Dalam kesempatan diskusi dengan beberapa kawan tentang pergerakan buruh
selalu saja terlontar betapa banyaknya kawan-kawan penitip nasib, ahh…
ternyata betul juga lontaran kawan saya mengapa pergerakan ternyata dari
kita sendiri banyak yang demikian. Dengan lontaran ini mencoba mencari
mengapa sich sedemikian rupa mereka memilih yang demikian….tentu ini
merupakan pilihan mereka dan tentu pula bertentangan dengan pola
pergerakan itu sendiri, apa yang salah untuk pilihan mereka itu….
Apakah keberhasilan dari perjuangan serikat pekerja hanya dinikmati oleh
mereka yang berjuang? Jika pada akhirnya semua menikmati, lalu mengapa
harus capek-capek ikut berjuang? Pemikiran sesat seperti ini seringkali
hinggap di benak banyak orang. Sadarkah mereka, jika partisipasi
terhadap gerakan bisa dimaksimalkan, maka cita-cita perjuangan akan
lebih cepat bisa diwujudkan?
Inilah beberapa yang menjadi alasan secara global dari pekerja (para penitip nasib) antara lain :
Banyak dikalangan pekerja belum memahami dan menyadari betapa
penting arti Serikat Pekerja untuk melindungi, membela serta
meningkatkan kesejahteraan. Masih banyak pekerja menyerahkan
seluruh masalah pada Pengurus Serikat Pekerja, dalam beberapa hal
pekerja lebih mendahulukan haknya ketimbang kewajibannya, hal itu juga
terjadi karena kurangnya komunikasi antara pekerja dengan Serikat
Pekerja.
Serikat Pekerja sebagai lembaga perwakilan anggota,
belum bekerja optimal, Kinerja organisasi masih lemah, karena lemahnya
sumber daya manusia yang dimilikinya dalam kepengurusan, masih ada
anggapan kuat bahwa sosial status penting, sehingga tugas organisasi
hanya menjadi “jembatan” untuk memperoleh sesuatu. Lemahnya Manajemen dan lemahnya dana organisasi berdampak besar terhadap kinerja organisasi.
Banyaknya Serikat Pekerja baik disatu perusahaan maupun ditingkat
wilayah, terjadi dan dapat melahirkan perbedaan gaya dan perbedaan
strategi, tidak jarang terjadi persaingan tidak sehat dan ini juga
berpengaruh terhadap perjuangan Serikat Pekerja secara menyeluruh, baik
ditingkat perusahaan maupun ditingkat wilayah dan nasional. Dan inilah beberapa yang menjadi alasan secara personal dari pekerja (para penitip nasib) antara lain :
1. Tidak Mau Beranjak dari Zona Nyaman
Seberapa banyak buruh yang tingkat kesejahteraan di perusahaannya sudah
setingkat lebih baik, seringkali partisipasinya terhadap gerakan
melemah? Mereka yang merasa sudah mendapatkan segalanya, lalu merasa
tidak lagi perlu terlibat dalam gerakan perubahan apapun? Sadarlah
kawan, tidak ada jaminan, bahwa apa yang kalian nikmati hari ini akan
tetap kalian nikmati nanti.
2. Usia yang Semakin Menua
Buruh yang sudah tua dan mendekati masa pensiun dalam beberapa tahun
kedepan – dan ini jumlahnya relatif banyak – jarang ada yang bersedia
untuk ikut dalam pendidikan serikat pekerja. Mereka beranggapan
pendidikan seperti ini tidak penting lagi. Hanya buang-buang waktu. Hal
ini diperparah dengan minimnya SDM pendidik dalam serikat buruh yang
memahami dan mampu mengimplementasikan konsep pendidikan orang dewasa.
3. Malas
Rasa malas hadir, saat kita tidak memiliki motivasi yang kuat untuk
melakukan suatu kegiatan. Saat kita tidak bisa melihat, besarnya manfaat
yang akan kita dapatkan.
4. Kesibukan
Berapa banyak
buruh yang memilih lembur ketimbang belajar? Seberapa banyak lagi yang
memilih usaha sampingan ketimbang datang dalam kegiatan yang
diselenggarakan serikat pekerja? Lembur, terkadang menjadi solusi instan
untuk menyelesaikan permasalahan akan kecilnya penghasilan. Tetapi itu
bukan solusi yang paripurna. Tidak adakah keinginan dari mereka untuk
membuat perubahan yang mendasar dan menyeluruh?
5. Biaya
Uang bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya membutuhkan uang. Tak
jarang kegiatan pendidikan urung dilakukan hanya karena permasalahan
klasik : tidak tersedia anggaran. Bukankah pendidikan serikat pekerja
tidak harus dilakukan di hotel berbintang? Di bawah langit dengan
disaksikan ribuan bintang dan rembulan pun bisa dilakukan, bukan?
6. Keluarga
Pada satu sisi, keluarga juga bisa menjadi penghambat. Berapa banyak
suami yang dilarang istrinya ikut kegiatan yang diselenggarakan serikat
pekerja? Berapa banyak suami yang melarang istrinya untuk aktif dalam
organisasi? Alangkah lebih indahnya, jika dalam keluarga tumbuh budaya
untuk saling menguatkan. Memberikan dukungan, satu sama lain, untuk
terus tumbuh dan berkembang. Bukan lantas menyandera pasangannya, di
rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar