Jumat, 19 Juli 2013
Relasi Buruh-Majikan-Negara Hari Ini
Berbicara mengenai buruh haruslah diawali dengan logika relasi yang terjadi antara buruh dan majikan. Dalam relasi buruh-majikan, posisi buruh selalu subordinatif terhadap majikan. Hal ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan kekuasaan ekonomi yang selanjutnya memunculkan ketidakseimbangan dalam kekuasaan politik.
Secara sosiologis buruh bukanlah sebuah kelas yang bebas. Buruh tidak memiliki alat-alat produksi, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya buruh hanya bisa menjual tenaganya kepada pemilik alat-alat produksi (majikan). Dan selanjutnya, majikanlah yang bebas menentukan syarat-syarat kerja.
Di bawah kondisi-kondisi material kapitalisme hari ini, buruh dieksploitasi oleh pengusaha dengan alasan tunggal, yakni profit. Dan untuk maksimalisasi profit, korelasi langsung dengan pemotongan biaya produksi akan terjadi. Oleh karena itu, majikan akan berusaha terus untuk meningkatkan produktifitas buruh dengan membuatnya bekerja lebih keras dan lebih lama untuk memacu pendapatan sang pengusaha. Begitulah logikanya.
Eksploitasi dan penindasan adalah fakta sosiologis dalam masyarakat kapitalis. Ini adalah kenyataan yang akan terus terjadi selama sistem belum berganti. Karena dalam masyarakat kapitalis, proletariat, atau kaum buruh, tidak memiliki akses ke sarana produksi mereka sendiri. Ini artinya tidak ada pilihan lain bagi buruh kecuali menyerahkan hidupnya untuk memperkaya sang pengusaha hanya untuk kelangsungan hidupnya. Kenyataan yang sungguh tragis.
Dalam berbagai kasus buruh, tawar-menawar antara pengusaha dan buruh, melalui serikat-serikat buruh, sudah sering terjadi. Misalnya tuntutan mengenai kondisi kerja yang lebih baik, jam kerja yang pendek, dan upah yang sesuai UMK. Meskipun proses tawar-menawar ini tidak hanya dilakukan di meja perundingan, tetapi juga melalui pemogokan, tetapi ini tidak mengubah relasi dasar antara buruh dan majikan. Dalam beberapa kasus, memang, beberapa pengusaha terpaksa mengakui dan memenuhi beberapa tuntutan dari buruh, tetapi sang pengusaha tetap saja bisa menemukan obat yang mujarab untuk melanjutkan eksploitasinya atas kelas buruh. Buruh bisa memperoleh jam kerja yang lebih pendek dan upah yang sesuai UMK namun mereka dipaksa untuk bekerja lebih keras dan lebih produktif, tanpa peningkatan upah. Akhirnya, buruh rela terampas kehidupannya demi bisa bertahan hidup. Buruh dieksploitasi ke titik di mana tenaga kerja mereka menjadi sejajar dengan komoditas lain. Seperti bahan baku atau mesin. Buruh tak pernah dihargai sebagai manusia — sebagai sesuatu yang punya jiwa, rasa, cinta, tangis, resah, sedih, harga diri, dll.
Bagaimana peran serikat-serikat buruh dalam menangani persoalan-persoalan buruh?
Meskipun saat ini banyak serikat buruh baru bermunculan, tetapi belum ada organisasi buruh tingkat lokal maupun nasional yang mampu mengintervensi kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai perburuhan. Lemahnya pengaruh organisasi-organisasi buruh ini terlihat saat berbagai macam bentuk undang-undang perburuhan tetap berpihak kepada pemilik modal. Gambaran nyata mengenai lemahnya posisi serikat-serikat buruh di Indonesia terlihat saat ancaman yang dilayangkan para investor Korea Selatan dan Jepang, bahwa kelak ‘modal mereka akan hengkang’ dari Indonesia. Ancaman tersebut membuat takut para pejabat pemerintah dan menanggapi hal ini dengan mengerem kenaikan upah buruh serta mengontrol serikat buruh. Dan serikat-serikat buruh tak bisa berbuat apa-apa.
Berdasarkan realitas dari hubungan subordinatif tersebut, peran negara sangat diperlukan. Kebijakan negara tentang perburuhan harus mengandungi dua kategori prinsipal, yakni menyangkut hak ekonomi dan hak politik buruh. Hak ekonomi buruh diartikan sebagai peraturan-peraturan yang menyangkut kesejahteraan secara langsung bagi buruh, yakni upah layak, jaminan kesehatan, keamanan, dll. Sementara hak politik diartikan sebagai peraturan-peraturan dalam berserikat, yakni hak untuk berserikat itu sendiri, hak untuk melakukan perundingan, dan hak mogok. Tetapi kenyataannya sampai hari ini negara, lewat UU perburuhannya, yang diharapkan mampu menjadi “kekuatan adil” justru lebih berpihak kepada kepentingan pemilik modal. Persekutuan erat dan vulgar antara kepentingan negara dan kepentingan pemilik modal ini semakin menyudutkan posisi buruh.
Tetapi, pemberian hak-hak ekonomik dan politik terhadap buruh yang parsial tetap masih akan menyisakan persoalan-persoalan bagi buruh. Parsial secara ekonomik berarti hak-hak yang diberikan masih pada level normatif, dan parsial secara politik berarti hak-hak yang diberikan atau yang dicapai masih sebatas kebebasan berserikat. Oleh sebab itu, capaian kualitatif dalam penyelesaian harus diusahakan. Dan penyelesaian ini harus mengandungi visi dan nilai yang besar, yaitu terbangunnya kekuasaan politik buruh.
Membangun visi dan nilai ideologis yang besar tersebut bukanlah hal yang mudah. Butuh waktu lama, program yang jelas, dan metodologi yang tepat. Seperti kemenangan buruh di Rusia tahun 1917, dan kemudian berdiri negara buruh pertama di dunia, melalui tahapan proses yang panjang. Bolshevik sebagai wadah politik buruh saat itu, mendidik aktivis-aktivis buruhnya secara disiplin, militan, dan revolusioner. Ini menunjukkan bahwa perubahan besar yang menyeluruh harus dilakukan di bawah basis material yang matang secara politik, ideologi, dan organisasional.
Untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan pembebasan buruh, para organiser buruh harus mampu menganalisa faktor-faktor obyektif dan subyektifnya. Faktor-faktor obyektif berarti terkait dengan kondisi riil penindasan yang tengah dihadapi buruh. Sedangkan faktor-faktor subyektif terkait dengan kesiapan para pemimpin buruh untuk melakukan perlawanan, panggung-panggung politik seperti apa yang harus diciptakan, dan sudah sejauh mana capaian buruh atas kesadaran politik dan kelasnya. Kesiapan buruh dan organisernya, panggung politik revolusioner, dan kesadaran kelas buruh merupakan hal yang signifikan dalam mewujudkan kemenangan buruh. Dan kemenangan ini harus berada di bawah basis ideologi buruh, yakni sosialisme.
Sosialisme bukanlah sebuah terminologi baru dalam membebaskan penindasan yang dialami buruh. Ini terminologi lama yang terbelenggu oleh ilusi-ilusi “demokrasi” dan “reformis” yang diciptakan oleh kapitalisme. Demokrasi liberal yang cenderung memberi peluang bagi segelintir pemilik modal sudah tidak relevan sebagai basis pijak dalam membebaskan buruh dari penindasan struktural ini. Ketika mekanisme pengelolaan modal masih didominasi oleh kepentingan segelintir orang niscaya buruh tetap akan menjadi bahan mentah untuk dieksploitasi. Oleh sebab itu, pendasaran ideologi yang tepat merupakan jalan yang tak terhindarkan.
Terakhir, sebuah pertanyaan, bisakah pembebasan kaum buruh dari eksploitasi ini hanya berharap dari kebaikan kaum borjuis dengan ilusi-ilusi reformasi atau restorasi?
“Tentu tidak,” begitulah jawabannya. Hanya dengan revolusi proletariat seluruh penindasan yang menimpa kaum buruh akan berhenti. Tetapi cita-cita untuk mewujudkan revolusi proletariat bukanlah hal yang gampang seperti saat kita berucap. Jika kita berpikir demikian, maka revolusi selamanya akan menjadi istilah yang utopis. Revolusi berarti suatu pergantian tatanan sosial. Mentransfer kekuasaan dari tangan-tangan kelas yang telah kehabisan tenaganya kepada kelas lain yang berada di atas kekuasaan. Dan dalam revolusi proletariat, menurut Trotsky, intervensi aktif massa merupakan elemen yang sangat diperlukan. Untuk sampai pada keberhasilan mengkonsolidasikan kekuatan massa buruh, sehingga massa buruh mampu terlibat aktif dalam perjuangan, perlu wadah politik yang kuat, dengan program, ide, dan metode yang tepat. Sekali lagi, saya ingatkan, Bolshevik sebagai wadah politik buruh yang mengantar kemenangan Revolusi Buruh di Rusia pada tahun 1917, mendidik aktifis-aktifis buruhnya secara disiplin, militan, revolusioner; dengan program, ide, dan metode yang tepat.**
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar