Publik telah terkecoh. Banyak yang terkecoh dan setuju RUU Ormas karena mengira RUU Ormas adalah solusi atas marakny a tindak kekerasan yang melibatkan Ormas. Padahal solusi atas persoalan itu adalah penegakan hukum yang adil dan profesional. Alih-alih membahas RUU Perkumpulan yang benar secara hukum, DPR malah memproses RUU Ormas yang jelas bermasalah secara hukum, politik, maupun sejarah.
Apabila RUU Ormas disahkan, maka dapat timbul paling tidak 3 kekacauan mendasar:
- RUU Ormas mengembalikan politik sebagai panglima, RUU Ormas akan menyeret seluruh bentuk organisasi sosial, keagamaan, kemanusiaan ke ranah politik di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri, khususnya Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol).
- RUU Ormas memukul rata dan membatasi seluruh jenis organisasi, RUU Ormas secara sapu jagat mencampuradukkan semua jenis organisasi baik berbadan hukum maupun tidak. Kebebasan berserikat berkumpul yang telah dijamin UUD 1945 dikebiri dengan mengharuskan pendaftaran bagi seluruh organisasi bahkan bagi yang tidak berbadan hukum.
- RUU Ormas membuka peluang kembalinya sejarah represi tehadap kebebasan berserikat berkumpul di Indonesia, RUU Ormas memiliki sejarah kelam yang sangat mungkin berulang. UU Ormas pernah dijadikan alat represi untuk membubarkan Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) pada 10 Desember 1987. RUU Ormas yang baru membuka peluang pembekuan dan pembubaran atas dasar yang sangat rancu seperti “memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa” atau “mengembangkan paham yang bertentangan dengan Pancasila”.
- a. Pemerintah dan DPR telah melakukan pemborosan anggaran untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang jelas-jelas akan menghambat kemerdekaan berserikat dan berorganisasi masyarakat;
- b. Pemerintah dan DPR mengacaukan sistem hukum dan mengganggu independensi sistem peradilan Indonesia dalam menentukan keabsahan suatu perikatan termasuk di dalamnya badan hukum;
- c. Pemerintah dan DPR mengabaikan sejarah ormas-ormas yang telah berkontribusi pada pembentukan dan kemerdekaan Indonesia; dan
- d. Pemerintah dan DPR melakukan tindakan yang menurunkan citra dan kredibilitas Indonesia di mata dunia internasional sebagai negara demokratis.
- Mencabut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dan mengembalikan pengaturan mengenai organisasi masyarakat kepada kerangka hukum yang benar dan relevan, yaitu berdasarkan keanggotaan (membership-based organization) yang akan diatur dalam UU Perkumpulan dan tidak berdasarkan keanggotaan (non membership-based organization) melalui UU Yayasan.
- Menghentikan pembahasan dan pengesahan RUU Ormas, serta mendorong pembahasan RUU Perkumpulan yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014. Rancangan Undang-Undang Perkumpulan secara hukum lebih punya dasar, namun telah tergeser dengan RUU Ormas yang salah arah.
KAPAS Buruh (Koalisi Perjuangan Hak Sipil dan Buruh)
- MPBI (Majelis Perjuangan Buruh Indonesia)
- Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI)
- Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (YAPPIKA)
- Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK)
- The Wahid Institute
- Imparsial
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
- Indonesia Parliamentary Center (IPC)
- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
- Kelompok Peduli Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (Keppak Perempuan)
- Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI)
- Yayasan Bina Desa
- Indonesia Corruption Watch (ICW)
- Human Rights Working Group (HRWG)
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS)
- Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
- Green Peace Indonesia
- Arus Pelangi
- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
- Perempuan AMAN
- MAARIF Institute for Culture and Humanity
- Pusat Telaah Informasi Regional (PATTIRO)
- LSPP (Lembaga Studi Pers Pembangunan)
- KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional)
- FITRA – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran.
- Dompet Dhuafa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar