikan yang pada dasarnya atau terutama berkarakter ekonomis. Masalah buruh dan majikan dipahami sebagai masalah hukum semata-mata. Semua energi dan tenaga diarahkan bukan untuk membangun saling percaya (mutual trust) antara buruh dan majikan. Selama periode ini, ketidakseimbangan sosial-ekonomis antara buruh dan majikan memang cukup disadari. Akan tetapi, intervensi pemerintah untuk menyeimbangkannya lewat undang-undang tidak disertai usaha-usaha administratif dan teknis yang komprehensif untuk menciptakan pengaturan bersama (collective regulation) bidang hubungan indutrial oleh buruh dan majikan melalui institusi perundingan kolektif yang stabil.
Akomodasi Buruh -Majikan - Negara dalam Rejim Orde Baru
Orde Baru diawali oleh peristiwa-peristiwa dramatis, khususnya pembantaian dan penghancuran elemen PKI tahun 1965, yang mengubah secara permanen konstelasi kekuatan politik dan berdampak secara mendalam atas nasib organisasi buruh. Pasca tahun 1965, posisi buruh lebih rendah daripada yang pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya.
Orde Baru memang mewarisi kondisi ekonomi yang porak-poranda. Karena itu, salah satu tugas utama yang diemban oleh Orde Baru di bawah komando Soeharto adalah menggerakkan kembali roda ekonomi. Tujuan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor paling penting untuk menjelaskan kebijakan perburuhan Orde Baru. Rejim Soeharto menerapkan strategi modernisasi difensif (defensive modernisation) dimana penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.
Disamping pendekatan ekonomis ini, Vedi Hadiz menunjuk aspek lain yang sama pentingnya dalam kebijakan perburuhan Orde Baru, yaitu pertimbangan-pertimbangan politik yang mendasarinya. Agenda utama rejim Orde Baru yang didominasi oleh militer adalah mencegah kebangkitan kembali gerakan berbasis massa yang cenderung radikal., seperti gerakan buruh yang terlihat selama Orde Lama. Jadi, motif utama Orde Baru sejak awal adalah kontrol terhadap semua jenis organisasi yang berbasis massa, entah partai politik maupun serikat buruh yang dianggap penyebab kerapuhan dan kehancuran Orde Lama.
Menurut Vedi, kendatipun stabilitas diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, kontrol politik penguasa terhadap buruh terutama dimaksudkan untuk menghapuskan pengaruh aliran Kiri dari gerakan buruh dan arena politik secara luas. Ciri utama akomodasi buruh-majikan-negara selama Orde Baru adalah kontrol negara yang sangat kuat atas organisasi buruh dan pengingkaran terus-menerus kelas buruh sebagai kekuatan sosial.
Kondisi perburuhan di Indonesia selama Orde Baru dapat dijelaskan dalam terang model akomodasi di atas. Kontrol negara terhadap serikat buruh berlangsung terus-menerus dengan dukungan militer. Kontrol itu mengalami penguatan signifikan sejak dekade 1980 bersamaan dengan berakhirnya era boom minyak dan pemerintah harus mengarahkan industri ke orientasi ekspor. Pada periode ini, pendekatan militeristik atas bidang perburuhan menjadi semakin kuat dengan diangkatnya Laksamana Soedomo menjadi Menteri Tenaga Kerja. Salah satu contoh paling tragis pengendalian buruh yang militeristik adalah kasus Marsinah yang hingga kini masih menjadi misteri. Selain sebagai alat kontrol di tangan rejim orde baru untuk meredam gerakan massa buruh yang kuat, militer juga telah menjadi pelaku utama dalam bisnis sejak tahun 1958, suatu peran yang hingga saat ini dipertahankannya.
James Castle menilai bahwa hubungan industrial selama 30 tahun di bawah Orde Baru ditandai oleh kontrol pusat yang otoriter, saling curiga, dan bahkan kebrutalan.
INTRUSI PAHAM LIBERALISME Dalam HUKUM PERBURUHAN
Sejarah kelahirannya telah memperlihatkan bahwa hukum perburuhan adalah suatu pengecualian darurat dari doktrin utama karena memuat campur tangan negara ke dalam hubungan yang seharusnya merupakan kebebasan para pihak, yaitu buruh dan majikan. Hukum perburuhan adalah perjuangan politis untuk menegaskan bahwa paham liberalisme dengan doktrin laissez-faire tidak dapat diterapkan secara mutlak. Dari sini sebenarnya sudah terlihat bahwa hukum perburuhan senantiasa dalam bahaya intrusi paham liberalisme yang menganggap hukum perburuhan sebagai intervensi atau diskriminasi yang melemahkan perekonomian karena melanggar doktrin laissez-faire.
Bahaya intrusi ini semakin besar lagi jika hubungan antara majikan dan buruh dipahami semata-mata atau terutama merupakan hubungan hukum, jika pemerintah atau siapapun berpikir bahwa cara terbaik "membina" atau "mendisplinkan" buruh dan majikan adalah melalui hukum.
Hukum modern berdiri di atas kejayaan liberalisme. Sejarah panjang hukum sejak abad Kegelapan (Dark Ages), Renaisance hingga abad modern memperlihatkan jejak yang menuju : pembebasan individu. Hukum modern adalah sarana perlindungan individu. Hukum modern memang didasarkan para asumsi-asumsi yang individualistik. Ia mematok secara ketat berbagai rambu-rambu untuk melindungi kemerdekaan individu. Sistem hukum yang liberal ini kadang dinilai mengabaikan keadilan demi melindungi kemerdekaan individu. Logika dasar hukum modern menegaskan bahwa hukum hanya bergerak dalam ruang lingkup hubungan antar individu.
Hukum modern juga memiliki ciri khas yang tidak ada sebelumnya. Hukum modern mengharuskan struktur, format dan prosedur yang kaku (rigid). Ia menuntut birokrasi dan cara berpikir yang khas. Dibutuhkan orang dengan pendidikan khusus untuk mengetahui seluk beluk hukum modern. Hukum menjadi wilayah esoterik yang tidak bisa ditangani oleh sembarang orang. Para ahli/sarjana hukum dan pengacara saja yang bisa bermain dengan hukum. Dalam alam hukum modern, sering terjadi bahwa formalitas dan prosedur dapat menghilangkan keadilan yang substansial.
Hukum perburuhan tidak bisa lepas dari kepungan logika dasar hukum modern yang formalistik dan individualistik itu. Tantangan abadi hukum perburuhan adalah bagaimana mengesampingkan logika dasar hukum dalam pengaturan hubungan buruh dan majikan yang memang tidak seimbang secara sosial-ekonomis. Ada contoh model akomodasi buruh-majikan-negara dimana negara tidak pertama-tama melakukan intervensi dengan memaksakan aturan hukum kepada buruh dan majikan. Kita lihat alternatif ini.
AKOMODASI BURUH-MAJIKAN-NEGARA: SEBUAH ALTERNATIF
Menilai hubungan antara hukum dan institusi hukum di satu pihak dan institusi hubungan industrial di lain pihak, Otto Kahn-Freund menunjuk ciri khas yang terjadi di Inggris dengan mengatakan,
"There is, perhaps, no major country in the world in which the law has played a less significant role in the shaping of [labour-management] relations than in Great Britain and in which today the law and the legal profession have less to do with labour relations."
Kahn-Freund mengatakan dua hal yang sejalan. Pertama, Inggrislah negara dimana hukum paling kecil perannya dalam mengatur hubungan buruh dan majikan. Kedua, sejalan dengan yang pertama, di sana juga institusi hukum dan profesi hukum makin tidak berperan dalam hubungan industrial.
Pertanyaan yang langsung muncul adalah: lalu dengan apa dunia kerja/hubungan buruh-majikan mesti diatur? Apakah negara lepas tangan dari urusan hubungan industrial dan tidak melindungi buruh?
Hubungan buruh majikan diatur dengan mekanisme dan prosedur-prosedur yang diciptakan, bukan oleh negara, tetapi oleh buruh dan majikan terutama melalui institusi/lembaga perundingan bersama/kolektif.
Seperti terlihat dalam sejarah, Inggris memiliki hukum perburuhan sebagai hasil proses politik yang panjang. Akan tetapi, hukum perburuhan di Inggris bukan hukum yang berpretensi ingin mengatur segala seluk beluk hubungan buruh dan majikan dengan sanksi legal yang kaku.
Pemerintah Inggris menganut doktrin laissez-faire kolektif (collective laissez-faire) dalam bidang hubungan industrial. Doktrin ini menekankan bahwa negara bertugas menyediakan fasilitas/memfasilitasi kedua belah pihak untuk bersepakat lewat perundingan, bukannya intervensi dengan memaksakan suatu penyelesaian melalui hukum. Sedapat mungkin hukum dijauhkan dari hubungan industrial dan para pihak didorong untuk menciptakan sanksi-sanksi non-legal di antara mereka.
Doktrin collective laissez-faire adalah suatu pendekatan yang cukup cemerlang setidaknya dari segi gagasan. Dalam doktrin itu diakui bahwa secara alamiah kekuatan majikan lebih besar dari kekuatan buruh. Oleh karena itu, hanya jika buruh didorong untuk bersatu mereka akan memiliki kekuatan untuk berhadapan dengan majikan. Pada saat yang sama disadari bahwa hukum bukan alat intervensi yang tepat untuk mencapai kesetaraan itu. Dari perspektif hukum, pengaturan hidup sosial yang didasarkan pada organisasi kolektif buruh adalah hal yang paling sulit diakomodasi.
Di sini ada ketegangan antara tuntutan keadilan sosial menyangkut hubungan buruh dan majikan di satu pihak dan semangat dan logika hukum di lain pihak. Sistem perundingan kolektif didasarkan pada keseimbangan kekuatan kolektif antara managemen dan serikat buruh. Akan tetapi, hukum sama sekali tidak mengenal konsep keseimbangan kekuatan kolektif. Hukum didasarkan pada keyakinan tentang kesetaraan individu, seperti misalnya ditegaskan dalam prinsip "bahwa setiap orang sama kedudukannya di hadapan hukum".
Prinsip hukum ini inheren dalam semua produk legislasi
dan karena itu tidak bisa dilenyapkan sama sekali melalui proses
legislasi apapun. Oleh karena itu, inheren juga resiko bahwa
perkembangan/perubahan hukum apapun (terutama hukum perburuhan) akan
menempatkan organisasi kolektif buruh dalam bahaya. Mengingat hal ini,
maka yang muncul di Inggris dalam bidang hubungan industrial adalah
serangkaian perundangan negatif (negative statutes) yang berupaya
mengesampingkan doktrin hukum dari bidang hubungan industrial.
Peran negara dalam mendorong terwujudnya ketenangan industrial adalah melakukan tindakan-tindakan adminstratif dan teknis, menyediakan fasilitas sedemikian rupa sehingga buruh dan majikan dapat sejajar dalam perundingan. Hukum perburuhan yang dikeluarkan negara bersifat promosional bagi lahirnya lembaga perundingan kolektif yang stabil.
Mengakhiri analisisnya, McCarthy mengatakan,
"It could be said that in the field of industrial relations success is likely to be much more closely correlated with a readiness to determine priorities, combined with a willingness to act, to investigate, to establish services and to provide the means whereby solutions can be found."
Dalam konsepsi ini pemerintah memang harus memiliki kebijakan perburuhan yang aktif yang didasarkan pada pandangan yang komprehensif tentang masalah perburuhan.
TANTANGAN BAGI GERAKAN BURUH
Uraian di atas menawarkan refleksi bagi gerakan buruh ke depan terutama dalam rangka gerakan buruh vis-à-vis negara. Peran negara dalam bidang perburuhan memang harus berubah, tetapi tidak pernah berkurang. Negara harus bertindak aktif di bidang hubungan industrial tetapi tidak lewat produk hukum yang rigid dan memaksa.
Hukum perburuhan memang berawal dari kesadaran akan ketidakseimbangan sosial-ekonomis antara-buruh dan majikan. Namun harus diakui bahwa logika yang dianut hukum perburuhan merupakan penyimpangan dari logika hukum mainstream (arus utama).
Menerapkan hukum dari luar untuk mengatur segala aspek hubungan perburuhan akan merugikan dari 2 aspek. Pertama, hukum seperti itu akan cenderung semakin rumit sementara ia melupakan tugas utamanya di bidang perburuhan, yaitu mendorong munculnya kekuatan kolektif buruh untuk mengimbangi kekuatan kolektif majikan. Kedua, dalam prakteknya, hukum cenderung menjadi kaku dengan prosedur dan cara berpikir legalistik yang sulit dikuasai oleh buruh pada umumnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar